Di sebuah rumah tua yang berada di ujung desa, seorang anak sedang bermain catur melawan ayahnya, seharusnya pada jam-jam itu si anak sedang bermain bola voli di lapangan desa, namun karena hujan yang tak kunjung reda sejak siang itu si anak harus merelakan waktunya bermain untuk menemani ayahnya bermain catur. Bukannya si anak payah dalam permainan itu, bahkan bisa dibilang si anak lebih sering unggul ketika bermain catur melawan ayahnya, hanya saja si anak mulai bosan.
“bagaimana jika kita bertaruh pada permainan berikutnya?” usul si anak tiba-tiba, si ayah yang mengerti bahwa anaknya mulai bosan dipaksa bermain catur terus-menerus mengiyakannya usul anaknya tesebut “oke, apa taruhannya kalau begitu?”, tanya si ayah.
Si anak terdiam beberapa saat, lalu mengusulkan “bagaimana jika yang menang akan mendapatkan 500 ribu sebagai hadiah”, si ayah mengerutkan dahinya mendengar usulan anaknya “aahh, usulan yang bagus sebenarnya, tapi bukankah kau tau bahwa ayah sedang tak ada uang saat ini” kata sang ayah merasa keberatan dengan usulan anaknya, “ah, ayolah” bujuk sang anak “bukankah belum tentu aku yang akan menang kan yah”, “hmm, tapi angka itu terla-” “sudah turuti saja dulu kemauan anakmu, pak” si ibu yang sedari tadi menjahit baju ikut memaksa si ayah. “benar kata ibu, ayah. Kita bermain saja dulu, jika memang ayah yang kalah nanti, ayah bisa membayarnya kapan-kapan, hahaha” canda si anak, yang aslinya berharap mendapatkan uang itu “baiklah-baiklah, kalau begitu ayah tak akan kalah kali ini” “nah, itu baru semangat”, Si ibu hanya tersenyum melihat kelakuan suami dan anaknya itu.
Permainan dilanjutkan. Hujan diluar sudah mulai mereda sejak beberapa saat yang lalu, anak dan ayah yang sedang bermain catur itu kini tenggelam dalam fikiran mereka. Sang anak yang berusaha menang untuk dapat 500 ribu dan sang ayah yang berusaha untuk tidak kehilangan 500 ribu yang bahkan mungkin tak ia punya. Keheningan ruang keluarga itu mendadak buyar ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu rumah mereka. Si ibu bergegas membukakan pintu untuk mempersilakan tamu yang datang itu.
“ah, rupanya kau yang datang, sejak kapan kau pulang kampung?” suara sang ibu menyambut tamu yang datang itu “baru dua hari yang lalu aku datang yu” terdengar suara berat lelaki yang bertamu itu. “silakan, silakan, masmu sedang bermain catur dengan anaknya di ruang keluarga, masuk saja” “terima kasih yu”
Sesaat kemudian muncul seseorang di ruang keluarga itu, si ayah dan anak menoleh hampir bersamaaan. Orang itu berbadan kurus tapi perawakannya tinggi, raut mukanya tegas dengan sorot mata yang tajam. Terlihat tulang pipinya yang menonjol yang membuatnya terlihat kurus.
“lama tak jumpa, paman” sapa si anak “kapan kau pulang, dik? Aku tak dengar berita kepulanganmu” sahut si ayah kemudian “ah, aku baru sampai dua hari yang lalu, mas. Ada sedikit urusan di rumah” jawab tamu itu. “oh iya, masalah itu yaa” kata si ayah tiba-tiba “benar sekali, mas. Tapi sekarang sudah selesai” “begitu yaa, beruntunglah kalau begitu”
Si anak yang tak tahu apa yang dibicarakan oleh ayah dan tamunya itu hanya diam saja seolah sedang memikirkan langkah selanjutnya yang harus dia ambil dalam permainan catur melawan ayahnya. Ayahnya yang sudah tidak terlalu fokus dengan permainan caturnya itu akhirnya kalah.
