Mas Yayan adalah pemuda yang bisa dibilang tak lagi muda. Usianya sudah lebih dari kepala tiga dan dia sama sekali belum memiliki keinginan untuk menikah. Tekad untuk mencari pasangan pun belum ada. Sebagai orang desa, usia segitu tentu mengisyaratkan lampu merah dan ditambah lagi hampir seluruh teman sebayanya di kampung terhitung sudah berumah tangga kecuali satu orang: Mbak Ida, begitu orang-orang memanggilnya. Mas Yayan sendiri cukup memanggilnya ‘Ida’ saja karena memang mereka berdua sudah akrab sejak kecil.
Mbak Ida kebetulan bertetangga dekat dengan Mas Yayan dan rumahnya berada persis di samping rumah Mas Yayan. Mereka berdua menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang sama hingga lulus SMA. Namun karena memang berbeda latar belakang, Mbak Ida melanjutkan studinya ke salah satu universitas negeri di Kota J dan setelah wisuda ia bekerja di perusahaan BUMN di kota yang sama. Ia sangat jarang pulang ke rumah sebab kesibukannya yang amat padat. Sedangkan Mas Yayan sendiri tidak melanjutkan sekolah karena terbentur masalah biaya dikarenakan orangtuanya hanya sanggup menyekolahkannya hingga tamat SMA. Mas Yayan juga mencoba mengerti hal tersebut dan tidak ingin mempermasalahkannya. Dia kemudian membantu orangtuanya bekerja di sawah hingga sekarang.
Siang itu setelah Mas Yayan kembali dari sawah, dia melihat ada mobil sedan berwarna putih terparkir di depan rumah teman kecil sekaligus tetangganya, di rumah Mbak Ida. Segera dia kemudian masuk rumah dan bertanya kepada Mak yang sedang duduk di kursi panjang sambil menonton TV.
“Ida pulang ya, Mak?” “Iya, barusan.” Jawab Mak singkat. “Oh. Lha mobil putih itu punya siapa, Mak? Punya Ida?” “Nggak tahu kalau itu, Yan. Soalnya tadi ada laki-laki yang keluar dari mobil bareng Mbak Ida. Mungkin punya dia. Orangnya tinggi dan rapi; bersih lagi.” “Jadi maksudnya aku pendek, lecek, dan kotor. Gitu ya, Mak?” “Sedikit.” Seloroh Mak kemudian tertawa. “Tega nian makku ini. Padahal anak sendiri juga.” Gerutu Mas Yayan. “Bercanda, Yan.” Sahut Mak tampak masih dengan sisa tawanya barusan. “Ya sudah, Mak, tak mandi dulu,” tukas Mas Yayan. “Biar bersih seperti laki-laki itu.”
Sehabis bersih-bersih, Mas Yayan duduk di bangku depan rumahnya sambil sesekali melirik ke arah rumah Mbak Ida. Barangkali teman lamanya itu keluar dan berkesempatan mengobrol sedikit-banyak dengannya. Dia sepertinya cukup rindu dengan perempuan itu. Entah rindu sebagai teman atau apa tidak jelas juga.
Tak lama berselang, Mbak Ida benar-benar keluar –dengan laki-laki yang tadi bersamanya tentunya. Mereka berdua terlihat begitu dekat dan ‘mesra’. Tadinya Mas Yayan sangat ingin menyapanya tapi diurungkannya niatnya itu karena takut merusak suasana mereka berdua. Mbak Ida dan laki-laki yang bersamanya akhirnya pergi dengan mobil sedan putih itu.
Sesudah tak tampak mereka dari pandangannya, Mas Yayan mengalihkan kedua matanya ke halaman yang ditumbuhi beberapa pohon jambu di depan rumah. Di situ, dulu dia biasa bermain dengan teman-teman kampungnya, termasuk Mbak Ida. Entah bermain kelereng, suda manda, gobak sodor, petak umpet, atau kejar-kejaran. Tapi yang sedang dibayangkannya sekarang adalah ketika mereka bermain masak-masakan. Seringnya ketika itu Mas Yayan berperan jadi bapak, Mbak Ida jadi ibu – yang bertugas memasak, dan yang lain menjadi anak-anak mereka. Meski hanya berpura-pura, karena memang hanya sebuah permainan, Mas Yayan selalu bahagia dan berharap itu terjadi sungguhan. Ah! Mikir apa aku ini? Ngawur, gumamnya dalam hati.
