Mau tidak mau, Adi buka buku itu. Dengan perlahan Adi pegang sampul buku itu, lalu dibaliknya. Angin berhembus kencang, Adi bergetar ketakutan, tak pernah ia kira akan ada hembusan angin yang kencang dalam gudang tua yang tertutup ini. Tiba-tiba buku tersebut bergerak sendiri, seakan hidup dan membalik-balikkan halaman demi halaman hingga ke bagian tengah. Adi terkejut, mundur ia selangkah kebelakang. Namun rasa ketakutannya mengalahkan akalnya, ia bergerak mendekati buku itu, dilihatnya bagian tengah buku tersebut.
“Aaaahhh…!!!”. Adi melompat kaget, tersungkur jatuh ke tanah. Untung sikunya menahan posisi badannya sehingga ia tidak jatuh terlentang dan kepalanya selamat. Bisa ia rasakan sikunya berdarah karena tergores lantai gudang yang kasar dan kotor. Ia ketakutan. Badannya bergetar hebat, bajunya basah seperti mandi keringat. Ia tak bisa berkata-kata, berdiri pun tidak bisa. “SATAN” pikirnya, kepala kambing dengan sebuah pentagram persis di tengah buku. Keluarlah cahaya merah dari lambang setan tersebut hingga menerangi langit-langit gudang. Tiba-tiba ruangan gudang tersebut menjadi gelap, seakan diselimuti kabut hitam yang pekat. Kepalanya menengadah, dan matanya terbelalak. Terlintaslah di benaknya akan kejadian yang menimpanya…
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Lalu lintas masih ramai dengan mobil dan motor, pejalan kaki masih banyak berlalu-lalang di pinggir jalan yang baru di aspal. Walikota telah menyulap kota ini dengan membangun trotoar yang indah dan besar di pinggir jalan dan menghiasinya dengan bangku taman, disertai dengan bollard yang menambah kesan estetika. Lampu jalanan menyala menambah keramaian kota. Itu semua memang program walikota yang baru terpilih pada periode keduanya, sebagai bukti baktinya pada masyarakat.
Seperti hari-hari sebelumnya, anak itu pulang menggunakan angkot malam. Namanya Adi. Ia pulang dengan berjalan kaki dari sekolah sekitar 5 menit, hingga sampai di pinggir jalan sudirman, lalu mengambil angkot. Ia duduk lemas di angkot. Bibirnya berdarah, namun ia seperti tak merasakan apa-apa. Pipinya bengkak, berwarna kebiru-biruan. Matanya sayu, dengan pandangan kosong. Kalau ada orang yang melihatnya, mungkin akan mengira bahwa pikirannya pun kosong, namun nyatanya tidak. Pikirannya kacau, bergejolak. Ibarat laut samudera, tampak tenang di permukaan namun terdapat arus yang sangat deras di dasar. Ia tampak tenang dengan pembullyan yang terjadi padanya, padahal ia sebenarnya sangat tertekan. Ia sudah tidak bisa sabar dengan apa yang dihadapinya. Perlahan meneteslah air matanya, mengalir perlahan di pipinya. Ia tidak menghapusnya, untunglah malam itu penumpang angkot sepi, hanya ia seorang ditemani pak supir.
“Mati saja kalian semua!!!” hardiknya keras sambil menggigit jari jempolnya hingga berdarah. Ia sudah tak bisa memendamnya lagi, ia pun menangis sambil meratapi nasibnya. Dari pagi hingga pulang sekolah, teman-temannya mengucilkannya. Ia tidak tahu kenapa ia bisa ditempatkan di kelas itu, ya, kelas yang menurutnya adalah neraka dunia. Ia tahu, bahwasanya “mereka”, teman-teman sekelasnya, adalah setan-setan munafik bermuka dua. Tidak, masalah ini tidak sesederhana kelas, ia tahu yang bermasalah adalah sekolah ini, yang menurutnya dipenuhi kebencian dari para penghuninya. Ia tidak tahu kenapa ia mendapat sekolah itu, ia sudah belajar giat agar bisa mendapat sekolah terbaik. Orang bilang usaha tidak akan mengkhianati hasil, namun ia tahu, hasilnya telah mengkhianati dia sendiri, yang mencampakkan ia pada neraka dunia ini, yaitu “sekolah”.
Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak, sekolah bukanlah neraka dunia ini, namun dunia ini adalah neraka itu sendiri. Ia tidak tahu kenapa ia ditempatkan di neraka ini. Sudah sering ia mendengar bahwa neraka adalah tempat pembalasan bagi orang-orang yang berbuat jahat di dunia, namun ia tidak mengerti kenapa ia lahir di neraka. Lahir dari Rahim orangtua dalam keadaan premature 7 bulan, dan memiliki fisik yang lemah. Umur 7 tahun ia terserang Syndrome Steven Johnson, hingga membuat dia harus dirawat intensif di rumah sakit selama 2 minggu. Kesialannya tidak sampai disitu, orangtuanya harus menanggung biaya rumah sakit yang besar hingga membuat keretakan pada hubungan keluarganya. Dia yang masih polos setiap hari harus mendengar pertengkaran ayah dan ibunya, membuat mentalnya hancur. Broken Home. Itulah pikiran tetangga dan teman-temannya. Itulah sebabnya teman-teman sebaya menjauhinya, padahal ia tahu itu bukan salahnya. Bukan salahnya lahir secara premature dan berpenyakitan. Bukan salahnya mendapat orangtua yang sering bertengkar. Bukan salahnya…
“hiks hiks…, bukan salahku.. hiks hiks…” ia menangis, lalu termenung sejenak dalam duduknya. “dunia inilah yang salah…!!!” teriaknya kuat tiba-tiba, wajahnya merah kecoklat-coklatan, seperti apel busuk. “sudah sepatutnya dunia ini hancur…, sudah sepatutnya mereka musnah…, sudah sepatutnya dunia ini berubah… jadi NERAKA!!!” hardiknya kuat-kuat, nafasnya mulai tak beraturan, tangannya sudah mengepal terlalu kuat, tampaklah urat nadi di leher dan tangannya. “Duggg…”, ia terdiam. Seperti ada yang menusuk dadanya, merasuk tepat dalam jiwanya, redalah kemarahannya.