Palasakti berhasil tertangkap aparat kepolisian kemarin. Warga Desa Ceboraya sangat bergembira waktu polisi datang menggerebek si ceking gondrong tersebut kala ia sedang buang air besar. Bahkan Pak Kades sampai mengadakan syukuran akbar atas tertangkapnya Palasakti. Seluruh warga desa diundangnya, tak peduli muat atau tidak pelataran rumahnya untuk menampung para warga nanti.
Palasakti begitu terkenal di Ceboraya sampai-sampai pemulung ulung di desa tersebut menulis buku tentang Palasakti. Lihat, tak perlu menjabat sebagai penulis untuk membuat sebuah buku. Judul buku yang tebalnya berkisar sekitar tiga sampai halaman tersebut adalah “Palasakti: Tertangkapnya Sang Pembalap Bertuyul”. Buku itu sempat menjadi best seller di Ceboraya. Bagaimana tidak? Penulisnya sendiri yang memboyong buku tersebut sebanyak tiga juta kopi.
***
Kita tidak perlu terburu-terburu dalam bercerita. Lebih baik kita mencoba menelusuri jejak-jejak masa lalu Palasakti agar kita tahu, apa yang membuatnya bisa begini bisa begitu.
Hari ketiga belas bulan ketujuh, lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim seorang guru matematika. Kalau tidak salah, peristiwa ini terjadi pada masa dimana tren memfoto diri sendiri dan aplikasi percantik wajah merajalela.
Guru matematika yang mengajar di sekolah SMP negeri yang paling bobrok di kota itu, berhasil melahirkan dengan selamat sentosa di bawah lampu merah. Kala ia sedang meraung kesakitan, pertanda si orok akan keluar, banyak orang- orang berkumpul di area tersebut. Mereka semua, kira-kira sekitar sembilan puluh sembilan kepala manusia, menjadi saksi atas rasa sakit melahirkan seorang wanita di tempat umum lagi terbuka. Tidak, tidak. Kerumunan orang sebanyak itu ada bukan untuk menolong atau membantu proses lahiran, tapi karena lampu merah yang ada di jalan itu mulai hidup dan memulai angkanya dari angka 500. Cukup lama ya untuk sebuah lampu merah. Tentu saja, lampu merah tersebut berhasil menciptakan sebuah kemacetan yang luar biasa.
“Yang, itu ada yang melahirkan, sana bantu! Kasihan loh ibu itu.” Ucap salah seorang pengendara di barisan pertama, tepat di sebelah guru matematika tersebut.
“Eits, nggak boleh, yang. Kalau sudah lampu merah itu nggak boleh jalan kemana-mana. Tungguin sampai selesai lampu merahnya!” Jawab wanita yang ada di belakangnya.
“Pak, lihat ada yang mau melahirkan!” Seorang siswi SMP menggoyang-goyangkan pundak ayahnya yang sedang mengantuk menunggu selesainya lampu merah.
“Lah terus bapak harus ngapain? Bapak itu sarjana kalkulator, bukan sarjana melahirkan. Mana mudeng yang begituan!”
Banyak pengendara yang terjebak macet tersebut mulai memperhatikan peristiwa lahiran tersebut. Mulai terdengar bisik sana bisik sini sesama pengendara. Mulut-mulut mereka terus meramaikan kemacetan di siang yang begitu terik. Namun tak ada seorang pun yang hatinya tergerak untuk menolong proses lahiran si guru matematika tersebut. Ia mulai merasa sakit yang luar biasa. Sampai pada akhirnya, datanglah presiden kita dengan kaus oblongnya. Ia berjalan gagah walaupun tak terlihat sama sekali wibawanya, padahal ia telah menggunakan minyak kemiri di rambutnya hingga tampak klimis betul. Ia muncul dibalik ramainya kendaraan yang terjebak macet. Para maceterz (Sebutan untuk yang terjebak macet) hanya bisa melongo saat tahu presiden kita telah tiba. Ia tak sungkan-sungkan mendekatkan diri ke guru matematika. Walau hanya bisa memberi semangat tanpa ada menyentuh apapun atau siapapun, anehnya, bayi itu berhasil keluar. Para Maceterz bersorak gembira. Bahkan ada yang menangis penuh haru dan saling berpelukan. Para pengamen sekitar langsung menyanyikan lagu penuh pujian untuk presiden kita. Guru matematika itu sangat berterima kasih kepada presiden kita. Kedatangannya membuat anaknya berhasil keluar dengan selamat. Banyak orang yang mendatanginya dan segera memeluknya.
“Ini baru namanya presiden kita!”
“Ya, akhirnya negara kita berhasil mendapatkan presiden idaman!”
“Baru kali ini ada presiden yang benar-benar blusukan! Tanpa pengawal, benar menolong, tak cuma hanya jalan-jalan dan pencitraan!”
