Gadis itu masih memunguti bunga kamboja yang berguguran di pekarangan rumahnya. Selain gemar mengoleksi kerang dan cangkang siput, dia juga suka mengumpulkan bunga kamboja. Bunga itu memang memiliki mahkota yang rupawan meskipun aromanya tidak begitu menawan indra penciuman.
Luna adalah orang yang teliti. Dia bahkan sadar saat salah satu bunga kambojanya hilang. Harusnya semuanya ada lima puluh dua, tapi perhitungannya terhenti di lima puluh satu. Apa mungkin bunga itu jatuh?
Luna menyimpan keranjang yang berisi bunga kamboja di teras, lalu berjalan kembali menuju pohon bunga kamboja yang ada di pekarangan rumahnya. Kepalanya tertunduk, matanya menyusuri jalan mencari bunga kamboja yang hilang.
Gadis itu terpaku saat mendapati bunga kamboja yang dicari kini tengah berada di tangan seorang pria tak dikenal. Tiba-tiba tatapannya menajam. Luna berubah menjadi agresif. Pria itu terlonjak kaget melihat wanita di hadapannya berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti olehnya. Namun, jika dilihat dari gelagatnya, gadis itu tampak marah.
“Ha.. ha.. haa!!” Gadis itu berbicara seolah dia adalah seorang bayi yang belum fasih mengucapkan kata. “Eh kamu gila?!” tukas pria itu kesal. Gadis itu menyerangnya dengan membabi buta. “Eungg.. haaaa..” sekali lagi gadis itu hanya bisa berteriak tidak jelas membuat pria yang berada di hadapannya dongkol.
“Kakak!” Tiba-tiba seorang gadis lain datang. “Bunga!” ujar pria itu seraya menatap Bunga yang baru saja datang. Tujuannya jauh-jauh datang ke sini memang untuk menemui gadis itu. Tapi, sesampainya di rumah Bunga, dia malah mendapat sambutan berupa serangan dari gadis gila ini. Siapa sih dia? Kenapa Bunga memanggilnya kakak? Bunga punya kakak gila kok gak pernah cerita sama sekali.
“Maafin kakak aku ya Kak Arsal,” ujar Bunga sambil berusaha menenangkan kakaknya. Arsal tersenyum kaku, “Gak papa kok, aku kaget aja tiba-tiba dia marah gak jelas gitu,” “Kak Luna marah karena kamu ngambil bunga kamboja punya dia,” jelas Bunga. Arsal menjatuhkan pandangannya pada bunga yang ada di tangannya. Oh jadi karena bunga ini dia sampai marah sama aku? Batin pria itu.
“Sorry deh, nih aku balikkin,” kata Arsal seraya menyerahkan bunga itu pada Luna. Luna meraihnya dan langsung berbalik tanpa mengucap sepatah kata pun. “Maaf ya kak, kakak aku tuh emang gitu, gampang emosian. Ayo Kak kita ngobrol di bungalo aja.”
Arsal berjalan mengekor di belakang Bunga. Gadis itu menggiringnya menuju sebuah bungalo yang terletak tak jauh dari rumahnya. Keluarga Bunga memang mempunyai bisnis Hotel dan Bungalo berhubung rumah mereka dekat dengan pantai yang merupakan tempat rekreasi bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.
“Jadi gini, aku lagi ada riset dan penelitian seputar objek wisata pantai ini. Nah, selama itu apa gak keberatan kalo aku numpang dulu di rumah kamu?” tanya Arsal mengutarakan maksud dan tujuannya menemui Bunga. Bunga tersenyum. “Iya gak papa Kak, lagian aku seneng lagi bisa ketemu kakak.”
Bunga itu adik kelas Arsal saat SMA. Rupanya Bunga selangkah lebih maju dibanding Arsal. Disaat Bunga sudah menyandang gelar sarjana pendidikan, pria itu masih belum memahami apa minat serta bakatnya hingga ia kerap kali terombang-ambing dalam ketidakpastian. Saat ini, Bunga yang berusia 23 tahun berprofesi sebagai guru sekolah dasar di daerahnya.