Malamnya, di hari yang sama, Mas Yayan merasa begitu gelisah yang menyebabkannya sulit untuk tidur. Di atas kasurnya, dia hanya telentang sembari serius memikirkan semacam sesuatu yang berat. Di saat posisinya sudah terasa tidak nyaman, dihadapkannya tubuhnya yang tidak kurus dan tidak gemuk itu ke sebelah kiri masih dengan memikirkan hal yang sama. Dan ketika dirasanya posisinya mulai tak nyaman lagi, diubahnya posisi badannya ke sebelah kanan tentu dengan memikirkan hal itu juga. Siapa laki-laki yang bersama Ida? Siapa dia?, tanyanya pada dirinya sendiri, ternyata itu yang mengganggunya sejak tadi. Dari kecil aku bareng-bareng Ida, belum pernah kulihat wajahnya secemerlang sore tadi. Siapa laki-laki itu? Apakah teman kerjanya? Kalau hanya teman kerja, buat apa dia sampai jauh-jauh datang ke mari? Atau saudaranya? Tapi kalau saudara pun pasti aku mengetahuinya. Beberapa kali aku main di rumah Ida tiap ada acara atau perkumpulan keluarga dan belum pernah sekali pun aku melihat wajah laki-laki itu. Siapa dia? Jangan-jangan pacarnya? Atau tunangannya? Ah! Buat apa aku memikirkan hal yang tidak penting begini? Atau jangan-jangan ini penting? Tapi aku pun tak memiliki urusan dengannya. Lagi pula tidak baik ikut campur masalah orang lain. Atau memang keberadaan laki-laki itu di sisi Ida adalah masalah bagiku? Kenapa tiba-tiba dadaku terasa sesak? Jangan-jangan aku memang menyukai…, belum rampung kalimat rumpang yang ada di kepalanya, Mas Yayan lebih dulu kehilangan kesadarannya dan akhirnya tertidur.
Mas Yayan kemudian keluar dan ingin duduk santai di bangku depan rumahnya sambil menunggu matahari meninggi. Dia biasa berangkat ke sawah sekitar pukul tujuh pagi. Setelah keluar dari pintu, dia melihat lagi ke arah rumah Mbak Ida dan kaget bukan main, ternyata di sana sudah terpasang tenda resepsi yang cukup besar dan kursi-kursi tamu yang berderet rapi. Terpampang jelas tulisan ‘Ida & Bimo’ di papan depan yang terbuat dari styrofoam. Di pelaminan, tampak Mbak Ida begitu anggun dengan gaun pengantinnya dan riasan wajah yang mewah. Di sampingnya ada laki-laki yang kemarin dilihat Mas Yayan mengenakan jas berwarna putih. Seperti yang Mak katakan, dia memang rapi dan bersih. Keduanya sedang berdiri dan tersenyum bahagia sambil menyalami tamu-tamu undangan yang datang memberi ucapan selamat. Beberapa wajah dari tamu-tamu itu tampak tak asing. Tanpa pikir panjang, Mas Yayan kemudian segera mendekat dengan langkah yang tumpat ke pelaminan itu tentu untuk ikut memberi selamat dan ungkapan turut berbahagia.
Diulurkannya tangannya itu dan berucap lirih, “Selamat, Da. Selamat juga, Mas Bimo.” “Terima kasih, Yan,” jawab Mbak Ida tampak senang. “Di kampung kita sekarang tinggal kamu sendiri lho yang belum nikah. Mau nyusul kapan?” “Iya. Nanti kalau sudah ketemu yang cocok.” Jawab Mas Yayan sekenanya dengan senyum nanar dan raut wajah yang mulai berubah. Tanpa disadarinya, mata Mas Yayan mulai menggenang. Dia seketika segera berlalu dan berjalan pulang ke rumahnya yang tentu tak jauh dari situ sambil bergumam dalam hati, Pupus harapanku sudah. Perempuan yang kukagumi sejak lama sudah sah menjadi istri orang lain. Sudah kuputuskan sekarang. Janjiku pada diriku sendiri: aku tidak akan menikah dengan siapa pun seumur hidup. Usai kalimat terakhir itu, Mas Yayan tiba-tiba terbangun sebab suara Mak.
“Yan, Subuh, Yan.” Matanya lalu terbelalak dan langsung mengambil air wudu kemudian sembahyang. Setelah selesai, Mas Yayan keluar lalu pandangannya langsung tertuju ke rumah Mbak Ida dan ternyata di sana tak ada apa-apa. Tak ada tenda resepsi. Tak ada kursi-kursi rapi. Tak ada tamu-tamu yang menyalami. Hatinya sangat lega, Alhamdulillah, masih ada harapan, katanya pada dirinya sendiri; lagi.
Rembang, Maret 2021.
Cerpen Karangan: A. Zulfa Muntafa Blog / Facebook: Zulfa Azm A. Zulfa Muntafa lahir pada 29 April tahun 2000 di Kemadu—Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya sudah pernah dimuat di Kompas, Blog ISMARO Tuban, dan beberapa media digital lainnya. Saat ini, penulis berstatus sebagai mahasiswa semester enam di program studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.