Setelah penuh pertimbangan dan berpikir dari berbagai sudut pandang yang berbeda, maka saya tak perlu lagi ragu untuk mencanangkan aksi unjuk rasa saya esok hari di pelataran rumah dengan judul: “Waktunya Ganti Bapak.”
Bukan tanpa alasan, justru sudah terlalu banyak alasan darinya untuk tetap menjadi seorang bapak bagi kami. Saya muak. Tidak ada kumuakkan yang lebih memuakkan ketimbang muak saya melihat wajah tak berdosa Bapak. Bagaimana bisa seseorang tampil seolah ia tak memiliki dosa, sedangkan manusia itu sendiri konon ialah ladang dosa? Selain merasa tak memiliki ladang dosa, Bapak juga merasa tak memiliki ladang hutang.
Ya ampun! Hutangnya itu bertebaran di mana-mana! Jika bisa diibaratkan, hutangnya itu persis Alfamart, yang gemar sekali membuka cabang di sembarang tempat. Apakah perlu kata Alfamart itu saya sensor? Jadi, Bapak berhasil membuat angka keuangan keluarga kami menjadi minus. Masih mending jika hutangnya itu menampakkan hasil yang nyata. Ini berasa fiksi! Ayolah, siapa yang memerlukan serambi rumah yang begitu luas? Bahkan sampai dikeramik! Bayangkan saja, dapur yang hanya berlantai tanah dan isi rumah yang beralas semen murah, memiliki serambi berlapis keramik 4×4 dengan motif kubisme ala Pablo Picasso!
Itu masih serambi. Belum kolam renang yang begitu jernih dan penuh kemilau di belakang rumah. Saya dan empat saudara saya yang lain dulu sempat termangu cukup lama sewaktu melihatnya tengah bekerja sendiri membuat kolam renang tersebut.
”Untuk apa sih, Pak?”
“Bapak tidak mau kalian menerima kehilangan orang terkasih dengan cara membiarkannya mati sambil berteriak tolong-tolong di daerah perairan. Belajarlah berenang!”
Sejenak kami saling pandang, lalu saudara nomor tiga menyahut, “Syukur di laut atau sungai. Bagaimana kalau di sumur, Pak?” Bapak berhenti mencangkul.
“Jangan menikah dengan perempuan bodoh!”
Kolam renang dan serambi berkeramik sudah cukup tak masuk akal. Tapi itu belum usai. Asus ROG. Asus ROG! Ya Tuhan. Dia membelikan Asus ROG untuk masing-masing dari kami. Tiba di bagian laptop level dewa petir puncak langit ini, keempat saudara saya satu suara.
“Kami bersumpah tiada seorang bapak yang lebih baik lagi mulia, kecuali Bapak!”
Saat mendengar sumpah bergaya Gajah Mada mereka, saya hanya bisa menekuk wajah. Saya bukan tidak suka Asus ROG, hanya saja saya merasa ini belum waktunya. Saya dan tiga saudara di bawah saya masih perlu banyak dana untuk keperluan sekolah: SPP, uang kas kelas, uang perpustakaan, uang denda bagi yang sering terlambat seperti saya, uang WC yang tetap saja berpenampilan menjijikkan, dan uang-uang yang tak memiliki dampak berarti bagi pembayarnya itu sendiri. Sekolah asem! Dan seorang bapak yang asem, juga kecut!
Saya heran. Mengapa uang hasil hutang itu tak dipergunakan untuk modal usaha saja seperti membuka warung dan semacamnya? Mengapa ia tak mempergunakan uang itu untuk investasi saja agar kelak hidupnya tak perlu diisi dengan pekerjaan yang merendahkan dan menyusahkan?
“Sebagai seorang kepala rumah tangga, Bapak hanya bisa kerja, kerja, dan terus bekerja. Hidup tanpa kerja, bagai negara tak berpemimpin.”
Begitulah jawaban Bapak saat saya usulkan untuk berinvestasi atau ikut bisnis tertentu. Memang tadi itu merupakan analogi yang agak berat. Tapi saya yakin ia tengah berusaha menampakkan kualitas terbaiknya sebagai seorang bapak.
***
Terlepas dari persoalan hutang piutang, Bapak masih memiliki segudang persoalan lain yang membuatnya harus sesegera mungkin meletakkan tampuk kekuasaannya sebagai seorang bapak.
Ialah Ibu. Ya, Ibu juga memiliki masalah khusus terhadap Bapak. Meski usia pernikahan mereka sudah sama seperti empat periode kepemimpinan seorang presiden, tapi hal itu tidak membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Bagi Ibu, Bapak tak ubahnya dengan mata kaki pada kaki: tak berguna (benarkah?). Alih-alih bekerja sama meningkatkan kemakmuran kerajaan keluarga kami, Bapak justru, menurut Ibu, malah memperkeruh keadaan. Sistem hutangnya yang berskema tutup lubang gali lubang, membuat kami tak bisa memiliki tabungan keluarga. Ditambah lagi, Bapak juga senang membayar siapa saja demi mengurus pekarangan rumah yang tak seberapa. Bahkan ia pernah memerintahkan salah seorang kerabatnya yang sangat ahli dalam ilmu robotik, untuk memproduksi sebuah robot yang berpenampilan sama persis dengan dirinya demi mengawasi kami di rumah sewaktu ia harus bepergian jauh.