“Kakak boleh tinggal di bungalo ini. Aku juga udah bilang sama Ayah kalo temanku bakal datang. Kakak istirahat saja dulu, nanti aku bawakan makanan ke sini.”
Bunga beranjak lalu kembali menuju rumahnya yang terletak sepuluh meter dari bungalo. “Dek, tadi di luar ada ribut-ribut apa?” tanya Ibu saat Bunga hendak memasukki kamar untuk berganti pakaian. “Ohh, tadi kakak marah sama temen adek gara-gara dia gak sengaja mungut bunga kamboja punya kakak yang jatuh.” jelas Bunga seraya meletakkan tasnya di kursi. “Temen adek yang dari Jakarta itu, ya? Terus sekarang dia di mana kok gak dibawa ke sini?” “Dia lagi istirahat di bungalo, kasian baru nyampe, dia pasti capek.” Ibu mengangguk paham lalu kembali fokus melicinkan pakaian.
“Kakak di mana, Bu?” “Di kamarnya.”
Selesai berganti pakaian, Bunga berdiri di depan pintu kamar kakaknya. Tok.. tok.. tok.. pintu kamar diketuk Bunga, namun tak ada sahutan dari yang punya kamar.
“Kak? Adek masuk ya,” perlahan Bunga membuka pintu. Nampak, kakaknya tengah membuat bingkai foto yang dihiasi cangkang kerang dan pasir pantai. Bunga tersenyum, ini foto Bunga dan kakaknya saat dia wisuda. Terlihat Bunga yang cantik mengenakan toga serta Luna yang sama cantiknya kala itu mengenakan dress berwarna ungu pastel.
Bunga duduk di samping Luna, “Kak tadi itu temen adek. Dia orangnya baik, kakak tadi cuma salah paham aja. Kakak mau ya minta maaf sama dia?”
Luna termenung mendengar perkataan adiknya. Beberapa detik kemudian, gadis itu menggeleng kuat. Bunga hanya bisa menghela nafas pasrah. Luna memang susah dibujuk. “Ya udah kalau kakak gak mau, adek pergi ke bungalo dulu ya. Mau ngasih makanan buat kak Arsal.”
—
“Ini ada ikan, capcay, sambel sama kerupuk. Maaf ya kak, adanya makanan kampung begini. Silakan dicoba,” kata Bunga seraya membuka satu persatu rangkaian rantang yang dibawanya. “Nggak papa kok, aku juga di kota makanannya begini hehehe.” ujar Arsal sambil menyantap nasi beserta lauknya. “Ayah aku kayaknya malam ini gak bakal pulang deh Kak. Dia itu seneng banget bantuin nelayan melaut. Sekalian ikut mancing juga katanya. Padahal Ayah aku tuh gak ada bakat mancing, dia cuma buang-buang umpan aja hahahaha.” “Hahahaha…” Arsal tertawa bukan karena cerita Bunga tentang Ayahnya yang minat memancing namun tidak memiliki bakat memancing, dia tertawa karena melihat Bunga yang tertawa begitu lepasnya. Gadis itu masih sama. Senyumnya masih menular pada orang di sekitarnya. Memberi kebahagiaan dan menyusupkan kedamaian.
“Kamu gimana? Seru gak ngajar anak-anak SD?” tanya Arsal. “Hmm, butuh kesabaran ekstra. Tapi aku seneng. Beruntungnya aku ngajar siswa kelas 1 SD, mereka masih polos dan tidak banyak tingkah.”
Dulu jaman SMA, Bunga yang tinggal bersama neneknya juga sering mengunjungi panti asuhan. Bermain dan mengajar anak-anak panti. Subhnalloh, calon istri idaman. Eh?
“Kakak sendiri gimana kuliahnya?” tanya Bunga. “Lagi proses nyusun skripsi. Makanya sampe penilitian jauh-jauh gini,” “Ohh, semoga sukses dan lancar ya skripsinya.” “Aamiin,” “Ohh iya kak, kalo kakak mau jalan-jalan sekitar pantai, kak Luna bisa nemenin kakak.” Arsal menampakkan raut kecewa. Kenapa harus Luna? Kenapa tidak Bunga saja yang menemaninya? Bukannya apa-apa, dia hanya takut Luna akan bersikap anarkis tiba-tiba seperti tadi sore.
