Matahari sudah hampir terbenam. Penduduk desa yang masih berada di luar bergegas masuk ke rumah lalu mengunci pintu dan jendela rapat-rapat. Anak-anak yang asyik bermain dipaksa pulang. Mereka langsung menangis, meraung, bahkan ada yang menyentak tangan ibunya, memberontak. Menolak mentah-mentah suruhan si ibu karena mereka sedang asyik bemain. Namun si ibu tetap menarik tangan anaknya dengan paksa. Langkah kecil mereka terserat, tentu kekuatan si ibu bukan tandingan anak kecil macam mereka.
Tidak boleh ada satupun warga desa yang masih berada di luar rumah pada saat itu, setiap hari, saat senja tiba. Ada cerita seram dibaliknya. Cerita yang tidak akan bisa dilupakan oleh mereka, penduduk desa bertelinga indah itu.
“Mengapa kita tidak boleh keluar, Bu?” tanya Anes, anak perempuan berumur lima tahunan pada ibunya. Saat itu si anak perempuan duduk anteng menatap ibunya yang sibuk menutup serta mengunci jendela. “Jika kamu berada di luar rumah di antara senja sampai subuh, kamu akan dimangsa mereka.” jawab sang ibu. “Mereka itu siapa, Bu?” “Mereka adalah jelmaan kobra. Mereka sangat berbahaya bagi kita. Meskipun dulu kita dan mereka adalah teman yang saling berbagi cerita.” Anes itu menelengkan kepala. “Apakah hanya kita yang dimangsanya?” Ibunya mengangguk beberapa kali sebagai jawaban. “Mengapa?” tanya Anes dengan kepolosan khas anak seusianya.
Ibu duduk di sampingnya. Mengusap sudut bibir Anes yang belepotan. “Ceritanya panjang, jadi kita adalah manusia yang memiliki bentuk telinga yang indah. Kita suka sekali mendengarkan cerita orang. Apapun jenis ceritanya. Lalu para jelmaan kobra, mereka sangat suka bercerita. Memiliki mulut yang manis sekali. Namun yang mereka ceritakan adalah keburukan-keburukan orang. Nah, di situlah masalahnya. Untuk menjaga keindahan telinga kita, kita harus terus mendengarkan berbagai macam cerita. Termasuk cerita si kobra. Sekali saja kita mendengar cerita jelmaan kobra telinga kita akan semakin indah. Tapi ternyata lama-lama mereka meminta imbalan.”
“Apa imbalannnya?” “Hati kita.” “Untuk apa?” “Untuk mereka makan. Semakin banyak mereka makan hati kita, semakin manis mulutnya.”
“Bagaimana ciri-ciri mereka?” “Mereka bertubuh manusia, sama seperti kita. Namun mereka memiliki bayangan yang tidak biasa. Bayangan kobra. Mereka tidak pernah keluar saat siang, karena sinar matahari tentu saja akan memperlihatkan bayangan asli mereka. Mereka hanya keluar saat matahari sudah terbenam. Maka dari itu, kamu jangan berani keluar saat malam, ya.” Anak perempuan itu mengangguk. “Baik, Bu.” ucapnya sambil tersenyum manis. Ibunya ikut tersenyum sambil merapikan poni anaknya yang sedari tadi berantakan.
“Oh ya, Bu, apakah mereka masih hidup?” “Entahlah, tapi warga desa yakin kalau mereka sudah mati kelaparan karena tidak bisa memakan hati kita lagi.” Anak perempuan itu mengangguk lagi. “Sudah, ayo pergi tidur.” kata si ibu. Anak perempuan itu cemberut.
“Bu, apakah ada warga kita yang pernah berjumpa dengan jelmaan kobra?” “Ada, nenek yang tinggal di ujung desa. Beliaulah satu-satunya yang masih hidup.” “Mengapa nenek itu tidak pernah keluar dari rumahnya?” “Dulu nenek itu bilang kalau dia tidak sengaja mendengar kelemahan para bayangan kobra. Mereka mengejar nenek untuk dibunuh agar nenek tidak bisa membocorkan rahasia. Nenek bilang ia terus berlari, keluar masuk hutan. Berkali-kali menyeberang sungai dan rawa, akhirnya nenek tiba di desa kita yang sangat terpencil ini dengan selamat. Bayangan kobra tidak bisa mengejarnya. Dan mulai sejak itu dia tidak pernah mau keluar dari rumahnya”
“Sudah, ayo pergi tidur.” Sebenarnya anak perempuan itu masih ingin mendengar sambungan cerita luar biasa itu. Namun, karena malam sudah agak larut dan dirinya yang mulai mengantuk, maka dengan patuhnya ia pergi tidur.
Pagi ini, saat matahari baru beberapa menit yang lalu menampakkan diri, warga desa sudah ramai berbondong-bondong menuju rumah yang terletak di ujung desa. Rumah yang kata warga penghuninya adalah seorang wanita berusia seabad. Tak ada seorangpun warga yang tahu bagaimana rupanya sekarang karena ia tidak pernah menampakkan diri lagi. Namun hari ini nenek itu mengundang semua warga desa ke rumahnya. Ada hal yang ingin ia sampaikan sebelum mati, katanya.
Rumah itu cukup besar sehingga mampu menampung semua warga desa yang hanya berjumlah tiga puluhan. Setelah semua warga desa masuk, lalu pintu ditutup dari luar. Menjadikan rumah yang tanpa jendela itu semakin gelap. Tiba-tiba keluarlah nenek itu dari biliknya. Dikarenakan keadaan yang gelap maka warga desa tidak bisa melihat dengan jelas rupa nenek itu. Yang tampak jelas adalah rambutnya yang berubannya dan pakaian putih yang lusuh.
“Maaf aku harus mengunci pintu, karena aku masih sangat trauma,” kata si nenek dengan suara yang serak. Warga mengangguk maklum. “Ajal sudah dekat sekali denganku. Maka sebelum aku mati, akan kuberitahu sebuah rahasia kepada kalian. Rahasia tentang manusia berbayangan kobra.”
“Apa itu, nek?” tanya warga dengan antusias. “Sebenarnya, para jelmaan kobra itu masih hidup. Mereka selalu mengintai kalian, siang dan malam. Tanpa kalian sadari.” “Dimanakah mereka. Biar kami temukan untuk dibunuh.” tanya seorang warga. Nenek itu terkekeh ngeri sekali. “Tidak, tidak perlu kalian cari. Mereka sudah ada di sini,” Setelah berkata begitu, pintu rumah nenek terbuka kencang. Wargapun sontak menoleh. Di ambang pintu terlihat banyak manusia yang berjejalan ingin masuk. Mereka mendesis sembari mengeluarkan lidah yang bercabang.
Nenek itu kembali terkekeh, kali ini lebih nyaring dan lebih mengerikan. “Mereka sudah berkumpul,” kata si nenek. Warga menatap ke arah nenek yang kini rupanya bisa terlihat jelas karena pintu yang terbuka. Nenek itu tersenyum lalu mendesis seperti manusia yang ada di luar sana. Di dinding tergambar jelas sekali bayangan si nenek yang ternyata berbentuk kobra. Warga desa yang bertelinga indah sudah terperangkap. Saatnya manusia berbayangan kobra berpesta.
Cerpen Karangan: ZaiJeeLea Facebook: facebook.com/zaijeelea/ Salam hangat,