Terima kasih candunya. Ini adalah awal ketagihanku. “Sini abang bantu keluarin motornya,” ujar Bang Ilham. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Terimakasih Bang,” ujarku ketika Bang Ilham selesai mengeluarkan motorku. “Sama-sama,” balasnya sambil memamerkan senyuman manisnya.
Percakapan singkat tadi setelah selesai acara dzikir cukup membuatku terbang hingga ke nirwana. Senyuman manisnya terlukis di antara bintang-bintang, membuatku terkagum-kagum akan anugerah Tuhan. Lengkungan bulan sabit di bibirnya menjadi teman tidurku malam ini. “Kau yang memulainya maka aku yang akan melanjutkannya,” gumamku disela tidurku.
“Nisa, ada berita duka,” ucap nenekku. “Apa Nek?” tanyaku penasaran. “Ayah Ilham meninggal, ayo ajak Putri dan Nenek Mas kita pergi melayat,” ucap nenekku. Kamipun bergegas ke rumah Bang Ilham.
Pangeran impian yang kumimpikan tadi malam sedang berduka. Ia kelihatan terpukul dan aku ingin merangkulnya. Tapi sayang aku bukan siapa-siapa baginya, cukup aku merangkulnya lewat do’a. Mataku terus memandang punggung Bang Ilham yang sepertinya menahan isak tangis.
“Yaasiin … ” Aku mengawali bacaan Yasinku. Malam ini aku membaca Yasin sambil sesekali mencari di mana keberadaan Bang Ilham. Ternyata keluarganya begitu ramai, aku hanya mengenali orangtuanya saja. Malam ini begitu bermakna karena ini awal permulaan aku datang ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lengkungan bulan sabit di bibirnya. “Bang Ilham,” gumamku sambil turut tersenyum.
Hari-hari aku lalui dengan bertemu dirinya di surau Al-Hidayah. Aku semakin mengagumi akhlaknya yang baik. Hingga malam tahun baru aku merasakan kesakitan yang amat sakit. Aku dan ayah pergi ke dokter memeriksa penyakit maagku kumat lagi. “Kamu terapi saja Nisa di mejelis zikir Al-Hidayah. Mungkin kamu bisa sembuh,” ucap nenek. “Emang bisa sembuh, Nek?” tanyaku penasaran. “Kita usaha aja dulu,” balas nenek.
Malam yang hening sungguh menentramkan jiwa ini. Aku duduk bersama beberapa jamaah zikir Al-Hidayah. Aku berniat mengikuti terapi sesuai dengan saran nenek. “Kamu sakit apa, Dek?” tanyanya. Aku langsung memalingkan wajah dan melihatnya. Seketika aku kaget dan deg-degan ternyata dia yang aku kagumi, bang Ilham. “Saya sakit maag, Bang,” ucapku gerogi. “Sini abang terapi ya, nggak usah gerogi,” ucapnya sambil melihat manik mataku. “Iya Bang,” balasku sambil menahan malu.
Aku begitu khusyuk menikmati proses terapi ini. Sambil berdoa dalam hati agar dia lebih lama disampingku. “Abang juga punya penyakit asam lambung,” ucapnya usai terapi. “Serius Bang?” tanyaku dengan malu-malu. “Iya, sudah puluhan dokter abang temui untuk mengobati penyakit ini tetapi hasilnya nihil. Penyakit abang masih betah mudah-mudahan kayak adik betah di hati abang,” ucapnya dengan wajah tanpa dosa. “Eh … i…iya Bang,” balasku kaget digombalin. “Terus sahabat abang ngajakin abang terapi di majlis zikir ini. Alhamdulillah hasilnya abang sembuh. Sekarang abang menjadi jamaah sekaligus terapis di sini,” ucapnya panjang lebar. Akupun terkagum-kagum mendengarnya. Keahliannya menyambuhkan orang menambah nilai plus di hatiku. Pokoknya aku padamu bang.
“Kamu harus shalat taubat, shalat hajat, dan zikir ya. Itu amalan yang harus kamu jalani,” pinta Bang Ilham. “Iya, Bang,” balasku.
“Nisa … Nisa … sini aku mau nunjukin kamu video yang bakalan bikin kamu senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Haha … haha ..” ucap sepupuku sambil terbawa terbahak-bahak. “Apaan? Jangan bikin aku penasaran deh. Kamu ini makin lama makin aneh ketawa sendiri. Jangan-jangan kamu yang gila. Haha … haha …” ucapku “Ini,” ucapnya sambil menunjukkan video. Aku tertawa geli melihat video tersebut. Sepupuku ini sungguh iseng. Ada-ada aja tingkah jahilnya. “Ada yang lagi bahagia ni,” goda Putri, sepupuku yang jahil. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Di dalam video tersebut terekam jelas proses terapi aku dan bang Ilham. Video tersebut menjadi obat ketika aku merindukan bang Ilham.
Ketika malam selasa ada acara bagi santunan anak yatim dan fakir miskin. Para jamaah berkumpul di surau Al-Hidayah. Mereka berfoto-foto pada acara tersebut. Aku ingin sekali mempunyai nomor whatsapp bang Ilham hingga Tuhan menunjukkan jalannya. “Dek tolong fotokan kami,” pinta seseabang. “Baik Bang,” balasku. Baru saja aku mau memfotokan mereka terdengar bisikan sepupuku yang jahil. “Nisa, kita ambil aja nomor whatsapp bang Ilham dari telepon abang ini,” ucap Putri. “Ayok, tumben otak kamu pintar pasti habis kesentrum listrikkan. Haha … haha …” balasku sambil terbawa terbahak-bahak. Dengan kekuatan Boboiboy petir kami secepat kilat mengambil nomor whatsapp bang Ilham.