“Kita harus memilihnya menjadi presiden seumur hidup!”
Presiden kita hanya bisa mesem-mesem saja menanggapi berbagai pujian yang menghampirinya. Melambai-lambaikan tangan, mengangguk-anggukkan kepala, betapa sederhana sekali.
“Oh, presidenku, apa yang harus saya lakukan untuk membalas budi baik anda?” Tanya si guru matematika yang masih terduduk lemas di atas trotoar sembari menyusui si bayi.
Presiden kita lagi-lagi hanya bisa nyengir. Ia tak menjawab atau berkata apapun. Orang-orang mulai merasa aneh.
“Pak presiden, kenapa anda tak berkata apapun?”
Dibalik kerumunan tersebut, muncul seorang pria berkacamata berlari tergopoh-gopoh. Ia memegang secarik kertas sampai di hadapan presiden kita, ia terjatuh.
“Ini, pak. Maaf agak lama, printernya tadi error kemasukan keringat saya.”
Setelah kertas itu sampai ke tangan presiden kita, barulah ia berbicara, walau sebatas membaca teks.
***
Beberapa tahun kemudian, Palasakti mulai tumbuh sebagai anak ingusan sebagaimana mestinya. Hanya saja, ia sangat miskin. Tapi itu bukan jadi alasan untuk Palasakti mengeluh dengan hidupnya. Ia terlihat sangat bahagia walau hanya bisa makan dengan ubi godok dan keong rebus. Kini, ia tinggal bersama seorang ayah yang sangat sayang padanya. Ibunya yang guru matematika itu, mati setelah melahirkannya akibat ditembak peluru nyasar si penembak jitu yang berniat menembak kepala presiden.
“Pa, kenapa kita miskin terus? Bukannya Papa sudah kerja setiap hari?”
Walaupun miskin, Palasakti tak merasa aneh memanggil ayahnya dengan sebutan papa.
“Nak, kita miskin bukan karena kita malas bekerja,”
“Terus kenapa?”
“Kita terus bekerja pun tapi kalau gajinya hanya habis untuk makan ya kita tak akan pernah jadi kaya.”
Palasakti hanya bisa menggaruk-garuk pantatnya. Diperhatikannya betul-betul saat ayahnya sedang memotong keong-keong rebus itu. Beberapa menit kemudian, ia pergi ke rawa belakang rumah untuk mencari keong lagi.
Palasakti tidak pernah sekolah bahkan sampai ia beranjak remaja. Ia tidak pernah merasa iri saat teman-teman sedesanya bernyanyi gembira kala berjalan menuju sekolah negeri terdekat yang tak ada gerbangnya. Namun, ia akan selalu bergabung dengan temannya waktu mereka belajar bersama atau kerja kelompok. Disitu ia suka sekali membuka buku-buku temannya dan membacanya habis-habisan.
“Palasakti, kenapa kau tak bersekolah saja? Aku bisa membuatmu bersekolah tanpa harus bayar.” Tawar seorang temannya.
“Masa’ sih? Tidak mengeluarkan uang sedikitpun?”
“Iya.”
“Caranya?”
“Aku nanti akan mengajukanmu ke kepala sekolah untuk menjadi pembersih kamar mandi sekolah kami. Karena tak ada seorangpun yang mau untuk bekerja di bagian itu.”
“Serius? Wah, ini luar biasa! Aku bisa sekolah hanya dengan mencuci wc! Beruntung sekali aku!”
“Hei, Palasakti. Kamar mandi sekolah kami dinobatkan sebagai kamar mandi terkotor sekabupaten, loh! Ada banyak kotoran bergeletakan, bau pipis yang begitu menyengat, kau tidak gentar?”
Palasakti menggeleng semangat penuh bahagia. Ia bergegas pulang sembari membawa karung penuh berisi keong untuk memberitahukan pada ayahnya kalau ia bisa bersekolah gratis.
Alangkah malangnya Palasakti, tiba di rumah ia malah mendapati ayahnya sudah tergantung kaku memucat di kamar. Tubuh dingin ayahnya berputar-putar pelan di depan wajahnya. Karung yang penuh keong itupun langsung jatuh berserakan di lantai. Seharusnya ia tak perlu terkejut lagi, memang sudah lama ayahnya ingin bunuh diri sebab tak mampu membuat anaknya hidup berkecukupan.
***
Palasakti telah berumur dua puluh tahun. Ia telah menjadi sosok pemuda yang penuh daya tarik. Walaupun ia masih miskin, itu tak membuat para gadis ogah mendekatinya. Untuk menyambung hidupnya, Palasakti tetap memilih bekerja sebagai pembersih kamar mandi sekolahnya dulu. Berkat kontribusi dan dedikasinya di sekolah itu setelah bertahun-tahun, Palasakti menjabat juga sebagai penjaga malam sekolah bobrok itiu.
