6 tahun lalu, aku mengenal sosok tak berkesudahan yang memberi rasa nyaman dalam balutan kasih. Senyumnya menawan, juga kehadirannya memberikan secercah asa di relung hatiku. Tatapan sayu bola matanya turut menggetarkan denyut jantungku.
Sembari menyeruput kopi panas, mari kuceritakan memori abu-abu bersamanya yang tiba-tiba mengusik ingatan.
Kota Garam, Maret 2015 “Selamat pagi, Paramita Yoo. Selamat datang di keindahan dunia fatamorgana dengan ilusi lensa berdiafragma 16.” Dia menyapaku riang di lorong sekolah pagi ini, memamerkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi juga eyes smile menggemaskan di paras rupawan idaman ribuan kaum hawa. Aku memalingkan wajah ke kiri, “Selamat pagi kembali,” balasku singkat namun tetap mengalun ramah di sepasang telinga miliknya.
Tolong maafkan egoku yang tak ingin mengalah untuk berargumen.
Sosok lelaki tampan ini kembali mengulas senyuman menawan, membuat cekungan kecil pada kedua pipi tirusnya tak sengaja terlihat. Manis. Aku memuja pahatan sempurna wajahnya dengan jujur dari dalam hati. Tak ingin menciptakan sedikit pun kebohongan karena lelaki ini sungguh menakjubkan sepasang mata yang memandang.
“Mita sudah sarapan?” Aku mengangguk pelan, “Sudah, sarapan nasi goreng dengan segelas susu coklat hangat pada pukul 6 lebih 15 menit lalu, bersama ayah dan bunda di meja makan keluarga.” Nahas sekali ketika menyadari polusi suaraku membuat bibir tipisnya mengerucut kesal. “Ah sayang sekali, padahal Diwan mau ngajak Mita sarapan bareng, ditemani beningnya embun pagi yang masih menempel di rerumputan lapangan sekolah,” rajuknya manja membuat rona pipiku tak mampu menyembunyikan semu merah yang terus meminta untuk dipamerkan.
“Mau aku temenin?” “Mita mau?” Diwan menjawab cepat sejalan dengan matanya yang berpijar indah kala mendengar tawaranku, membuat tawa geliku dipaksa untuk keluar.
Ya Tuhan, mengapa remaja 17 tahun ini begitu menggemaskan di pantulan retina mataku? Mengapa aku sangat terlambat menyadari kepolosan sikap yang ia perlihatkan?
“Tentu,” sambutku sembari tersenyum. “Beneran?” Aku kembali menganggukkan kepala, “Apa aku pernah bohong?”
Kedua matanya terlihat menimbang-nimbang jawaban sebelum diungkakan, juga pergerakan jari telunjuknya yang mengetuk pelan dagu simetris kepunyaannya.
“Nggak, sih. Tapi siapa tau kan kalau tiba-tiba Mita menciptakan karakter baru, seperti cerita khayalan di negeri dongeng? Jadi bukan kesalahan dong kalau Diwan curiga. Lagian ya, curiga itu termasuk naluri yang pasti dialamin semua orang, loh.” Aku mencebikkan bibir membuat decakan kesal lolos dengan mudahnya dari mulut mungilku. “Suka sekali sih bikin karangan bebas pelajaran Bahasa Indonesia.” Dia tertawa begitu renyah, sebelum kembali mengulang pertanyaan serupa. “Kamu beneran mau nemenin aku sarapan?” “Iya,” singkatku.
Aku teramat malas untuk mengulang pernyataan serupa, terlebih megenai perkara yang sangat tidak penting seperti ini. Cukup tau saja, aku bukan termasuk golongan remaja yang suka menyia-nyiakan kumpulan detik dalam putaran jarum 24 per tujuh.
Waktu adalah uang, dan setiap detik adalah tajamnya pedang. Disanggah oleh jutaan orang pun, analogi tersebut selamanya akan tetap seperti itu.
“Serius, kan? Seperti bentuk nyata dari paham empirisme, kan?” Aku menghela napas, “Iya, Diwan Dirgantara, anak semata wayang dari pasangan tuan dan nyonya Dirgantara. Pewaris tunggal Dirgantara Maskapai yang harta kekayaannya tidak habis tujuh turunan, meskipun anak cucunya hanya menghabiskan hari dengan sebatang rokok dan secangkir kopi hitam tanpa gula.” Diwan terbahak dengan mengimbangi intonasinya setinggi frekuensi ultrasonik yang hanya dapat didengar oleh lumba-lumba. Akan tetapi, gelakan tawa Pangeran justru mampu membuat pipiku kembali bersemu merah merona.