“Kenapa gak kamu aja?” “Maaf ya kak, aku harus bikin soal ulangan harian jadi gak bisa nemenin kakak. Tenang aja kak, Kak Luna baik kok, dia gak gigit.” “Gak gigit sih, tapi anarkis.” gumam Arsal tanpa sadar. Bunga terkekeh mendengarnya, “Maaf ya soal tadi sore. Aku udah bilang kok sama kak Luna kalo kakak itu temen aku. Dia pasti gak akan anarkis lagi, percaya sama aku.” Arsal mengangguk meskipun hatinya masih tidak sejalan. Dia tidak ingin Bunga berpikiran yang aneh-aneh jika dia bersikukuh tidak ingin pergi jalan-jalan dengan Luna.
“Kakak siap-siap aja, Kak Luna pasti sampe dalam sepuluh menit.” Bunga pulang ke rumahnya dan meminta Luna untuk menemani Arsal. Luna setuju, dia sangat menyayangi adiknya hingga tidak sanggup untuk menolak permintaannya.
Sesuai perkiraan, sepuluh menit kemudian Luna tiba di depan bungalo. Gadis itu mengenakan rok abu selutut, dan atasan berwarna biru yang terbalut kardigan putih. Dia juga membawa sebuah tas slempang kecil yang Arsal sendiri tidak tahu isinya apa.
Arsal mengenakan kaos polos berwarna navy, sweater hitam, serta celana army selutut. Di lehernya menggantung sebuah kamera dslr. Dia juga membawa sebuah kantong kresek berisi kembang api yang dibawanya dari Jakarta.
“Di sini kalau malam memang anginnya kenceng banget ya?” tanya Arsal sembari mengusap-ngusap kedua tangannya. Merasa tidak mendapat sahutan, pria itu melirik gadis yang berjalan di sampingnya.
“Astaga, ngapain ngomong Sal?” Ujar Arsal pada dirinya sendiri. Dia menatap Luna dengan tatapan tidak percaya. Gadis itu sibuk menyalakan pemantik lalu meniup apinya kemudian menyalakan kembali pemantik api tersebut dan meniupnya lagi. Dia melakukan kegiatan tersebut secara berulang-ulang. Arsal heran, Apa yang menarik dari meniup pemantik?
Arsal dan Luna terus berjalan. Langkah Arsal terhenti sejenak mendengar alunan musik dangdut yang menggema di pinggir jalan. “Di pantai juga ada acara sawer dangdut ternyata,”
Pria itu menyadari bahwa Luna sudah berjalan jauh di depannya. Masih sibuk dengan pemantiknya, gadis itu berjalan tanpa menghiraukan suara musik dangdut dan Arsal yang tertinggal di belakang.
Arsal berlari berusaha mensejajarkan tubuhnya dengan Luna. Dengan nafas yang terengah-engah, Arsal menepuk bahu Luna. Refleks gadis itu sangat bagus. Ia langsung menepis lengan Arsal, membuat pria itu terlonjak kaget. Dia mulai was-was dan menyesali tindakannya. Jangan-jangan Luna akan anarkis dan mengamuk seperti tadi sore?
Respon Luna sungguh diluar dugaan. Gadis itu berjalan menuju kursi bambu yang menghadap ke arah laut lepas. Arsal duduk di samping Luna. Mata pria itu tertuju pada kantong kresek yang ada di tangannya. “Hmm.., Lun, boleh pinjam pemantiknya?” Luna terdiam. Dia bahkan tidak menoleh pada Arsal sama sekali. Arsal mendengus kesal. Pria itu mengelus dadanya berusaha sabar. Dia tidak boleh emosi, bagaimana pun Luna ini kakaknya Bunga.
