Sedari mula, aku berpikir: dunia ini, kehidupan ini, begitu sederhana. Saat sedang melewati jalan misalnya. Kamu tidak perlu mengetahui pasti berapa centimeter lebarnya, jumlah batu kerikil yang menghiasi tepi-tepinya, atau jumlah makhluk hidup yang ikut berdiri di atasnya. Asal kamu tau bahwa melewati jalan itu layak, itu saja cukup sudah.
“Zel!” Teriak lantangnya memecah lamunanku; mengejutkan anak yang duduk di depanku. Aku segera memperbaiki posisi duduk, tubuh tegak, tatapan ke depan, dan mata penuh keseriusan. Guru itu kembali menghadap papan.
Lima menit, enam belas menit, hingga dua puluh empat menit berlalu ia menata rapi rumus-rumus di papan tulis. Tepat di menit berikutnya, bel sekolah memainkan perannya: bersuara. Pertanda jam pelajaran hari ini selesai sudah semuanya.
Kelas yang lima detik lalu senyap, kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Mata mereka yang tadinya seperti ikan mati, seketika terganti oleh mata penuh kebahagiaan kembali. Aku terkecuali. Tentu saja. Saat memasukkan semua, buku matematikaku tidak ada, hilang. Ah, biarlah. Anak yang tidak punya teman satu bangku itu menerima nasibnya tanpa perlawanan, lantas ikut pulang bersama sekumpulan.
“Aku lihat sendiri. Dia yang diam-diam menyusup ke kelas C. Yuli, Yuli pelakunya!” Langkahku terhenti oleh teriaknya. Semuanya juga sama. “Jangan mengada-ada! Tak mungkin cewek sebaik dia orangnya!” Teriak Laki-laki lain, suaranya berat dan tegas. Setelahnya satu itu menjadi dua, saling susul-menyusul berteriak. Ada yang membela ini, ada yang membela itu. Terdengar rusuh sekali di sana. Tanpa menoleh satu derajat pun, aku lanjut melangkah. Melompati gerbang, pulang.
Besoknya, langit bersih sepenuhnya. Kabut putih senantiasa menyelimuti panjangnya pagi. Waktu dan kaki ini pun melangkah seirama. Hingga bangunan sekolah terjangkau sudah. Melompati gerbang, melewati lorong-lorong, dan akhirnya memasuki kelas. Baru satu kali melangkah, seseorang mengejutkan tiba-tiba. “Zel, tolong!” Perempuan itu panik. Terlihat jelas dari wajahnya. “Saat pulang kemarin aku baru sadar ponselku hilang. Ini pasti ulah si Z. Aku harus bagaimana, nih?” “Eh, kok langsung dikaitkan dengan si Z? Eh, ma-maksudku, bisa saja kamu menaruhnya di suatu tempat, lalu penjaga sekolah sudah mengamankannya, bukan?” Aku terpaksa memberi titik terang. “Benar juga, ya.” Dia mengangguk, langsung berlari keluar.
Kini, tinggal aku seorang diri. Wajar saja. Enam. Itu yang ditunjukkan jam dinding saat ini. Sembari duduk dibungkus sepi, aku menikmatinya. Menikmati kesunyian. Sampai datanglah satu kehadiran. “Wah, tumben Rin ada tasnya doang.” Suara halusnya merobek sepi. Dia menghampiri, lalu duduk di tempatnya: tepat di depanku. Aku memerhatikannya, penampilannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. “Katanya dia jadi korban si Z. Sedang melapor.” “Oh, bahkan Rin juga jadi korban, ya.”
Sebenarnya, kami sudah langganan mengisi pagi. Kami bertiga—tak lebih. Namun, aku seorang saja yang jarang sekali melontarkan suara, bahkan jika topik pembicaraan sudah disajikan oleh mereka. Piket pun selalu dilakukan sepulang sekolah.