Aku selalu suka dan sangat terbiasa untuk tersipu malu saat menjadi alasan dibalik senyum dan tawa memikatnya. Ah, memalukan sekali setiap menyadarinya.
“Kamu beneran udah sarapan? Nggak lagi bohong, kan?” Diwan kembali bersuara saat derap langkah kaki kami telah memasuki ruangan kantin berukuran 8×24 meter persegi. Entahlah, aku tidak tahu pasti mengenai Pangeran yang terus menerus mengulang pertanyaan serupa. Apakah Pangeran sedang berada di fase kehabisan topik pembicaraan, ataukah hanya sekadar berusaha mencairkan bongkahan kecil es batu? Lupakan saja, aku malas menduga-duga hal abstrak ini. Tidak berguna sama sekali.
“Kan tadi sudah tanya, ngapain diulang? Buang-buang kalori tau.”
Dia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba tepat sebelum mengambil duduk di salah satu bangku. Tindakannya sontak saja membuat pergelangan tanganku sedikit tersentak karena tautan tangan kami yang masih membentuk simpul.
“Sunahnya harus dilakukan tiga kali dalam bertindak. Apa perlu aku tanya lagi biar sekalian nabung pahala? Kalau dipikir-pikir, puncak gunung dosaku semakin meninggi setiap harinya jadi perlu dikikis sedikit demi sedikit dengan tabungan pahala.” Dia terdiam sejenak kemudian bersiap untuk kembali membuka mulutnya lebar-lebar. Mulut harimaunya bahkan telah membentuk huruf kapital O secara sempurna.
“Kamu ngomong sekali lagi, kita putus.” Aku menudingkan jari telunjuk tepat di depan mata beningnya. Membuat keterkejutan terukir jelas di pahatan paras elok milik Pangeran. Juga, mata sipitnya yang seketika membelalak sungguh membuat hasrat gelakan tawaku ingin keluar.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik telah berlalu.
Lelaki berpostur tegap ini membatu dengan ekspresi tercengang yang menjadi ciri khas kerupawanannya. Tak lupa, ia membiarkan begitu saja kepulan asap nasi goreng yang menguar bebas di antara kami. Menjadikan harum kencur dan bumbu-bumbu dapur lainnya menerobos secara semena-mena pada sepasang lubang hidungku.
“Tapi Ta, kita kan nggak pernah pacaran. Kamu lupa, ya?”
Sekakmat. Dia bertanya dengan kalimat retorik super bodoh yang membuat indra pendengaranku terasa panas. Tampilan mimik wajahnya kala mengeluarkan polusi udara juga memperlihatkan keluguan yang teramat menjengkelkan. Sungguh, hatiku seperti tercabik-cabik kuku tajam nan kotor binatang buas saat kalimat tak berdosa keluar dengan mudahnya dari bibir ranum Pangeran.
“Aku ingat kok dan tahu betul kalau hubungan kita cuma sekadar temen, nggak lebih dari itu.” Tak dapat berbohong, jantungku berdenyut pilu ketika ungkapan itu keluar dari rongga tenggorokanku.
“Terus ngapain kamu ngancam aku kayak tadi?” Diwan benar-benar berekspresi datar saat menanyakan perihal pahit itu padaku. Memunculkan hasratku untuk mengumpati wajah rupawannya dengan mengabsen sekumpulan nama-nama hewan di kebun binatang nasional milik negara.
“Aku nggak sengaja tanya, ya. Kamu tau kan kalau aku tipikal orang yang mudah refleks?” Sejenak, aku menghela napas dalam-dalam. Menyadari betapa bodohnya diriku yang masih saja bertahan pada kubangan lumpur hubungan abu-abu poros pertama kehidupan remaja.
Benar, aku dan Diwan memang bukan sepasang kekasih yang tengah dimabuk gelora api cinta. Aku dan Pangeran juga tidak terikat dalam status pacaran ala anak remaja pada umumnya. Hubungan aku dengannya sekadar teman biasa, tidak lebih dan tidak kurang. Pas sesuai takaran timbangan asam manis kehidupan.
“Refleksmu membuatku berpikir tentang hal-hal aneh, Ta.”
Aku terdiam mendengar pernyataan Diwan, takut salah dalam menafsirkan maksud dari ucapannya. Dan aku tidak ingin jatuh terlalu dalam pada lubang ilusi maha karyaku sendiri.
“Bercanda, Ta. Kamu marah sama aku?” Seolah tak berdosa, Pangeran tersenyum kecil kala selesai mengucapkan kumpulan kata dari mulut berbisanya.