“Aku bakal tunjukkin sesuatu yang indah di langit sana. Kamu tahu kembang api ‘kan?” Lama terdiam akhirnya Luna berbicara, “Kembang api? Ayah gak suka kembang api karena mereka berisik.” katanya pelan. Arsal terperangah. Mendengar Luna berbicara bak sebuah keajaiban baginya. Ternyata, gadis itu bisa berbicara dengan bahasa indonesia yang baik dan benar.
Arsal berusaha meyakinkan Luna untuk meminjamkan pemantiknya. “Mereka memang sedikit berisik, tapi percaya deh berisiknya mereka itu bakal bikin kamu gak bisa ngedip. Boleh pinjam pemantiknya?”
Dengan ragu, Luna mengangguk lalu menyerahkan pemantik tersebut pada Arsal. Arsal tersenyum manis mengalahkan manisnya madu. Ia mulai menjalankan aksinya menyalakan kembang api. Tak lama kemudian, Duar!! Kembang api itu pecah di langit. Sekejap, indah, dan pastinya membuat mata Luna berbinar-binar.
“Wow.. kembang api berisik tapi asik,” gumam gadis itu girang. “Aku kan sudah bilang tadi,”
Luna memandang taburan bintang-bintang palsu itu di langit dengan mulut yang sedikit ternganga. “Hah? Kembang apinya habis?” tanya Luna heran saat ledak-ledakkan menakjubkan tersebut terhenti. “Aku cuma bawa dua dan sudah habis,” Kepala Luna tertunduk, tubuhnya mendadak lesu. Dia kecewa. Kenapa kembang api menyala begitu singkat?
“Kembang api yang di langit itu tidak bisa disimpan di kamar?” Arsal terkekeh. Pertanyaan bodoh macam apa itu? “Hahaha. Ya gak bisa lah.” Luna menghela nafas kecewa. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan Arsal begitu saja. Dia benar-benar ingin memarahi langit dan juga Arsal. Tapi, Arsal adalah teman Bunga. Jadi dia harus bersikap baik padanya.
Arsal menyusul Luna. Ia merasa bersalah terhadap gadis itu. “Luna, lain kali kita menyalakan kembang api lagi. Dan aku bakal bawa kembang api yang banyak buat kamu.”
Tunggu, tadi Arsal bilang apa? ‘Kita’? Luna sedikit meluluh mendengar penuturan Arsal. Gadis itu lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah keong laut berukuran sedang. Ia menyerahkan keong tersebut pada Arsal.
Kedua alis Arsal tertaut, “Ini apa?” “Hadiah.” jawab gadis itu datar. Ia kembali berjalan santai sementara Arsal kembali dihinggapi tanda tanya. Sebenarnya Luna ini dibilang normal, tapi dia memang aneh dan beberapa perilakunya menunjukkan bahwa dia tidak sama dengan orang normal. Dibilang gila atau tidak normal, itu terlalu kejam. Arsal menyimpulkan jika Luna ini berada di persimpangan antara normal dan tidak normal.
Pagi-pagi sekali, Arsal sudah bersemangat pergi ke pantai untuk melihat sunrise. Sembari merenggangkan tangannya Arsal berjalan sepuluh meter ke kiri untuk mengajak Bunga melihat matahari terbit.
Setibanya di sana, Arsal bertemu Ibu Bunga yang tengah menyapu halaman. Arsal menghampiri wanita paruh baya itu dan mengucap salam dengan sopan, “Assalamualaikum, Pagi Bu. Bunganya ada?” Ibu tersenyum dan menghentikan aktivitasnya untuk menghampiri Arsal. “Ini nak Arsal temannya Bunga yang dari Jakarta itu ya?” “Iya Bu. Saya Arsal. Maaf baru bisa nemuin Ibu sekarang,”jawab Arsal. “Iya gak papa, kemarin kamu pasti capek. Kamu nyari Bunga? Dia udah berangkat kerja, soalnya jarak sekolahnya lumayan jauh. Dia juga mau fotocopy soal dulu makanya berangkat pagi-pagi sekali.” jelas Ibu. Lagi-lagi Arsal tidak bisa ke pantai bersama Bunga. Penempatan waktu selalu saja tidak tepat begini. Arsal berusaha menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ohh iya Bu gak papa.”
