Diam? Menurut kalian diam itu apa sih? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI, diam berarti tak bergerak, tak bersuara. Sedangkan filosofi merupakan kerangka berfikir kritis untuk mencari sebuah solusi dari suatu permasalahan. Masih menurut KBBI, filosofi berupa teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Dan dalam filosofi kita akan mempelajari hal-hal yang mendasari segala sesuatu. Baik dengan logika, akal maupun rasa.
Filosofi diam? Menurutku adalah studi tentang pertanyaan mendasar tentang pengertian diam. Contoh, diam adalah jalan terakhir untuk bersuara, ketika berkata tak lagi bermakna. Diam adalah caraku melepas daripada menunggu kamu yang hanya acuh serta membisu. Diam adalah situasi dimana kita tak dapat mengungkapkan rasa sedih juga kecewa. Diam adalah kita, yang jua tak berani tuk bersua menyapa rasa.
Jadi, menurut kamu filosofi diam itu apa?
“Wah edisi ini bagus banget. Yang nulis emang jago nih…” “Iya. Ga kalah sama edisi-edisi majalah lain.” “Ehhh, kalian penasaran ga sih sama penulis ini.” “Ya juga sih.” “Soalnya tuh ya, penulisnya make nama pena gitu.” “Hmm, menurut elo dia siapa? Atau jangan-jangan dari sekolah ini lagi.”
“Flo, udah liat majalah ‘RAIRY?’ Edisi baru, bagus banget nih…”
Aku tersenyum menanggapi itu, “iya udah kok.” Salah satu teman sekelasku itu balik tersenyum lalu ijin duluan. Aku menghela nafas, melirik jam di ponsel. Lima belas menit lagi aku harus bertemu dengan seseorang. Jadi tak apa bukan jika aku ada disana lebih awal. Daripada malah terlambat.
“Jus alpokatnya satu ya mba…” Waitress itu tersenyum, “ada lagi?” Aku menggeleng, “nanti saya pesan lagi mba.” “Baik ditunggu ya mba…” Aku tersenyum ramah, kemudian menopang dagu. Sore-sore begini enak untuk menulis. Ahh, mungkin puisi boleh juga.
Awan mendung menggeliat Menyapaku yang sedang dalam fase diam Angin semilir berhembus Membisikiku yang sedang menunggu jawaban Bersama langit jingga Dan juga ufuk senja Aku disini… Masih menanti Kamu yang mungkin tak lagi sendiri
Elegi dalam harmony Kususun dalam lamunan ini Menunggu hal yang tak pasti Sembari ku tulis sebait puisi Sebab kini ada tulisan di hati Nama kamu yang terpahat Walau tak bisa kita lihat
Belajar mengagumi tanpa mau mengungkapkan Itulah aku… Setia tanpa bisa melempar canda tawa Itulah aku… Tak banyak hal yang kumau Yang ku ingin hanya satu Kamu tahu, aku disini Setia menunggu kamu…
“Puisi baru Ry?” “Haah?” Aku terperangah melihat seseorang yang kini duduk anteng di depanku. “Sejak kapan kamu disitu?” Seseorang itu terkekeh, mengangkat bahu. “Kurasa sejak kamu menulis ‘Elegi dalam harmony.’ Gimana majalahnya? Lancar kan?” Aku mengangguk, “ya seperti biasa anak-anak tanya siapa sang penulisnya. Mereka penasaran.” Aku menghela nafas, “apa suatu saat identitasku bakal terbongkar ya Rai? Aku belum siap.”
Rai tersenyum, “yah ada waktunya bukan. Lagipula sampai kapan kita nolak undangan-undangan dari para penerbit ataupun sesama penulis. Belum lagi para guru yang juga penasaran dengan ‘RAIRY?’, kapanpun waktu itu tiba, kita harus siap.” Aku ikut tersenyum, mengangguk. “Semoga aja.”
“Jadi daftar cerpen-cerbung gimana?”
Aku menyodorkan notes ke hadapan Rai. Yang menampilkan daftar cerpen-cerbung yang telah aku pilah. Total semua ada delapan belas. “Di edisi kali ini akan ada enam cerita. Dua cerbung empat cerpen. Yang aku kasih tinta merah, itu yang terpilih di edisi kali ini. Sengaja aku acak genre-nya biar ga membosankan.”
