“Paman, apakah benar buku yang paman cari berupa buku itu saja tanpa sampul?” “Apa maksudmu ‘tanpa sampul’?” Paman Joa menutup buku itu, tapi keadaan masih tetap sama. “Buku tua seperti ini sudah tersampul, lihat? Buku-buku ini dijaga oleh penjaga perpustakaan istana.” “Lalu, bagaimana buku itu muncul di sini, paman??” tanya Novia dengan semakin cemas. “Aku minta maaf padamu, nona.” Paman menarik napas dalam. “Saat itu terjadi perang. Aku tak tahu ini waktu yang tepat untuk bercerita, tapi Tuan Putri mengatakan langsung padaku kalau ia menggunakan buku ini untuk menyelesaikan pertikaian dahsyat itu. Lalu…, bagai indah kabar daripada rupa, ‘sihir itu justru tersimpan kekuatan yang membahayakan’.” “Sihir dari buku itu menyebabkan malapetaka kedua, ia menyerap segala yang ada di sekelilingnya, termasuk buku itu sendiri,” lanjut paman. “Nasib baik, Tuan Putri selamat, tidak ada yang terluka dan… ah itu semua tidak penting, kita perlu keluar dari sini!” Paman Joa berdiri memeriksa apakah api tadi masih menyebar.
Roan kini memahami beban yang Paman Joa alami. Ia mengambil buku yang diletakkan paman itu. Kukunya tidak sengaja tergores sebuah kancing besi di sampul buku itu. “Apa ini?” guman Roan. Novia yang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya mencoba melihat apa yang Roan lihat. “Oh, itu kancing segel buku.” “Katakan lagi.” “Itu kancing dari segel–” Novia merebut buku itu dari tangan Roan secepat kilat. Lalu, membalik bukunya, terdapat dua kancing segel yang tertempel di buku itu. Novia tergemap, buku itu ternyata memiliki kancing yang terbuka tanpa segel. Ia berpikir kalau mungkin segel itu rusak atau semacamnya.
“Apa kau berpikir apa yang aku pikirkan?” tanya Roan “Aku tidak bisa telepati,” ucap Novia sambil berdiri. “Paman, paman!” Novia memanggil paman yang sudah hilang dari pandangannya. Namun, ia langsung kembali, dengan berlari. “Gawat, api itu sudah hampir melahap setengah perpustakaan. Mereka langsung beranjak pergi dari tempat itu. “Paman, berhenti!” sahut Novia. Seketika paman langsung menghentikan larinya. “Apa yang ingin kau bicarakan di situasi genting ini hah?” “Paman, lihat! Buku ini kehilangan segelnya,” ucap Novia. “Lalu?” “Mungkin kita bisa mencari di mana segelnya?” lanjut Roan “Dan?” “Ini terdengar tidak masuk akal, tapi mungkin saja hal itu bisa menghentikan api ini.” Paman Joadian memegang dagunya, berusaha menangkap apa yang mereka tujukan. “Kau benar, itu tidak masuk akal. Tapi kita bisa mencobanya.”
Roan dan Novia pun bisa sedikit menarik nafas lega. Mereka langsung membagi ruangan perpustakaan yang tersisa untuk mereka cari masing-masing. Selagi mereka tidak bisa menyentuh apapun. Mereka hanya bisa melirik dengan teliti ke setiap celah-celah di perpustakaan yang luas ini. Roan mencari segel itu di bagian belakang perpustakaan, tempat yang biasanya penuh buku-buku bekas. Ia berpikir petugas perpustakaan menaruhnya di sekitar tempat ini. Novia memeriksa di setiap sudut meja pengunjung yang tersebar. Berharap mungkin saja ada seorang yang melihat, lalu menaruhnya di meja. Lalu, Paman Joadian, ia bekerja paling cepat melihat ke segala sudut rak buku di bagian perpustakaan yang masih belum ternyala oleh api.
Roan merasakan keringatnya menetes lebih deras dari sebelumnya, ia seperti lilin yang meleleh. Ia semakin mencair lagi ketika tahu ia tidak menemukan benda itu sama sekali di bagian perpustakaan yang ia amat-amati dari tadi. Ia tahu seharusnya perpustakaan memiliki ruangan khusus peralatan, tapi ruangan itu sudah dilahap oleh si jago merah yang kini mengepungnya itu. Gawat!
Matanya terganggu oleh benda yang menyinarinya dari bawah rak. Detak jantungnya terdengar lebih keras di telinganya daripada kobaran api yang membisik seperti kertas terbakar. Ia berwalanghati dan juga bertanya-tanya benda apa itu. Apa itu benda yang ia cari saat ini? Bagaimana jika bukan?