“aku menang ayah, kau berhutan kepadaku, hahahaa”, kata si anak dengan bangga “ah ini pasti gara-gara aku yang terus mengajakmu bicara kak, kau jadi kalah melawan anakmu” kata si tamu tersebut “tak usah dipikirkan dik, tanpa kau ganggu pun mungkin aku akan kalah” jawab si ayah dengan tenang “sudah-sudah, aku tak akan membahasnya lagi paman” kata si anak “tapi aku kini penasaran dengan pembicaraan kalian, bisa kau ceritaka kepadaku apa yang sebenarnya kau alami, paman?” “benar, aku juga sedikit penasaran dengan ceritamu itu dik” kata si ibu yang muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh dan camilan. Setelah menyeruput tehnya tamu itu pun memulai ceritanya.
“tiga bulan yang lalu, aku pergi ke barat untuk mengadu nasib dan berusaha mengumpulkan uang. Karena masalah hutang yang menumpuk di desa ini karena ulah istriku yang terdahulu. Kemudian ketika aku sudah tak mampu lagi mengusahakan jalan yang benar untuk membayar hutang-hutang itu, akhirnya aku memutuskan untuk mencari sesuatu yang dapat meningkatkan keberuntunganku lalu aku tiba-tiba bertemu dengan seseorang tanpa sengaja, ornag itu kemudan menyarankanku untuk pergi ke pulau Juru yang ada di timur laut kota itu, aku menuruti perkataan orang itu, tujuanku kesana adalah untuk mencari sebuah jimat keberuntungan yang kabarnya banyak terdapat disana. Aku pergi kesana sekitar tiga minggu yang lalu”
“pulau juru? Baru dengar aku” kata si ayah sambil manggut-manggut memegang jenggotnya “iya, memang pulau itu tidak terlalu terkenal dan jarang diketahui orang desa seperti kita, mas” tamu itu kemudian melanjutkan ceritanya, “tak ada yang istimewa di pulau itu. Kebanyakan orang-orangnya hidup dengan mengandalkan hasil melaut karena sebagian besar orang disana berprofesi sebagai nelayan. Ketika aku menyanpaikan kepada mereka bahwa apa tujuanku disana lalu aku dipertemukan dengan sesepuh yang ada di pulau itu. Dia berpesan padaku, jika aku menginginkan jimat keberuntungan itu aku harus membawakan ikan hasil tangkapanku kepada penjaga hutan di pulau itu, katanya setelah aku membawakan ikan kepada penjaga itu selama tujuh hari maka si penjaga hutan itu akan memberiku apa yang aku mau”
“jadi paman menjadi nelayan selama tujuh hari di pulau itu?” kata si anak yang semakin tertarik dengan cerita tamunya itu. “benar, aku menangkap ikan di pulau itu selama tujuh hari” kenang si tamu. “lalu kau berikan ikan hasil tangkapanmu ke penjaga hutan itu?” kali ini si ibu yang betanya “benar yu, aku memberikan setiap hasil tangkapanku” “dan kau mendapat jimat itu, dik?” kali ini sang ayah yang bertanya “ya, aku mendapatkannya mas” “lalu apa yang dapat dilakukan jimat itu?” sepertinya si ayah juga mulai tertarik dengan cerita si tamu
“jimat itu bisa nelakukan dua hal, mas” “dan hal itu adalah?” Tamu itu agak ragu sebelum menjawabnya, kemudian setelah beberapa saat dia berkata “dua hal yang bisa dilakukan jimat itu, mas. Satu, hal yang sangat ajaib dan hebat” si tamu terdiam sesaat ketika dia akan melanjutkan kalimatnya “dan yang satunya?”, tanya si anak yang sudah sangat penasaran sekarang Si tamu menelan ludah dan menjawabnya dengan suara yang sangat pelan, “sesuatu yang mengerikan, nak” “mengerikan? Mengerikan seperti apa?” tanya si ayah yang terlihat bingung dengan jawaban tamunya itu.
