Malam sudah larut saat Surya kembali dari ladangnya. Sehabis membasuh tangan dan kakinya di sumur belakang rumah, iapun masuk ke dalam dan mendudukkan diri pada dipan bambu yang hanya berselimut kain selapis. Sementara di depan jendela yang tak berbingkai seorang gadis duduk di sana. Membelakangi Surya. Menatap langit bertabur bintang dengan penuh harap.
“Aku mau pulang,” katanya masih menatap langit. Surya yang mulai terkantuk sontak memicingkan mata. “Kamu sudah tahu caranya?” tanya Surya. Gadis itu menggeleng. “Lantas? Mengapa kamu berkata ingin pulang jika kamu tak tahu caranya?” “Aku rindu mama.” “Iya aku tahu, tapi, bagaimana caranya kamu pulang?” “Bantu aku pulang,”
Surya menatap punggung gadis itu dengan sedih. Meskipun matanya berat sekali, tapi ditahannya sekuat tenaga. Ia selalu saja mencoba terjaga sepanjang malam. Begitu setiap hari. Sejak gadis itu hadir di hidupnya. Kopi pahit segelas besar selalu ia hirup ketika malam tiba. Kopi yang katanya dapat mengusir kantuk, nyatanya bohong belaka.
“Katakan padaku bagaimana aku bisa membantumu? Apapun itu pasti akan aku lakukan.” kata Surya. Saban malam gadis itu berkata ingin pulang dan Surya tentunya sangat ingin memulangkan gadis itu ke tempat asalnya. Namun, jika bersandar pada realita, maka ia tidak bisa. Tempat tinggal gadis itu adalah tempat yang tak tergapai. Terlalu tinggi. Terlalu jauh. Terlalu mustahil.
Gadis itu hanya mendesah pelan. Lalu mendudukkan diri di samping Surya. Tubuh mungil gadis itu mengeluarkan cahaya terang tetapi tidak menyilaukan mata. Ia tersenyum pada laki-laki muda itu. Senyum yang menurut Surya seindah bulan purnama.
“Tidakkah kamu ingin tinggal di sini?” tanya Surya. Gadis itu tersenyum lagi sambil menggeleng. “Tempat tinggalku bukan di sini.” “Lalu jadikanlah ini sebagai tempat tinggalmu.” “Tidak semudah itu. Bumi dan langit itu berbeda, kamu tahu. Sama seperti siang dan malam. Kita semua sudah ditempatkan di tempat kita masing-masing. Kita bisa hidup berdampingan, tapi tak bisa saling membaur.”
Gadis itu sudah dua minggu terdampar di sini. Di desa terpencil di pinggir hutan. Ia datang tepat saat tengah malam. Menangis dan terisak di depan rumah bambu Surya yang ukurannya sangat sederhana. Membangunkan Surya yang sudah lama berkelana di alam mimpi. Gadis itu menangis sesenggukan saat Surya menghampirinya. Mengatakan hal-hal yang tidak bisa dipahami Surya.
“Aku jatuh. Aku sudah jatuh,” jawabnya ketika Surya bertanya siapa dirinya. “Jatuh dari mana?” “Dari sana.” jawab si gadis sambil menunjuk ke angkasa. “Dari langit?” tanya Surya tak yakin. Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan, disertai isakan-isakan yang masih saja keluar dari mulut kecilnya.
Surya menyipitkan mata. Memandangi gadis yang tubuhnya berpendar cahaya. Hanya kebingungan yang menghinggapi Surya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Seperti tentang: siapa sebenarnya gadis itu. Atau lebih tepatnya: dia itu apa.
“Jadi, mengapa kau bisa jatuh?” tanya Surya saat gadis itu sudah duduk di jendela tanpa bingkai di dalam rumahnya. “Aku sebenarnya menjatuhkan diri.” “Mengapa?” “Karena dari atas sana aku melihat cahaya kelap-kelip yang indah sekali. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu. Seperti warna pelangi. Aku mengagumi cahaya itu setiap malam. Mula-mula cahaya itu hanya tersebar di tengah saja. Lalu sekian tahun berlalu, mereka mulai menyebar. Memperbanyak diri. Seperti beranak pinak. Aku semakin betah memandangnya. Aku lalu turun ke bumi untuk melihatnya langsung.”