“Eh, Yul. Si Z itu hebat juga, ya.” Kataku, “padahal sudah hampir satu minggu sejak kemunculannya, tetapi belum terungkap siapa pelakunya. Dan setiap hari ada saja korbannya. Sekarang pun temanmu yang dapat giliran. Bahkan waktunya mungkin sudah dia rencanakan. Beraksi di awal bulan Desember memang waktu yang tepat. Guru-guru sibuk mengurus Penilaian Akhir Semester; OSIS sibuk membuat rencana matang untuk study tour; serta murid-murid itu sendiri sibuk belajar menghadapi ujian. Tiga faktor utama yang membuatnya bertahan. Tidak ada penyelidikan.” “Kau benar.” Dia menghela napas. “Kasihan, ya. Rin kehilangan benda sepenting itu.” Aku mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi, tak seperti biasanya kamu bicara panjang lebar begini. Karena itulah, minta nomormu, dong.” Aku tak menjawab, mengabaikannya. Mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dia mendengus kesal, sadar bahwa aku sudah menjadi Zel biasa: Zel yang dia kenal.
“Eh, tapi kamu juga tak seperti biasanya, Yul.” Tatapan aku putar kembali ke arahnya. Dia menoleh. “Kamu biasanya muncul dari timur, habisnya gerbang ‘kan ada di timur. Tapi, kenapa kali ini muncul dari sebaliknya?” “Eh, kau menyadarinya? Ah, i-itu karena tadi ke toilet dulu. Biasa, dingin-dingin gini jadi pengin buang air kecil terus.” Aku mengangguk, tersenyum tipis-lagi.
Setelahnya, kami tak bicara apa-apa lagi. Sementara bangku-bangku kelas perlahan mulai terisi. Dua menit sebelum bel berbunyi, kelas lengkap sudah oleh enam belas siswa dan dua puluh siswi. Rin juga sudah kembali.
Tidak ada hal menarik, jam pelajaran berlangsung seperti biasa. Empat jam pelajaran pun habis seketika, terganti oleh jam istirahat yang penuh canda tawa. Awal hanya dua, lalu lima, setelahnya rombongan perempuan: tujuh belas, dan disusul rombongan laki-laki: sebelas. Sementara mereka sibuk menghabiskan waktu istirahatnya, aku hanya mendengar suara kendaraan berlalu-lalang dari balik jendela. Tidak bangkit satu centimeter pun dari kursi, kembali menikmati suasana sunyi.
Belum genap dua menit, suasana yang kudambakan itu hancur seketika. Anak laki-laki yang entah dari mana, masuk begitu saja. Tanpa mengetuk, tanpa salam, langsung menghampiri ke tempatku berada. “Zel, ikut aku ke ruang OSIS. Kamu diduga merupakan si Z.” “Bukan, bukan aku, kok.” Pembelaan diri yang tanpa arti. Anggota OSIS itu abai, malah menarik lenganku, menyuruh untuk berdiri. Apa boleh buat. Dengan berat hati aku berjalan mengikuti langkahnya. Tak lama, kami tiba. Perlahan tangannya mendorong pintu di depannya. Masuklah kami. Hanya satu orang yang menanti: Ketua OSIS. Dia menepuk bahuku, “Alfabet namamu Z, selalu menutup diri, tidak mempunyai teman, dan tidak ikut ekstrakulikuler. Artinya, Z itu kamu, bukan? Yah, walaupun begitu, aku tidak mengerti kenapa hari ini kamu mencuri sabun yang ada pada wastafel. Isengmu itu meresahkan juga, ya.” Seketika lengang. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku fokus pada foto struktur organisasi di sebelah kanan.