Rai mengangguk, membaca enam cerita yang aku tandai itu. Hanya judul.
“Mereka yang Tak Terlihat part 1, 2, 3 & 4 – Cerbung Horor Hantu” “Bersama Alam part 1 & 2 – Cerbung Remaja” “Untaian Sendu Si Gadis Bisu – Cerpen Kehidupan” “Kamulah Kamuku – Cerpen Remaja” “Hate – Cerpen Horor” “Kenzofilia – Cerpen Remaja” “Ngomong-ngomong judul ‘Kamulah Kamuku’ bikin penasaran.”
Aku terkekeh, ya itu memang judul cerpen karanganku sendiri. Rai berdehem, kemudian menatapku dalam-dalam. Aku menautkan alis, berusaha menutupi debaran jantungku yang menggila.
“Ngomong-ngomong kenapa edisi kemarin berjudul Filosofi Diam? Apa alasannya?” “Alasan? Entahlah, aku hanya menulis apa yang aku rasa. Bukannya tulisan itu untuk menampung sesuatu ya, sebagai pengungkap suasana hati.” Rai mengangguk.
“Jadi Rai apa yang kamu simpulkan dari edisi kemarin?” “Menurut simpulanku, Filosofi Diam itu gambaran perilaku atau sikap seseorang. Ia hanya memendam tak bisa atau tak mau mengungkapkan apa yang terjadi, apa masalah yang sedang dihadapi atau apa yang dia rasakan. Yang ia lakukan hanya diam. Berusaha menutupi semua itu.”
Rai tersenyum, “seperti memendam rasa misalnya atau seperti kita, berkarya dalam diam.” “Emm, Ry apa kamu mengagumi seseorang? Dalam diam. Karena itu kamu menulis edisi itu untuk mengungkapkan apa yang kamu pendam lewat tulisan. Begitukan Ry?”
Aku mematung, tanpa sadar tersenyum kecut. Mengangkat bahu. “Yah jika lewat kode saja dia tak peka, maka sikap diam dalam mengungkapkan rasa adalah satu-satunya cara. Agar dia tsk perlu tahu, bahwa disini ada aku. Karena bagaimanapun aku sadar, aku dan dia itu berlainan. Status kami hanya teman. Tak lebih tak juga kurang.”
“Jadi Rai, filosofi diam cocok untukku bukan? Memendam dalam-dalam apa yang kurasakan.” Aku tersenyum tipis.
Diam adalah terbaik dalam menyikapi sesuatu, terutama tentang rasa. Diam adalah memendam rasa untuk melupakan semua luka. Diam adalah tidak berbicara yang berupa jalan tengah saat kita lelah.
Diam adalah cara menikmati kecewa dari kamu yang tak kunjung peka akan rasa. Diam adalah aku, yang memilih menjauh perlahan, melewati jalan yang berbeda sembari menata hati yang entah untuk siapa.
Jadi menurut kamu, filosofi diam itu apa?
—
“Oke bagi yang telah selesai silahkan dikumpulkan disini.”
Sepertiga dari yang ada di ruangan itu pun maju ke depan. Yang berarti mereka telah selesai menulis. Sama seperti yang lain, perempuan yang duduk paling belakang pun maju. Mengumpulkan karangannya. Menulis nama dan judul cerpen yang ia tulis kemudian menyerahkannya pada panitia.
“Kazia Jesca Vezeela dengan judul cerpen Filosofi Diam, benar?”
Baca sang panitia lomba, anggota OSIS. Riko namanya. Zia -panggilan singkat perempuan itu- mengangguk. “Alasan kamu menulis cerpen ini?” Zia tersenyum, “hanya mengungkapkan apa yang aku pendam. Karena selama ini aku diam atas semua yang kurasakan. Jadi aku rasa inilah saatnya. Walau lewat untaian aksara.”
“Dan kurasa kamu bisa baca cerpen itu. Sebab jawaban lengkapku atas pertanyaanmu ada disitu. Filosofi Diam, menarik bukan?” Zia lalu ijin undur diri. Melangkah meninggalkan Riko yang masih mematung. Mencerna cerita Filosofi Diam itu.
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Daa. Dapat di temui di Wattpad: Daa_zure Semoga lolos moderasi, salam hangat dariku untuk kalian semua.