“jadi begini mas, segala sesuatu yang hilang dari kita atau yang kita dapatkan pasti memiliki harga yang setimpal dengan apa yang kita dapat atau yang hilang dari kita. Itu lah konsep dasar dari benda ini” si tamu menjelaskannya dengan nada yang rendah dan tenang, namun dengan penekanan yang jelas disetiap katanya. Sesekali ketika sedang menjelaskan si tamu itu memegang sesuatu yang ada di saku bajunya. Si ayah yang sepertinya menyadari hal ini kemudian bertanya. “kulihat daritadi kau sering memegang saku bajumu dik, ada apa?” tanya si ayah penuh selidik “ah, bukan apa-apa mas” jawab si tamu dengan singkat “itukah?” tanya si anak dengan pupil matanya yang membesar seolah menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya “ah, jadi kau menyadarinya, nak” kata tamu itu “coba, aku ingin melihatnya, jimatmu itu” kata si ayah kepada tamunya
Tamu itu terlihat ragu untuk beberapa saat, kemudian dia memandang mata si ayah dan anaknya yang begitu penasaran dengan benda yang didapatknya itu. Seolah luluh, akhirnya si tamu itu mengambil sebuah bungkusan yang ada di dalam sakunya itu lalu pelan-pelan meletakkannya di samping papan catur. Bungkusan itu dibalut dengan daun jati dan diikat dengan tali rami berwarna coklat, terlihat sangat kusam dan sudah sejak lama karena daun jati yang digunakan sudah agak mengering.
“apa isinya ini dik?” kali ini si ibu yang memuaskan rasa penasarannya “silakan dibuka saja, yu atau mas, tidak apa-apa” jawab pemilik benda itu
Si ayah kemudian membuka tali yang mengikat bungkusan itu kemudian pelan-pelan membuka bungkusannya. Setelah bungkusan itu tebuka, terlihat sebuah benda yang panjangnya mungkin sepanjang telunjuk orang dewasa, benda itu berwarna coklat tua, benda itu terlihat mengkerut dan kering seolah seperti sebuah jari yang diawetkan.
“itulah jempol emas, mas, yu, dik” kata tamu itu menjawab semua pertanyaan yang terpancar di raut muka ketiga tuan rumah yang melihat benda itu. “jadi benar-benar jari manusia yaa” kata si ayah sambil memegang janggutnya “sepertinya bukan mas,” kata si tamu “jika diperhatikan itu adalah jempol” “ah benar katamu dik, jika diperhatikan baik-baik benda ini memang mirip jempol manusia… Tapi kenapa aku merasa ada yang aneh..” si ibu menimpali sambil sedikit mencondongkan badannya kedepan, si ibu tak begitu berani dekat-dekat dengan benda itu “itu pasti karena ukurannya yu, jika jempol yang sudah dikeringkan saja sepanjang jari telunjuk, maka seberapa besar ukurannya ketika normal. Pasti sangat besar, belum lagi seberapa besar tangan pemilik jempol itu” “mungkin ini bukan jempol manusia, paman” kini si anak memberi usul “aku juga tak tau pasti, nak. Tapi yang jelas ini adalah benda yang diberikan oleh penunggu hutan di pulai juru” tamu itu berusaha menjelaskan
“lalu,” kata ayah sambil mencondongkan badannya “apa yang bisa dilakukan benda ini, dik?” “aku juga tak yakin, mas” “maksudmu, dik? Tak yakin bagaimana? Apakah benda ini tak manjur?” “begini mas, ketika aku menerima benda ini, aku diberitahu bahwa benda ini dapat mengabulkan 3 permintaan, namun si penjaga hutan mewanti-wanti aku agar tidak menggunakan ketiga-tiganya, dan katanya ‘segala sesuatu pasti ada harganya, tak peduli itu kecil ataupun besar’,”
“hmm, aku kurang paham dengan peraturannya. Ah, lalu bagaimana? Apakah benda ini benar-benar mengabulkan permintaanmu?” tanya si ayah dengan raut muka yang sudah mulai tak tertarik “jawabannya ‘ya’ dan ‘tidak’, mas” jawab tamu itu “bagaimana itu?” “ya, karena aku memang berhasil mendapatkan apa yang aku minta, dan tidak karena aku juga merasa apa yang aku dapatkan adalah karena usahaku sendiri.” “jadi?” “aku tak berpikir bahwa benda ini benar-benar jimat yang mengabulkan permintaan…” “sudah kuduga seperti itu, hahaha” jawab si ayah sambil tertawa “sejak awal aku sudah meragukan ceritamu, dik. Dan kau dipaksa memberikan hasil kerja kerasmu selama seminggu mencari ikan untuk si penjaga hutan itu, dik. Hahaha” “ya, kurasa benar begitu, mas” jawab tamu itu dengan menunduk, kelihatannya dia malu sekarang “tapi tak apalah, sekarang masalahmu sudah selesai bukan, hutang-hutangmu juga sudah lunas, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang” si ibu mencoba menyemangati tamunya itu.