Biarlah, terserah dia saja. Diwan Dirgantara selalu menjadi pihak yang benar saat menghadapi situasi apapun. Tetapi tunggu, perlukah pertanyaan semacam tadi untuk ditanyakan padaku? Apa dia tidak merasa keliru dalam memilih objek sasaran bertanya? Ralat. Mungkin akan terdengar lebih masuk akal jika keretorikan tersebut diubah redaksinya menjadi, pantaskah aku marah untuk ketidakjelasan hubungan yang membelenggu ini? Jauh lebih sederhana dan tentunya begitu menyakitkan.
Dan kau tahu? Aku merasa jawaban yang paling tepat hanya berupa, “Aku tidak marah, sama sekali tidak. Aku kan nggak bisa marah sama kamu.”
Dasar penipu ulung, penipu tingkat dewa tertinggi dalam jajaran alam semesta. Mudah sekali diriku untuk melakukan satu kebohongan layaknya kejadian beberapa detik lalu. Atau mungkin aku telah terbiasa melupakan sayatan hati setiap kali menutup kebohongan yang sama?
Diwan kembali mengeluarkan desahan yang terdengar lelah. Berat napasnya seakan mewakili suara hati yang tengah mengutarakan kesetaraan hak untuk direalisasikan oleh si empunya raga.
“Kamu tahu kalau aku–” “Iya, aku tahu kok. Kamu nggak perlu risau.” Bak besaran angka kecepatan cahaya yang aku temui beberapa hari lalu dalam pelajaran ilmu alam, aku memotong kalimatnya secepat kilat seraya tersenyum kecil pada lelaki bertubuh tegap ini.
“Ta,” panggilnya pelan.
Jujur saja, aku dibuat bingung untuk mengklasifikasikan suara beratnya ke dalam kalimat sapaan ataukah kalimat pertanyaan. Terlalu membingungkan untuk aku yang masih awam terhadap dunia komunikasi.
Alisku terangkat sebelah, “Kenapa?” “Maaf.” Nada suaranya terdengar pasrah. Sinar cerah matanya juga turut meredup, seperti ikut serta menyelaraskan perasaan terdalam dari jeritan hati kecil bagian organ tubuhnya.
“Untuk?” “Perlukah aku memperjelasnya?” Suaranya terdengar melemah selaras dengan denyut nyeri di hati ketika melihat penampakan mengenaskan yang tertangkap oleh bola mataku.
“Kamu nggak salah. Nggak ada yang perlu dimaafin ataupun meminta maaf.” Remaja tampan ini menggelengkan kepalanya, “Nggak, Ta. Aku tetap aja perlu minta maaf sama kamu.” Dia selalu keukeuh di setiap mengatakan sesuatu, menolak dengan sangat keras untuk membiarkanku menyanggah kalimat-kalimatnya. Mungkin jika dia menjabat sebagai kepala negara, ia akan memimpin dengan gaya kepemimpinan otoriter yang mengerikan.
“Diwan, kamu nggak salah. Jadi orang jangan bandel, deh.” Tingkatan oktaf suaraku menurun beberapa angka dari semula. Terdengar lemah dan putus asa untuk kembali menyadarkan nalar positifnya. “Itu hukum alam dan kamu harus rela menerimanya.” Aku tetap berusaha untuk menyanggah pemikiran-pemikiran negatif yang terus mengerumuni otaknya. “Jangan menganalogikan semuanya dengan hukum alam, Ta, seakan-akan aku tidak cukup berusaha dalam merubah kuasa Sang Pencipta.”
Aku tertohok dengan penuturan yang diungkapkannya. Pola pikir Diwan sungguh tidak mampu untuk kutebak. Dia mampu bertingkah dewasa dan kekanakan dalam satu waktu yang sama.
“Diwan!” Nada suaraku meninggi, kesal dengan kilah yang terus ia gunakan untuk menutup alibi kenyataannya.
“Tapi, Ta.” “Apa? Jangan mempersulit keadaan, aku nggak suka.” Kedua alisnya menukik tajam, namun tidak terlihat ada kesinambungan dengan tatapan mata beningnya. Pijarnya semakin meredup, juga helaan napasnya semakin membuatku merasa kasihan.
“Masalahnya, hatiku selalu bilang kalau aku suka kamu. Jadi, aku harus apa?”
Cerpen Karangan: Miftakhul Azizah Blog: filsobin.blogspot.com No limit gon’ touch the sky. Penulis termasuk penggemar iKON, salah satu boy group Korea Selatan. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, penulis bisa dihubungi melalui akun wattpad @mitamorfosis, instagram @mitayaa36 @filsobin
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com