“Woy, kamu mendengarkan, tidak?” Aku langsung memutar tatapan kembali ke arahnya. “Eh maaf- aku benaran minta maaf.” “Lagian, bagaimana bisa kamu tenang di saat seperti ini? Aneh.” “Karena aku sudah tau siapa itu Z sebenarnya. Begini saja kak, besok akan kubawa dia ke sini, membuatnya mengakui perbuatannya. Jika tidak, anggap saja aku pelakunya. Bagaimana?” Tawaranku mengubah kesalnya menjadi heran. Jelas, dia yang mengendalikan organisasi saja masih belum mendapat jawaban, lantas anak bodoh ini percaya bisa mengungkap semuanya tanpa bantuan? Jelas perkataan yang tak lebih dari gurauan. “Baiklah, baiklah. Akan kuberi waktu satu hari. Silakan keluar.” Dia sempat tertawa. Aku mengabaikannya, segera pergi dari sana. Menuju ke kelas? Bukan, melainkan ke perpustakaan. Sisa waktu istirahat kuhabiskan di sana. Jam pelajaran kelima pun tiba.
Sekali lagi, pelajaran berlangsung seperti biasa. Bel pulang pun bersuara. Gerbang seketika dipenuhi oleh ratusan siswa. Hanya saja, aku tidak termasuk salah satunya. Benar, aku tidak pulang. Aku tidak ikut ekstrakulikuler. Aku tidak ikut organisasi. Aku tidak punya sekelompok teman. Lantas, ke mana kaki ini berjalan? Tentunya kembali ke perpustakaan. Tempat itu buka sampai sore, tepatnya jam empat lebih tiga puluh menit.
Aku mengambil satu buku, membacanya. Sesekali melirik jam. Lantas mempertemukan sisi kiri dan kanan buku secara menyeluruh saat menyadari sudah pukul tiga. Aku gesit menyelipkan buku itu ke deretan teman-temanya. Lalu berjalan menuju kelas sembilan A.
Saat sudah di lokasi, sepi. Hanya aku seorang diri, pun terlihat seorang anak yang kejauhan perlahan melahap punggung cokelatnya. Terpaksa aku menunggu. Satu menit berlalu, dan akhirnya aku mendengarnya. Suara langkah kaki yang semakin ada. Dialah Yuli. “Loh, kok kamu masih di sini, Zel?” Dia menghampiri. “Kita langsung ke intinya saja. Aku tidak mempersalahkan perbuatanmu, terserah. Tapi, mengapa kamu mengincar aku?”
Butuh enam detik sampai kalimatku dia cerna. Begitu paham sepenuhnya, membulat matanya, lalu tertawa. “Waduh, sayang sekali, ya. Padahal sudah menyelesaikannya, tapi malah tidak menyadarinya. Baiklah, akan kuberi tau. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya.” Wajahnya menjadi sangat serius. “Mengapa kamu menduga aku adalah si Z?” “Tadi pagi, kamu bilang, ‘Kasihan, Ya. Rin kehilangan benda sepenting itu.’ Dan juga, sebelum masuk kelas katanya kamu ke toilet dulu. Tapi, penampilanmu sama seperti sebelum-sebelumnya: kering sepenuhnya. Tidak ada setetes air pun yang terlihat. Bahkan sepatumu tidak meninggalkan jejak basah. Lalu, targetmu kali ini membutuhkan sebuah tas untuk menyembunyikannya. Kamu tau aku tidak suka hal merepotkan, dan kamu memanfaatkannya. Siapa sangka pencurian ponsel Rin kemarin bukan tanpa alasan. Tapi, walaupun aku sering melamun, tetap saja, aku masih menyadarinya. Maaf, aku tidak sebodoh Ketua OSIS yang akan memercayaimu karena luarnya saja.” “Lalu, bagaimana kamu tau aku akan ke sini?” “Tadi, aku sempat lihat foto struktur organisasi OSIS. Di sana tertera kamu adalah seksi keamanan. Tugasnya berpatroli setiap pulang sekolah, membubarkan siapa pun yang tidak berkepentingan. Tapi, satu tempat yang tidak berhak kamu periksa adalah perpustakaan, aku berlindung di sana. Lalu, ekstrakurikuler hari ini hanya pramuka. Aku menebak, rencanamu adalah menyusup ke kelas ini ketika mereka pergi ke lapangan.” “Nah, terakhir, bagaimana bisa kamu tau tugas seksi keamanan, ekstrakurikuler yang beraktivitas hari ini, beserta jadwal dan markas mereka?” “Pengurus perpustakaan. Semua informasi aku dapat dari sana.”