“Kalau kau tak bisa melakukannya seorang diri, ya sudah. Tak perlu memaksakan semuanya agar tampak lebih oke,” ujar Ibu suatu hari.
“Semua itu harus tampil menawan dan terlihat memukau. Siapa sih yang tidak ingin semuanya baik-baik saja?” jawab Bapak.
Ibu juga kerap gemar menggerutu sembari meremas beberapa buah cabai. Bagaimana tidak? Jatah uang belanja Ibu sangat rendah, sehingga segala macam kebutuhan pokok dan sembako menjadi terasa lebih mahal. Padahal harga-harga tidak begitu melonjak tinggi, hanya saja modal yang dimiliki tak mampu menekan segalanya.
“Tidak perlu yang mahal-mahal, yang penting mencukupi kebutuhan gizi kita dan anak-anak,” begitu kata Bapak berdasarkan penuturan Ibu.
“Sehat itu mahal, Pak! Itulah kenapa orang-orang kaya di luar sana tampak lebih berseri-seri dan bugar.”
“Dan Jumlah orang miskin lebih banyak ketimbang jumlah orang kaya. Kenapa? Orang kaya lebih cepat mati. Apalah arti penampilan…”
Itulah kenapa Ibu berniat mencari bapak baru bagi kami. Tapi entah mengapa saya lebih melihatnya sebagai “mencari suami baru”. Bukan apa-apa, sebab Ibu yang selalu berpenampilan menor saat keluar rumah, bukan kami.
Satu lagi sifat Bapak yang sangat mengganggu bagi Ibu, juga kami, yakni blusukan. Blusukan Bapak di sini tidak seperti blusukan seorang presiden yang pergi ke daerah-daerah yang kurang perhatian pemerintah, tapi lebih ke semak belukar atau hutan kelapa sawit di sekitaran belakang rumah. Untuk apa? Saya juga sempat menggelengkan kepala melihat aksi Bapak yang seperti itu. Namun, pernah suatu hari, kami mendapati ia membawa dua buah cincin emas dua puluh empat karat sepulang dari blusukannya.
“Bagaimana bisa, Pak?” tanya kami.
“Sebenarnya Bapak sering bertemu dengan peristiwa seperti tadi. Hanya saja, pada waktu sebelum-sebelumnya, hanya ada tikar dan beberapa lembar pakaian dalam saja.”
Yang terakhir ini adalah sifat yang paling menjengkelkan Bapak bagi kami semua: pikun. Memang, banyak helai rambutnya yang sudah mulai kehilangan zat melanin. Tapi kami yakin dia belum benar-benar pantas untuk menjadi pikun. Saudara di atas saya, yakni si sulung, baru saja berumur sembilan belas tahun. Ia baru saja menamatkan sekolahnya setahun yang lalu. Itu berarti Bapak tidaklah tua-tua amat.
Biasanya, orang pikun senantiasa melupakan segala hal. Entah itu wajah, nama, letak benda, dan cara berkomunikasi yang baik. Tapi tidak dengan Bapak. Ia hanya pikun terhadap apa-apa yang dikatakannya. Contohnya begini, bila dua tahun lalu Bapak pernah berjanji bahwa akan mengajak kami berlibur ke Raja Ampat, maka bila saat itu telah tiba, Bapak akan berlaku seperti seolah-olah tak pernah berjanji. Sekalipun sudah kami tagih, ia tetap merasa tak pernah mengatakannya.
***
Sebentar lagi fajar menyingsing, tapi Bapak tidak ada di rumah. Kami yang dari tadi malam tidak tidur sedikit pun demi acara besar nanti, merasa gusar. Ke mana Bapak di saat ia harus berada di hadapan kami? Mengapa ia tiba-tiba menghilang?
Saudara saya yang nomor empat tidak sabar. Rasa penasaran kian berkecamuk dalam dadanya. Maka, ia pun mendatangi Ibu di kamarnya.
“Bu, Bapak ke mana?”
“Ibu juga tidak tahu. Katanya sih, mau pergi menjenguk temannya di luar kota yang sedang dilanda musibah gempa. Tapi, kalian yakin soal semua ini?” tanya Ibu.
“Mau sampai kapan lagi kita menunggu, Bu? Yang penting kan, Ibu sudah punya penggantinya!”
“Ih, kau jangan sok tahu! Ibu bahkan belum apa-apa.”