Ia terpaksa mengintip ke bawah rak buku itu. Kakinya ia tahan untuk tidak menyentuh ke sembarang tempat agar tidak menambah perkara. Mata kirinya melirik ke balik bayangan rak yang terlalu gelap. Benda itu memantulkan sinar, ia tidak tahu apa itu benar segel yang ia cari karena dengan berhentinya waktu, benda yang ia sentuh bisa saja tidak bergerak dan justru kaku di tempatnya dan hanya menyebarkan api. Namun, tangannya harus berbuat sesuatu. Ia menjulurkan tangannya dengan hati-hati, ia berharap nafasnya teratur sehingga tangannya hanya menyentuh ke benda itu, bukannya menjamah ke rak buku.
Jarinya bergetar, tangannya juga bergetar, ia tidak mengerti mengapa mereka bergetar. Kini kelima jarinya tepat berada di antara selipan rak buku yang siap menyebarkan api langsung ke mukanya, dan juga sebuah benda yang ia curigai sebuah segel buku yang juga memiliki bagian yang terbuat dari besi bersinar.
Tangannya menyentuh benda itu. Dapat! Ia langsung menarik benda yang ia sentuh itu, ia merasa panas di tangannya. Matanya menipunya. Itu hanyalah sebuah pulpen sialan yang terbuat dari besi dan ia menggelindingkan sebaran api ke sepatu Roan dengan cerobohnya. “Sialan!!” umpatan Roan terdengar ke seluruh ruangan.
Novia bisa mendengar kekesalan hatinya dari mulut Roan. Ia menjatuhkan wajahnya ke lantai setelah tidak menemukan apapun di seluruh meja perpustakaan. Hanya buku, pulpen, lampu meja, dan buku saja. Roan berjalan dengan lemas tanpa hasil yang memuaskan, ia bahkan hanya menyebabkan masalah semakin tersebar. Roan dan Novia saling menatap satu sama lain, kerisauan mereka sama.
Paman Joadian menghampiri mereka. Ia tidak melihat apapun di tangan mereka. Buku di tangannya terasa semakin memberatkan bebannya. Ia menjatuhkan kedua lututnya ke lantai, meletakkan buku yang selalu tertutup itu ke lututnya. Ia mengusap sampul buku yang tanpa judul, juga tanpa nama. Tidak perlu nama untuk mencelakai orang, ucapnya.
Kobaran api itu akhirnya mencapai ke beberapa langkah dari kaki Roan. Mereka tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri lagi. Mereka terkepung, di depan pintu keluar perpustakaan yang Roan harap bisa tarik. Namun, ia tetap paham api itu akan mencarinya walau ia pergi ke bagian utara dunia sekalipun. Dunia pada akhirnya–di pikiran Roan–hanya museum penuh patung yang pernah hidup bila ia tidak menyelesaikan masalah ini segera.
Paman Joa kehilangan harapan. Ia ingin mengucapkan kalau ia beruntung bisa bertemu mereka berdua, tapi ia tak ingin mereka yang justru kehilangan harapan karenanya. Mereka hanya berdiri, tak ada rencana lagi di benaknya. Menatap ke ruang kosong di hadapannya. Novia menatap ke jendela di mana ia seharusnya berada. Paman Joadian memandangi bukunya dengan kekecewaan tidak bisa menyelesaikan amanah yang diberikan Tuan Putri padanya.
Roan, ia melamun ke kasir. Ia tidak memiliki masalah apapun dengan petugas kasir perpustakan yang ada di hadapannya itu. Patung petugas yang ia lihat itu hanya melaksanakan tugasnya seperti biasa. Tangan kanannya sibuk merapikan buku-buku yang hendak dipinjam. Sedangkan tangan kirinya, tangan kirinya bersembunyi di sudut meja–Roan berpikir tangannya sedang membuka laci. Matanya pun mengarah ke tangan kirinya itu, dengan muka kecewa. Pikiran Roan menghitam. Ia kehilangan pikirannya sejenak.
Roan berlari dengan nekat ke arah kasir perpustakaan. “Roan!” Teriakan Novia tak menghentikan Roan, ia menyentuh ujung meja yang pasti akan terbakar tidak lama, lalu menghenyakkan kakinya melewati meja kasir. Roan melakukan tindakan yang bodoh, tapi matanya tidak membodohinya kali ini. Ia melihat sebuah segel dengan kedua ujung kancing besi sama seperti yang dimiliki buku di tangan Paman Joa. Roan segera merampas segel itu dari laci.
“Paman!” Paman Joa sudah membaca tangan Roan itu, ia melemparkan segel itu langsung ke tangkapan Paman Joadian, Novia pun juga membantunya. Mereka bertiga berharap itu segel yang persis dengan milik buku itu. Persis, ini segelnya. Roan kembali melompati meja kasir dengan puas hati. Ia tidak memperhatikan kaki dan punggungnya yang sudah tersentuh api. Semoga berhasil.
