Hari ini, seperti biasa aku berangkat ke sekolah bersama adikku, Rina (Catharina). Kami selalu berangkat setengah jam sebelum sekolah dimulai supaya tidak terlambat. Lalu, kami menuju kelas masing-masing.
Sesampaiku di kelas, Sara telah lama menungguku. Sara (Keysara) adalah sahabatku yang sangat baik. Secara fisik, ia tinggi, namun ia tidak secantik teman-teman yang lain. Walaupun begitu, ia memiliki sifat yang sangat ramah, periang, dan peduli. Ia adalah anak Ibu Sri, guru IPS kami. Ia selalu datang ke sekolah paling pertama, karena ibunya harus tiba di sekolah sejak satu jam sebelum sekolah dimulai.
“Hai Riri!” sapa Sara padaku. “Hai Sara! Apa kabar?” “Baik pastinya. Kamu kemana saja weekend kemarin?” “Aku di rumah saja sih, seperti biasa, jaga adik. Kamu kemana?” Sara pun terdiam sejenak lalu membuka tasnya dan menyodorkan sesuatu padaku. “Apa ini?” tanyaku. “Aku baru saja pulang dari luar kota kemarin, jadi aku mau memberimu satu buah tangan kecil,” katanya tersenyum. “Kamu baik banget, terima kasih Sara!” ucapku sambil mengamati benda itu, lalu berpikir, “Sebenarnya ini apa?”
Aku masih tidak mengerti benda apa yang Sara berikan padaku. Lalu aku pun bertanya kepada Sara. “Sara, apa ini?” “Itu benda yang sangat istimewa, hanya ada di tempat aku pergi kemarin. Jaga baik-baik ya,” katanya. “Sebenarnya kemarin kamu ke mana?” tanyaku lagi. “Aku tidak ingat nama kotanya, karena namanya agak rumit. Yang aku tahu, benda itu adalah benda istimewa yang ada di sana, jadi aku memberikannya untuk kamu,” katanya. Beberapa menit kemudian, bel sekolah tanda masuk pun berbunyi.
Menurutku, benda coklat kecil dengan motif bunga di atasnya itu tampak seperti kayu ukiran biasa saja. Dan terlebih lagi, aku tidak suka mengoleksi benda, apalagi mengoleksi ukiran kayu. Tapi, karena aku tidak enak pada Sara, aku masukkan benda itu ke dalam tasku dan melanjutkan belajar.
Akhirnya, jam pulang pun tiba. Aku pun berpamitan pada Sara lalu pulang bersama adikku. Sesampainya kami di rumah, aku pun mandi dan mulai mengeluarkan isi tasku. Adikku yang sekamar denganku pun melihat benda kecil pemberian Sara. “Kak, apa itu?” tanyanya. “Ini buah tangan dari Sara. Tapi sebenarnya aku tidak tahu apa gunanya.” “Coba aku lihat,” kata adikku. “Hmm, sepertinya ini ukiran kayu biasa dengan motif bunga. Mungkin bisa dijadikan hiasan.” Aku pun menyimpan benda kecil itu di atas meja.
Hari pun mulai gelap. Aku sedang mengerjakan PR Matematika yang diberikan guruku. Tapi sembari aku mengerjakan, adikku pun lewat dan tidak sengaja menumpahkan gelas berisi air yang ada di tangannya ke atas buku PR-ku. “RINAAA!!!” Aku sangat marah, karena ia membasahi seluruh PR matematikaku yang hampir selesai. “Huh! Sekarang harus kuulang lagi!” kataku lalu tidak sengaja melemparkan buah tangan pemberian Sara itu.
“Astaga!” kataku kaget ketika menyadari aku telah melempar barang yang salah. Benda kecil itu ternyata tidak bisa dibanting atau dilempar sembarangan. Segera saja itu patah dan tidak bisa dipakai lagi. Rina hanya melihatku dari jauh, kebingungan, dan juga turut menyesal. Tapi aku menenangkan diriku dan berkata, “Tenang, Sara tidak tahu hal ini. Lagipula, itu benda yang tidak terlalu berguna.” Aku pun meletakkan patahan-patahannya ke dalam sebuah wadah, lalu kutaruh di atas meja belajarku.