“Tenang, Bu! Kami semua sudah punya rekomendasi! Intinya, Bapak harus mencopot gelar kepala keluarganya secepat mungkin!”
Saya dan tiga saudara lainnya menguping percakapan mereka melalui dinding. Benar apa yang dikatakan saudara nomor empat. Kami telah memiliki satu kandidat yang pantas untuk menjadi kepala keluarga kami.
Ialah Jenderal Abri. Ia merupakan salah satu sosok yang paling disegani di desa ini. Ia merupakan satu-satunya manusia di desa ini yang merupakan personel TNI. Terlebih, ia masih bujang. Tentulah Ibu pasti akan terbang mengitari atap rumah penuh sukacita bila kami sebut nama yang akan menggantikan Bapak.
Maka, beberapa waktu kemudian, tepat saat sinar surya mulai benderang, terdengar derap langkah mendekati rumah kami. Itu pasti Bapak, batin saya. Lantas, saya memberi aba-aba kepada empat saudara saya. Mereka mengangguk penuh kesiapan. Satu persatu dari kami mulai mengendap-endap melangkah keluar melalui pintu belakang. Di sana sudah ada Ibu yang juga bersiap untuk berunjuk rasa. Tak terasa, singgasana Bapak di keluarga ini sedang di ujung tanduk.
Mumpung Bapak masih sibuk mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, kami merapikan barisan dan berdoa sepenuh hati di sisi kanan rumah, agar segala apa yang kami harapkan segera terwujud. Setelah saya memberi isyarat, kami pun langsung melantangkan kalimat penuh harapan: “Waktunya ganti bapak! Waktunya ganti bapak! Tak ada lagi waktu untuk Bapak!”
Alangkah malunya kami, ternyata itu bukan Bapak. Suara kami perlahan memudar dan mata tengah bergambar tanda tanya. Siapa mereka? Siapa lelaki tegap berjas dan kacamata hitam dengan janggut palsu di wajahnya itu? Kenapa ia bertumpu pada sebuah tongkat? Lalu, siapa wanita cantik bertopi putih dengan rambut kuncir kuda yang tengah berdiri penuh pesona di sampingnya? Dan, apa isi koper yang dijinjing oleh lelaki satunya yang tubuhnya seperti atlet binaraga? Hei, mengapa ada seorang polisi berwajah penakut ikut bersama mereka? Kenapa ada seorang kameramen juga? Siapa mereka sebenarnya?
“Hei, jangan bodoh! Mereka dari acara tivi!” bisik saudara nomor satu.
“Yang benar saja! Maksudmu acara yang bertajuk Uang Terkejut itu?” Saudara nomor empat seakan tak menyangka.
“Apakah itu artinya kita akan diberi uang yang tersimpan di dalam koper itu?” pupil Ibu bergetar.
Tak lama kemudian, mereka menyadari keberadaan kami yang sedari tadi terpaku menatap mereka. Dengan sigap mereka menghampiri kami.
“Apakah benar ini kediaman keluarga Bapak Tit?”
“Ya, benar! Benar sekali, Paman!” jawab kami serempak.
“Jadi, di mana Pak Tit sekarang?”
“Ng… Dia… Anu…” Saya menampar saudara saya yang kebingungan dan mencoba memperbaiki, “Percayakan saja pada kami, Pak! Kami anak-anaknya! Beliau adalah ayah kesayangan kami! Mohon maaf bila beliau tak dapat hadir, sebab ia sedang bekerja. Ia sangat sibuk bekerja!”
“Waw! Baiklah, ini ada uang seratus juta,” sesaat setelah lelaki berjanggut palsu itu mengucapkan nominalnya, air liur kami menetes. “Jadi, nanti tolong sampaikan…”
“Tidak!”
Ya ampun! Bapak datang!
“Jangan terima uang itu.”
Kami melongo heran. Lelaki itu menanyakan maksud Bapak yang menolak pemberian itu.
“Ada yang lebih membutuhkan ketimbang kami, Pak. Contohnya si Udin Botol yang tinggal di ujung jalan. Ia tengah mengidap penyakit parah. Mungkin uang dari Anda bisa membantu dalam pengobatannya.” Mereka mengangguk.
Melihat seringai Bapak yang seakan benar-benar lugu dan berlagak sebagai malaikat, kami ingin menelannya hidup-hidup. Bapak memang orang baik, tapi tetap saja, seseorang harus menggantikan posisinya.
Sejurus kemudian, tibalah sekelompok manusia, turun dari mobil. Mereka terdiri dari lima orang yang tampak seumuran dengan kami dan seorang wanita yang tampak seusia Ibu. Wajah mereka berseri-seri. Kami dipenuhi tanda tanya.
“Pak, siapa mereka?” tanya kami.
“Waktunya ganti keluarga,” ujar Bapak sembari mencabut semacam alat penyadap kecil dari atas kepala kami. (*)
Natai Kerbau, Agustus 2018.