“Mas Pala, bolehkah saya menemani anda duduk disitu?”
Malam itu, Jumini, salah satu gadis cantik di desa tersebut, Desa Ceboraya, datang ke pos jaga malam sekolah. Palasakti terkejut bukan main, sebab ia tadi sedang menggaruk-garuk pantatnya. Tentunya Palasakti malu sekali jika Jumini melihatnya menggaruk pantat.
“Ada apa?”
“Saya hanya ingin lebih dekat dengan anda.”
Palasakti mulai berkeringat dan menelan ludah saat Jumini mengambil posisi tepat di sebelah ia duduk. Jemari Jumini yang lentik itu mulai beraksi di sekitar pipi Palasakti. Bibir Jumini yang dilapisi lipstik merah produk ternama itu tampak menggoda, sengaja memancing nafsu Palasakti.
“Maaf, mbak. Saya.. Anu.. Takut… ”
“Mas Pala tidak perlu takut. Saya bukan sundel bolong, ataupun nona kunti. Saya asli Jumini. Apakah saya perlu membuka pakaian saya di hadapan Mas Pala agar anda percaya bahwa saya adalah manusia asli?”
Jumini beranjak dari duduknya. Detak jantung dan nafas Palasakti semakin tak beraturan saat Jumini mulai berdiri dengan pose yang sangat seksi di hadapannya. Piyama tidur warna putih nan tipis itu semakin membuat ludah Palasakti banyak tertelan.
“Tentu saya tak sungkan-sungkan untuk melucuti pakaian saya sendiri di sini, apalagi di hadapan Mas Pala. Mumpung ini malam yang sunyi, kenapa tak kita manfaatkan saja waktu ini menjadi waktu penuh nafas kepuasan?”
Palasakti semakin gemetar dan menggigil saat melihat Jumini mulai membuka kancing piyamanya satu persatu. Untuk menambah daya tarik, Jumini tak lupa membasuh bibirnya dengan lidahnya yang runcing itu.
“Tidak!”
Palasakti segera mencengkeram tangan Jumini kala tangan itu sedang asyiknya melepas kancing. Namun tiba-tiba semua menjadi peluru bagi Palasakti saat Jumini mulai berteriak kencang.
“Tolong! Tolong! Saya diperkosa!”
Entah bagaimana bisa, selang sepersekian detik dari teriakan Jumini, pos jaga malam itu sudah dipenuhi pasukan “Siap Gebuk”. Wajah mereka begitu sangar dan ganas. Atau jangan-jangan Palasakti memang masuk ke dalam jebakan Jumini?
“Bapak-bapak, lihatlah yang telah diperlakukan Palasakti pada saya,”
Jumini mengangkat piamanya dan menunjukkan pada orang-orang bahwa ia tengah hamil!
“Loh, bagaimana bisa? Saya baru kali ini bahkan hanya memegang tangan kamu, Jumini! Saya dijebak! Saya dijebak!”
Tak ada yang peduli pada Palasakti. Ia hanya menjadi bulan-bulanan para warga yang begitu beringas menghajarnya. Di lain sisi, Jumini tersenyum penuh kelicikan. Dan syukurnya, Palasakti dihajar sampai mati.
***
Tak ada sesiapa pun yang tahu, bahwa arwah Palasakti masih tergantung di antara alam dunia dan alam barzah. Kenapa demikian?
“Ayo, ikutilah aku. Akan kutunjukkan di mana tempat peristirahatanmu selanjutnya.”
Palasakti diam saja. Ia merenungkan sesuatu. Sosok berjubah putih yang tak kelihatan wajahnya itu juga tak jadi melangkah lebih jauh. Ia memandang wajah Palasakti yang tampak muram.
“Ada apa?”
“Tak adil sekali semua ini.”
“Maksudmu?”
“Aku lahir dalam keadaan miskin dan susah. Jadi apakah aku juga harus mati dalam keadaan yang sama?”
Si jubah putih itu tak berkata apa pun.
“Di luar sana banyak yang bersenang-senang dengan hidup kaya bergelimang harta. Dengan mudah memenuhi apa keinginannya. Dan aku, yang sudah mati, masih saja miskin! Aku juga ingin hidup kaya!”
Tetap tak ada yang menanggapinya. Si jubah putih itu melangkah meninggalkannya dan hilang ditelan kegelapan. Palasakti tinggal seorang diri di ruangan yang gulita itu.
“Wahai Palasakti hambaku yang penuh kebaikan! Apa kau yakin ingin hidup kembali?”
Ada suara yang begitu menggelegar dan penuh kegagahan. Sepertinya itu suara Tuhan. Tapi tak tahu juga sih.