Keesokan paginya, aku terbangun oleh bunyi telepon. “Apa? Sara menelepon jam 5 subuh?” kataku dalam hati. Aku pun mengangkatnya dan berbicara selama kurang dari 10 menit. Ternyata ia ingin aku ke sekolah bersama-sama dengannya, karena ibunya sedang sakit. Aku dan Rina pun bersiap-siap dan pergi untuk menjemput Sara.
Saat kami sedang berjalan bersama-sama, “Hei Ri! Kamu suka hadiahku kemarin?” tanya Sara. “Eh… ya, pastinya, karena sahabatku yang memberikannya.” “Jangan sampai itu jatuh ya, karena kalau jatuh, bisa patah,” katanya. Hatiku benar-benar gelisah ketika ia mengatakan hal itu, mengingat peristiwa yang terjadi semalam. Rina menatapku lalu berbisik, “Kak, kakak harus jujur padanya. Karena sahabat, selalu akan saling jujur apapun yang terjadi.” Aku berpikir sejenak, dan menyadari bahwa perkataannya benar. Aku pun menarik napas dalam-dalam, dan memberanikan diri berbicara pada Sara.
“Sara, maafkan aku. Semalam aku sangat marah pada Rina, dan sifatku yang suka melempar barang itu belum hilang juga. Aku tanpa sengaja melemparkan ukiran kayu itu dan…” “PATAH?!” lanjutnya. “I… iya,” kataku.
Sara pun terdiam. Dari raut wajahnya, aku tahu bahwa ia sangat sedih dan kecewa. Aku pun diliputi rasa menyesal yang dalam. Biarpun menurutku benda itu tak berarti, itu sangat mengecewakan sahabat terbaikku.
Ketika kami hampir tiba di sekolah, Sara pun berbicara, “Ri, aku tahu kamu tidak sengaja. Aku tidak memarahimu. Hanya saja, aku sangat sedih.” kata Sara lalu mulai menitikkan air mata. “Itu adalah sebuah ukiran kayu kecil dengan motif bunga kesukaanku, yang aku inginkan ketika aku berumur 7 tahun. Kakekku yang tinggal di kota di mana ukiran kayu itu dijual tahu keinginanku. Diam-diam, kakekku membelinya, lalu menyimpannya hingga aku datang kembali. Dan hari Minggu kemarin, ia memberikan benda itu padaku, lalu berkata bahwa ia sangat mencintaiku. Ia berpesan agar aku tumbuh menjadi anak yang takut akan Tuhan, bekerja keras, jujur, dan berbakti pada orangtua, dan itulah terakhir kalinya aku berbicara padanya.” Sara pun menangis. Aku tidak pernah menyangka bahwa benda sekecil itu memiliki arti yang sangat besar bagi Sara.
“Maafkan aku, Sara. Seharusnya aku bisa mengendalikan emosiku dan lebih berhati-hati dalam menyimpan benda itu. Seandainya aku bisa memutar waktu,” ujarku lalu memeluk Sara. “Sudah, Riri. Tidak apa-apa. Kamu masih menyimpan patahan-patahannya?” kata Sara. “Ya, tapi sudah tidak ada gunanya lagi menyimpan patahan-patahan kayu,” kataku. “Simpanlah itu sebagai cerita tentang persahabatan kita selamanya.” Aku pun tersenyum dan mengangguk, lalu kami masuk ke dalam sekolah.
Setelah kejadian ini, aku pun belajar bahwa barang sesederhana apapun tidak boleh kita anggap remeh, apalagi jika itu diberikan oleh orang yang kita cintai. Seperti pepatah dalam bahasa Inggris, “We’ll never know the value of the moment until it becomes a memory”. Kita tidak akan pernah tahu makna sesuatu sampai itu menjadi kenangan. Aku juga belajar, bahwa pengendalian emosi itu sangat penting, karena jika tidak dikendalikan, emosi kita bisa menjadi sumber masalah.