“Nak Arsal mau jalan-jalan ke pantai pasir putih? Luna bisa menunjukkan jalannya.” Lagi-lagi, Luna. “Gak papa Bu, saya sendiri aja.” “Pantai itu bagus banget lho, airnya jernih, pemandangannya juga indah. Ada sebuah teluk yang bagus kalau nak Arsal mau foto-foto. Sebentar ya, Ibu panggilkan Luna.”
Arsal tidak punya cukup waktu untuk menolak karena Ibu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Ibu keluar bersama Luna. Entah kenapa, Arsal merasa ada sesuatu yang beda dari Luna. Gadis itu nampak berseri-seri.
Setelah berpamitan, Arsal dan Luna pun berjalan beriringan. Kali ini Luna tidak memainkan pemantiknya. Mungkin, karena Luna belum menyadari jika benda tersebut masih ada pada Arsal. Ia justru sibuk memutar-mutar bunga kamboja kuning yang entah sejak kapan dibawanya.
“Luna, apa pantainya masih jauh?” tanya Arsal. “Hmm,” tanpa menoleh pada Arsal, Luna bergumam sebagai jawaban iya. “Berapa lama lagi?” tanya Arsal yang mulai kesal karena perjalanan di rasa begitu lama dan membosankan. Dia hanya melihat wisatawan berlalu lalang dan riak ombak menerpa bibir pantai.
Tidak mendapat balasan dari Luna, Arsal semakin kesal dan mengambil bunga kamboja yang ada di tangan Luna. Gadis itu terkejut bukan main. Beberapa detik kemudian, Arsal menyelipkan bunga tersebut di telinga Luna sebelah kanan. Luna semakin terkejut dan gugup. Ia menahan nafas dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Sejak semalam dia tidak bisa tidur karena memikirkan Arsal. Membayangkan Arsal membawa kembang api yang banyak dan menyalakannya bersama ia, Bunga, dan kedua orangtuanya.
“Kalo ditanya tuh dijawab, bukan asik sendiri.” kata Arsal sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, akhirnya Arsal dan Luna tiba di pantai pasir putih. Benar kata Ibu Bunga, airnya jernih dan pemandangannya sangat indah. Disaat Arsal mulai mengabadikan moment matahari terbit dengan kameranya, Luna justru sibuk bermain dengan kepiting yang bersembunyi di balik batu.
Sesekali Arsal membidik Luna dengan lensanya dari kejauhan. Rambut hitam gadis itu menari-nari tertiup angin. Kulitnya yang putih tampak cerah terpantul sinar mentari. Gadis itu melepas sandalnya dan berjalan di atas bebatuan berlumut.
“Aww!!” Tiba-tiba saja gadis itu berteriak karena terpeleset batu yang licin. Arsal menghampiri Luna dengan panik. “Kamu gak papa?” Luna menggeleng. Gadis itu tidak jatuh, hanya saja telapak kakinya mengenai serpihan cangkang siput. Dan mungkin berdarah. Rasanya pasti sakit. Tapi gadis itu nampak biasa saja. Dia bangkit mengejar kepiting kecil yang berjalan menyamping.
Arsal mengikuti Luna. Mata pria itu terbelalak melihat jejak Luna yang menyatu dengan darah. Arsal meringis, gadis itu seolah memiliki kelainan dengan indra perasanya. Apa dia tidak sakit berjalan dengan kaki seperti itu?
Arsal mencekal tangan Luna. “Ayo balik, kaki kamu terluka.” kata pria itu menarik Luna kembali ke tepi pantai.