Klik, telinga Roan merasa senang mendengar suara itu. Terpasang sudah segel itu ke buku yang dipegang Paman Joa. Roan menutup matanya saat api di punggungnya mulai terasa sangat memanggangnya. Ia membukanya lagi, Novia dan Paman Joa berada di posisi seperti pengunjung perpustakaan biasa. Dua orang pengunjung membuka perpustakaan dan berjalan ke dalam perpustakaan seperti biasanya. Ia menarik nafas sangat lega.
Novia melirik mata Roan, “psst… Roan, kau terlihat aneh di sana!” bisik Novia. Roan baru ingat kalau ia berada di depan kasir, membelakangi petugas perpustakaan. Ia segera berjalan dengan memalukan ke samping Novia dan Paman Joa. Sekarang mereka berjalan mencari bangku untuk duduk.
Novia menemukan bangku yang sepi dan cocok sekali untuk mereka bertiga. Roan mengambil duduk lebih dulu dan sangat cepat hingga ia tak sengaja menabrakkan lututnya ke kaki meja. Paman Joa hanya duduk setelah Novia duduk di bangku seberang.
Roan menjatuhkan kepalanya ke meja dan menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Nafasnya hampir mengganggu pengunjung yang tenang membaca. Novia tergelak kecil, “dan akhirnya kita selamat.” Paman Joa juga tersenyum, ia merasa dua kali lebih beruntung karena bertemu mereka. “Paman, merasa sangat berterima kasih pada kalian. Apa yang bisa paman berikan untuk bantuan kalian tadi?” “Ah, tidak perlu paman–” Ucapan Novia terpotong oleh tangan Roan mengangkat satu jari ke langit mengisyaratkan ia menginginkan satu hal. “Ah, tapi bagaimana paman mengabulkan keinginanku?” tanya Roan. “Memang apa keinginanmu?” “Sebuah pena!”
Paman Joadian tergelitik mendengar permintaan Roan yang seperti anak-anak itu. Novia pun menamparkan tangannya ke mukanya sendiri saat mendengar ucapan Roan. Paman memasukkan tangannya ke jas yang ia pakai. Ia langsung memberikannya ke depan mata Roan tanpa memberitahu. “Baiklah, ini perpisahan kita. Senang sekali bertemu kalian.” Paman Joadian akhirnya melambaikan tangan perpisahan kepada mereka berdua. Novia dan Roan pun melambaikan tangan kecil kepadanya sejalan ia menuju ke kasir dan ‘meminjam’ buku itu. “Hey, Roan. Kalau dipikir-pikir, apa Paman Joa tidak kelihatan sedikit kuno dari kita? Maksudku, pria tinggi berjas gelap dan bertopi pandora. Apa itu tidak kuno seperti yang kau pikirkan?” “Dia terlihat keren, menurutku,” jawab Roan sambil terus mengawasi pena pemberian paman. Di pena itu terdapat ukiran kecil dengan gaya huruf yang sedikit sulit dibaca. Dari mata Roan yang memincing, tulisan itu berkata JOADIAN HITCHCOCK — MILIK KERAJAAN DANDFRALION. Hmh! Nama kerajaan yang aneh. Nama itu terdengar seperti kerajaan fiksi di telinga Roan, mungkin Paman Joa memberikannya pena yang murahan.
Ia melihat Paman Joa selesai mengurusi peminjaman buku itu, bahkan sepertinya Paman juga tidak akan mengembalikannya. Kerajaan mana yang membiarkan buku terkutuknya tersebar hingga dunia hancur? Roan pun mulai tenggelam di dalam imajinasinya soal kebenaran istana yang dikatakan Paman Joadian. Paman berjalan keluar membuka pintu perpustakaan, ia sudah tidak terlihat lagi di pandangan Roan. Roan mendengar suara kepakan burung yang cukup mengagetkannya, suara itu berasal dari depan perpustakaan. Kemudian ia mendengar suara yang mirip burung elang dari luar, tepatnya mengarah dari langit.
Novia kembali setelah memilih buku-buku. “Nov, apa kau pernah dengar Kerajaan Dandfralion?” “Wah, aku baru tahu kau suka membaca buku fiksi. Itu kerajaan megah yang dijaga oleh burung elang.” Roan mengangkat alisnya, ia tidak bisa memercayai apa yang baru saja terjadi, semua serasa sangat singkat. Ia mengangkat pundaknya yang beku, lalu berkata, “wow.”
Cerpen Karangan: Midnaya G Facebook: facebook.com/nychta.skia/ Hanya menikmati hobi saja.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com