“Iya! Iya, Tuhan! Aku merasa terlalu miskin untuk mati. Aku tidak punya apa pun yang dapat kuberikan untuk orang-orang yang masih hidup di sana. Aku terus bekerja tanpa lelah namun tetap saja uang gajiku hanya habis untuk makan! Tak betul lagi rasanya ungkapan malas pangkal bodoh pangkal miskin!”
Palasakti tersengal-sengal setelah meluapkan emosinya kepada Tuhan.
“Aku selalu bersyukur tak pernah mengeluh, selalu berusaha tak pernah menyerah, selalu jujur tak pernah berbohong, walau aku masih ragu akan masuk surga atau tidak. Tapi, ya karena kurangku itu cuma satu, Tuhan! Aku tak pernah berdoa padamu!”
Tuhan tetap diam. Sepertinya ia memberikan kesempatan untuk Palasakti terus berbicara.
“Dan kali ini aku akan berdoa padamu, Tuhan. Ya Tuhan, izinkanlah aku hidup sekali lagi dalam keadaan kaya!”
Zrruuttt…. Wiung wiung wiung!
Palasakti menghilang tersedot menuju dimensi lain. Barangkali ia memang benar-benar dihidupkan kembali oleh Tuhan. Betapa enaknya punya Tuhan yang sangat pengertian seperti itu.
***
Palasakti membuka kedua matanya yang penuh belek(kotoran mata). Ia terkejut. Ia merasa senang ternyata telah dihidupkan kembali oleh Tuhan dalam keadaan yang berbeda, yakni kaya raya! Spring bed yang begitu elegan, kamar yang begitu besar dengan desain ala Yunani. Palasakti begiti bergembira. Ia tak mampu lagi menahan dirinya untuk segera keluar dan berkeliling rumahnya demi meninjau kekayaannya. Betapa tidak, ternyata ia memiliki banyak mobil di garasinya. Mobil yang plat merah, hitam, putih, tak berplat. Ia juga memiliki tv yang melengkung seperti bulan sabit, komputer merk ternama, laptop, ruang fitness, kolam berenang meski berlumut, ruangan basket meskipun ia tak bisa memainkannya, ruang khusus musik, dapur dengan interior yang menawan, pokoknya ia begitu tergila-gila. Sampai pada akhirnya ia membuka lemari yang isinya berjuta juta lembar uang kertas berwarna merah. Tanpa pikir panjang, dan merasa belum mandi wajib, ia pun memutuskan mandi wajib dengan uang-uang kertas tersebut.
“Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Haha, kalau begini nikmatnya, siapa yang mampu mendustakannya?”
Ia pun berbicara sendiri karena tak ada lagi yang bisa ia ajak bicara. Ia hanya sebatang kara di situ. Ngenes abis.
Karena merasa haus berat, ia pun memutuskan untuk minum. Tanpa disadarinya, ia malah meminum cairan pewangi pakaian yang telah diwadahi botol plastik. Wanginya begitu semerbak, namun rasanya itu membuat perut Palasakti menjadi mulas. Ia langsung bergegas menuju kloset. Alangkah malangnya, ia mendapati kloset tersebut begitu kotor. Ia jadi malas untuk buang hajat disitu. Oleh sebab itu, ia pun BAB di ruang tamu karena ruang tamunya begitu mewah dan megah, sehingga membuat perasaan nyaman saat buang air besar.
Selang beberapa menit, ternyata nasib buruk berkunjung ke rumah Palasakti. Puluhan personil kepolisian bahkan sampai pasukan khusus berhasil masuk mendobrak setiap pintu rumahnya. Mereka pun berhasil menyergapnya dan langsung mematikan langkahnya.
Ia terpaku dan mematung dengan keadaan tak bercelana dan setengah jongkok.
“Tidak mungkin saya terlibat dengan jaringan teroris!”
“Tutup mulutmu, Jorge Lorenzo Tambunan! Katakan itu pada hakim nanti!” Teriak salah satu personil.
Wajah Palasakti langsung berubah dari polos bodoh menjadi bego kebingungan. Kenapa Tuhan membuat hidupnya jadi seperti ini? Kenapa ia dihidupkan kembali sebagai pembalap GP yang korupsi? Ia menyesal betul telah memilih untuk hidup kembali. Seharusnya yang mati ya mati saja.
“Tidak mungkin Jorge Lorenzo Tambunan dapat menjadi begitu kaya tanpa korupsi dan berubah menjadi babi ngepet!”
“Jangan salah Anda. Ia juga punya tuyul yang berambut!”
Masyarakat sekitar begitu gembira melihatnya tertangkap tanpa mengenakan celana. Bahkan mereka sampai membuat barisan untuk mengiringi kepergian Palasakti menuju penjara. Dilihatnya seorang pengemis yang begitu pengemis sedang menjilat-jilat kertas nasi bekas gulai ayam. Palasakti jadi menginginkan kembali pada kemiskinan seperti itu . (*)