Senyap sebentar. Dia tersenyum lebar. “Kau benar, aku lah si Z itu. Sekarang sudah tau alasannya, ‘kan? Zel biasa mana mungkin mau melakukan semua ini.” Aku melangkah pergi, sambil menghela napas. “Dasar, ternyata hanya itu. Lagipula, ini paksaanmu.” “Tapi menyenangkan, bukan?” Sesaat gerakanku terhenti; mataku membulat. Yang benar saja. Lalu mengangguk samar-samar. “Yah, pokoknya besok bawa semua barangnya, tentu bukuku juga. Nanti, biar aku saja yang jadi tersangkanya.” “Dari mana kamu tau aku yang mengambil bukumu kemarin?” “Sederhana saja.” Aku menghentikan langkah, memutar tatapan ke arahnya. “Saat guru meneriaki namaku kemarin, kenapa kamu juga ikut terkejut? Apa kamu sedang bergurau? Atau sedang melamun juga? Tidak, jelas tidak. Jika iya, guru pasti meneriaki namamu juga. Artinya, kamu sedang melakukan sesuatu yang berhubungan denganku. Dengan kata lain, mengambil lalu menyembunyikan diam-diam bukuku di tempatmu. Kamu takut aku bangun dari lamunan karena teriaknya. Benar begitukah?” “Benar.” Dia mengangguk. “Tapi, masih ada satu hal yang tidak kumengerti.” “Apa itu?” “Saat Rin sudah keluar kelas, dan tersisa kamu seorang, aku lewat. Dan aku sempat melihat dirimu dari pintu. Tak diragukan lagi, saat itu kamu sedang melamun, dan wajahmu juga tak terlihat. Lalu, saat aku kembali posisimu tak berubah sedikit pun. Artinya mustahil kamu melihatku lewat dan muncul dari barat, bukan?” “Yah, begini. Sebenarnya, itu hanya gertakan.” Mata Yuli membulat. “Benar, aku tidak melihatmu lewat ataupun muncul dari barat. Aku hanya sekadar menebak saja.”
Aku melanjutkan langkah, pergi dari sana. Sementara Yuli masih mematung tubuhnya. Sudah tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Sejak hari itu, tidak ada lagi kasus pencurian. Julukan Z serta pesannya pun semakin pudar di ingatan beberapa orang.
Besoknya, aku berangkat seperti biasa. Sinar matahari pun mulai menyelimuti sekolah. Yuli yang lebih dulu tiba. Terlihat sepucuk surat dipegang olehnya. Aku pun duduk di belakangnya. “Hai, Zel. Aku mengakuinya, tadi kemarin. Dan lihat, hanya sebatas surat peringatan yang kudapat.” Aku tercengang. “Apa yang kamu pikirkan? Bukan itu masalahnya. Jika informasinya sampai disebar ke publik, seluruh anak di sekolah ini tak akan ada mau berteman denganmu, loh.” Dia tersenyum, gesit memegang lenganku, berbisik, “Karena itulah, kamu yang akan menjadi temanku, ya?” Eh? Tubuhku mematung.
Tetapi, jika menghitung pasti lebarnya berapa centimeter, jumlah batu kerikil yang menghiasi tepi-tepinya, atau jumlah makhluk hidup yang ikut berdiri di atasnya itu menyenangkan.
“Baiklah.” Aku tersenyum, mengangguk. Aku pikir itu tidak buruk juga.
Cerpen Karangan: Rythur Zaytie