Setelah itu obrolan pun berganti ke topik yang lain. Tamu itu pulang ketika hujan benar-benar sudah reda. Lalu ketika ibu sedang membereskan meja catur di ruang keluarga, si ibu melihat bahwa benda milik tamu tadi tertinggal disana. Ibu memanggil ayah yang saat itu sedang merokok di sofa dan mengatakan bahwa jimat milik si tamu itu tertinggal lalu memberikan benda itu ke ayah. Si anak hendak pergi ke kamarnya ketika dia melihat ayahnya sedang mengamati benda milik tamunya yang baru saja pulang itu.
“mungkin ayah bisa mencobanya” kata si anak tiba-tiba “apa? Dan kau akan membiarkanku bekerja untuk apa yang aku inginkan, ayah sudah melakukan itu sejak dulu. Dan tanpa bantuan jimat, nak” “kalau begitu bagaimana jika ayah berharap agar mendapatkan sesuatu tanpa harus bekerja untuk mendapatkanmya” “hey, itu ide yang bagus, hahaha” jawab si ayah dengan bercanda “benar kan” jawab si anak sambil tersenyum “nah, sekarang cobalah, yah” “baiklah, baiklah” si ayah menggenggam benda itu dengan tangan kanan, mengangkatnya ke udara kemudian berkata “karena aku sedang berhutang 500 ribu kepada anakku, maka aku berharap aku mendapatkan 500 ribu tanpa harus bekerja!!”
Si ayah dan anak itu terdiam beberapa saat, seolah seperti sedang menunggu sesuatu. “aah, lihat kan, ayah seperti orang bodoh saja” kata si ayah tiba-tiba dengan nada kesal “hahaha, maafkan aku ayah. Aku hanya sedang ingin bercanda” kata si anak sambil tertawa mengejek, ternyata anak ini juga tak begitu percaya dengan cerita tamu ayahnya tadi. Tak terjadi apa-apa malam itu.
Keesokan harinya semua berjalan dengan normal seperti biasa. Si anak akan pergi berlibur ke rumah neneknya menggunakan bus antarkota. Karena hari itu adalah hari sabtu, ayah tidak pergi bekerja karena hari kerja di kantor ayah hanya sampai hari jumat. Pagi menjelang siang ketika si ayah sedang menikmati secangkir teh di teras rumahnya sambil membaca koran, ketika ada seseorang yang datang dengan tergesa-gesa menemui ayah. Orang itu memberi kabar bahwa bus yang ditumpangi putranya pagi ini mengalami kecelakaan, dan semua dan sebagian besar penumpang meninggal dunia. Syukurlah si anak tak sampai meninggal dalam kecelakaan itu, namun kondisinya juga tak bisa dibilang baik. Si anak saat ini sedang dirawat di rumah sakit yang ada di kota itu dan keadaannya kini sedang koma.
Ayah dan ibu bergegas pergi ke rumah sakit itu untuk memastikan keadaan anaknya. Ketika sedang menunggui anaknya di ruangan rumah sakit, si ayah didatangi oleh agen yang merupakan perwakilan dari perusahaan pemilik jasa angkutan yang ditumpangi oleh anaknya. Kedatangan agen itu bermaksud untuk memberikan dana asuransi yang menjadi hak penumpang jika kendaraan dari perusahaan itu mengalami hal-hal yang merugikan penumpang.
“asuransi?” tanya si ayah yang sedikit bingun “benar pak, setiap penumpang yang membayar karcis akan dilindungi oleh asuransi kalau-kalau terjadi hal yang tak diinginkan seperti ini” jawab agen itu “lalu seberapa banyak anak saya mendapat dana asuransi itu?” tanya si ayah mulai ketakutan “500 ribu pak,” jawab si agen dengan rau wajah prihatin “mungkin hanya sedikit, tapi semoga bisa meringankan beban bapak”
Ketakutan tegambar jelas di wajah ayah, dia menutup mukutnya yang menganga, matanya melotot seolah tak percaya. Wajahnya berubah pucat pasi. Si ayah terduduk di kursi tak berdaya, lamat-lamat dalam fikirannya dia teringat dengan benda yang ditinggalkan tamunya semalam, yang kini masih tergeletak di meja catur di ruang keluarga rumahnya.
– TAMAT –
Cerpen Karangan: O. W. L Blog / Facebook: bukuboogie.blogspot.com