“Jadi karena lampu?” tanya Surya. “Lampu? Itukah namanya?” “Hmm, jadi sebab itukah kamu ke sini?” “Ya. Tapi aku jatuh di tempat yang salah. Bukan tempat ini yang aku harapkan. Di sini aku tidak bisa melihat cahaya itu. Mengapa? Apakah ini bukan bumi? Apakah aku jatuh di planet lain?” mata gadis itu berkaca-kaca. “Tentu saja ini bumi.” “Lalu di mana cahaya-cahaya itu?”
“Tempat kamu terjatuh ini adalah desa kecil di pinggir hutan belantara. Kamu tidak akan menemui cahaya-cahaya itu di sini, karena desa ini letaknya jauh di pedalaman. Terpencil. Tidak ada jalan. Tidak mudah dijamah oleh manusia apalagi oleh teknologi. Kamu hanya akan menemukan kegelapan yang pekat saat malam hari. Satu-satunya cahaya yang bisa kamu lihat adalah cahayamu sendiri.” setelah mengatakan satu kalimat terakhir itu Surya menyunggingkan senyum pada gadis yang selama ini menatapnya. Gadis itu hanya memiringkan kepala sambil menatap Surya dengan wajah bingung.
Semenjak kehadiran gadis yang menamai dirinya Bintang itu, Surya jadi jarang pergi ke ladang. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah menemani Bintang. Menceritakan tentang banyak hal yang ingin didengar oleh gadis langit itu. Surya terus bercerita setiap malam. Seperti malam ini, ia kembali bercerita pada Bintang yang selalu saja duduk di jendela tanpa bingkai. Bintang yang sedang menatap kelap-kelip bintang lain di langit.
“Aku ingin pulang,” kata Bintang. Surya menegang, kata-kata Bintang membuatnya menggantung cerita di tengah jalan. “Tapi aku tak tahu caranya,” sambungnya lagi. Surya menarik napas lega karenanya.
Jujur sebenarnya Surya sudah jatuh cinta pada Bintang. Saat pertama kali Bintang jatuh di depan rumahnya. Atau sudah lama sebelum itu. Tepatnya saat Surya masih anak-anak yang tiap malamnya ia habiskan untuk mengagumi bintang-bintang di langit. Mengagumi kelap-kelip cahaya mereka di malam yang pekat. Di desa yang gelap. Bagi Surya, kehadiran bintang di angkasa sudah cukup untuk menerangi malam-malamnya. Dan kehadiran Bintang saat ini, ia harapkan bisa berlangsung selamanya. Terlalu tinggikah harapan itu bagi manusia biasa sepertinya?
Sekarang, saat tepat tengah malam, Bintang mengguncang tubuh Surya yang tertidur di dipan bambu dengan kencang. Sambil mengatakan bahwa dirinya melihat cahaya di dalam hutan. “Antarkan aku ke sana,” kata Bintang antusias. Alis tebal Surya mengkerut saat mendengarnya. “Cahaya di dalam hutan?” tanyanya. “Iya! Aku melihatnya. Cahaya itu besar dan bergoyang ditiup angin. Cahaya-cahaya itu berjalan beriringan menuju ke sini!”
Surya sontak berdiri. Ia mengambil kain yang selama ini menutupi dipan kemudian melilitkannya ke tubuh Bintang. Menyembunyikan cahayanya. Surya menyambar tangan Bintang dan membawa gadis yang sedang kebingungan itu menuju bukit di seberang ladangnya. “Cepatlah, kita harus menghindari mereka. Mereka adalah pemburu bintang jatuh.”
Surya terus membawa Bintang menyusuri bukit yang dijejali semak dan pepohonan besar. Membawanya ke dalam kegelapan yang semakin menenggelamkan apapun yang ada di sekitarnya. Surya akan membawa Bintang ke kota. Tempat di mana cahaya berkelap-kelip yang sangat didambakan Bintang berada. Setidaknya membawa Bintang menuju cahaya kelap-kelip lebih mudah daripada mengembalikan bintang jatuh ke tempatnya semula.
Cerpen Karangan: ZaiJeeLea Facebook: facebook.com/zaijeelea Suka membaca tapi masih belajar menulis^^