Arsal mencuci kaki Luna dengan air mineral yang dibelinya dari pedagang asongan. Dia meringis melihat telapak kaki Luna yang sobek kira-kira sepanjang tiga sentimeter. Arsal menengadah menatap Luna dengan tatapan tidak percaya, “Emang gak sakit?” “Gak papa.” jawab Luna santai. “Jangan bilang gak papa kalo kamu sebenernya kenapa-napa. Nanti kebiasaan,”
Tiba-tiba angin berhembus cukup kencang menerbangkan bunga kamboja yang sebelumnya terselip di telinga Luna. “Bunganya…” Gadis itu ingin berlari untuk menggapainya sebelum bunga itu terbang semakin jauh, namun Arsal segera menahannya. “Biar aku aja,”
Pria itu berlari mengejar bunga kamboja yang merayap diatas pasir karena tertiup angin. Arsal kembali setelah berhasil mendapatkannya. Dia meniup-niup bunga itu untuk menghilangkan pasir yang tertinggal pada kelopaknya. Setelah dirasa bersih, Arsal menyelipkan bunga itu di telinga Luna sembari tersenyum simpul.
“Cantik,” gumam Arsal tanpa sadar.
Sudah tiga hari Arsal melakukan riset dan penelitiannya di pantai ini. Selama itu juga Arsal lebih banyak menghabiskan waktu bersama Luna dibanding Bunga. Malam ini adalah acara perpisahan yang ia adakan dengan Bunga. Sekaligus, ia ingin mengungkapkan perasaannya pada Bunga yang selama ini terpendam.
“Bintangnya cantik ya,” kata Arsal. Sebenarnya saat ini dia sangat gugup. Itu sebabnya pria itu malah berbicara hal random yang tidak penting. Semuanya semata-mata untuk menyembunyikan kegugupannya. “Iya bintangnya cantik,”
“Emm.. Bunga, sebenernya aku mau bilang kalo aku suka sama kamu dari dulu sejak kamu sama aku sekolah di SMA yang sama.” ujar Arsal dengan sekali helaan nafas. Nafas Bunga tercekat. Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pengakuan mendadak seperti ini. Apalagi ia punya firasat jika Luna menyukai Arsal melihat perubahan-perubahan pada diri Luna semenjak bertemu pria itu.
“Hmm.. aku.. gak bisa kak,” kata Bunga terbata-bata. “Kalo kamu butuh waktu untuk berpikir. Aku punya banyak waktu buat itu. Aku bakal nunggu kamu,” ucap Arsal berusaha meyakinkan Bunga. “Bukan itu maksud aku, tapi kak Luna kayaknya ada rasa sama kakak. Aku bisa lihat jelas di matanya.” Mata Arsal membulat. Benarkah gadis kaku itu menyukainya?
“Tapi aku sukanya sama kamu Bunga, bukan Luna.”
“Menurut kakak, kak Luna itu orang seperti apa?” Arsal mengernyit, “Kenapa kamu tanya begitu?” “Jawab aja, kak.” “Luna itu aneh, persimpangan antara normal dan tidak normal, dia bahkan gak tau gimana cara mengekspresikan rasa sakitnya.” jawab Arsal jujur. “Kalo gitu Kakak juga pasti sadar untuk tidak membuat dia terluka ‘kan?” Arsal terdiam. Kata-kata yang disiapkan untuk meyakinkan Bunga, semuanya tersendat di ujung lidah.
Bunga tidak ingin munafik untuk berkata jika dia tidak menyukai Arsal. Tapi Bunga tahu, perasaan Luna mungkin lebih besar dari rasa ketertarikannya. Selama ini Luna selalu larut dalam dunianya sendiri. Tidak peduli dengan orang sekitar. Luna itu ibarat musim semi tanpa mekarnya bunga. Di luar dia memang terlihat baik-baik saja, tapi di dalam Luna adalah sosok yang rapuh dan selembut kapas. Dan Arsal berhasil menarik Luna keluar dari teritorialnya.
Bagi Bunga, Arsal adalah bentuk kekaguman akan ciptaan Tuhan. Tapi bagi Luna, Arsal adalah wujud pertama sebuah kepercayaan. Sekali tergores, kepercayaan itu akan pecah dan butuh waktu yang lama untuk menyatu bahkan mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti sedia kala.
Cerpen Karangan: Agni Blog / Facebook: Agnihalimah.blogspot.com / Agni.halimah.7[-at-]facebook.com