Pagi yang berbeda, bibirku terus tersenyum. Kejadian tadi malam yang membuatku berhasil mendapatkan nomor whatsapp bang Ilham. “Save Nisa,” kukirim pesan padanya. “Eh, iya Nisa,” balasnya. “Abang lagi ngapain?” tanyaku lagi. “Lagi mikirin kamu, eh lagi duduk. Emang dari mana dapat nomor abang?” tanyanya. “Rahasia,” balasku disertai emot ngejek lima buah. “Pakai rahasia segala. Nanti malam kamu ke surau Al-Hidayah abang tunggu di sana,” pintanya. “Sip Bang,” balasku mengakhiri pesan whatsapp pagi ini.
Sudah puluhan baju yang aku coba pakai tapi tidak ada satupun yang cocok di hati. Permasalahan seperti ini yang bikin cewek merasa dilema. Warna baju harus senada dengan warna rok, jilbab, sandal, hati, ginjal dan usus. “Ini kamar apa kapal pecah? berantakan sekali,” ucap ibuku. “Ini kamar putri Ibu yang manis,” balasku cengengesan. “Manisnya berkurang. Sebel Ibu sama kamu kamar berantakan kayak gini,” sungut ibu panjang lebar. “Nanti Nisa beresin kok Bu, santai aja. Selagi ada Nisa pasti semuanya bakalan rapi lagi,” balasku. “Tumben pagi-pagi udah cari baju pasti nanti malam mau ke surau Al-Hidayah supaya ketemu Ilham kan?” goda ibu. “Hehe… hehe…” balasku sambil cengengesan.
“Assalamu’alaikum Nisa,” sapa Bang Ilham “Wa’alaikumsalam Bang. Eh kok baju kita warnanya sama ya?” tanyaku dengan malu-malu. “Jodoh kali,” jawabnya sambil berlalu. Aku langsung terpaku mendengar ucapannya. Ya ampun hati udah loncat-loncat kegirangan apalagi jantung udah lari sampai ke Amerika sangking senangnya. “Demi Spongebob berkepala kotak, tolong, apa-apaan ini bikin baper aja ni Abang,” ucapku pelan.
Akupun memasuki surau dan mendapati bang Ilham yang duduk dengan para jamaah sambil menatapku tajam. Tatapannya bikin hati tidak karuan. Acara zikir malam ini berjalan dengan lancar dan sakral. Sesekali mataku dan bang Ilham saling bertemu.
“Hallo, Assalamu’alaikum Nisa,” panggil Bang Ilham diseberang sana. “Wa’alaikumsalam Bang,” balasku sambil memegang telepon. “Nanti sore kita jalan yuk. Kita pergi ke Batu Ampar. Nanti abang jemput sekalian minta izin sama ibu kamu.” Ucapnya. “I…iya Bang. Tumben ngajak jalan?” tanyaku dengan gugup. “Nggak kenapa-kenapa, kangen aja sama kamu. Ya udah siap-siap ya. Assalamu’alaikum,” ucapnya langsung memutuskan sambungan telepon. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. Sungguh ajakan bang Ilham membuatku bahagia tanpa batas. Demi Tuan Crab si pelit, ini sungguh hari yang bahagia.
“Mau makan apa?” tanyanya sejenak setelah kami tiba di Taman Batu Ampar. “Apa aja,” jawabku. “Cewek setiap ditanya mau makan apa pasti jawabnya seperti itu,” ucapnya. “Hehe … hehe …” jawabku cengengesan. “Ya sudah kita makan bakso bakar aja,” balasnya.
Sesekali aku melirik bang Ilham yang lagi makan bakso bakar. Lagi makan saja sudah tampan apalagi lihat dia tersenyum. Aneh, dia makan nasi apa gula, manis sekali atau dia makan nasi campur gula dan madu pikirku ngawur. Sore ini aku lewati bersama bang Ilham dengan bahagia.
“Besok ibu abang mau ke rumah Nisa,” ucapnya setiba kami sampai di rumahku. “Emangnya kenapa?” tanyaku malu-malu. “Nanti juga kamu tau. Abang pulang dulu ya. Assalamu’alaikum,” ucapnya sambil tersenyum. “Hati-hati Bang, Wa’alaikumsalam,” balasku.
Aku memasuki rumah sambil joget-joget tidak jelas. “Kalau gila jangan pulang ke rumah sana pulang ke rumah sakit jiwa,” sindir sepupuku. “Syirik aja kamu,” balasku.
Malam yang dingin membuatku lebih nyaman bersembunyi disebalik selimut Hello Kitty yang manis. Sesekali aku putarkan video ketika bang Ilham mengaji di surau. Suaranya merdu sekali membuat siapa saja yang mendengarnya jadi tersentuh. Masih terbayang ucapan bang Ilham yang mengatakan kalau besok ibunya bang Ilham mau ke rumahku.
“Apa Bang Ilham mau melamar aku ya?” ucapku ngawur. “Stressnya dikurangin dikit ya,” bisik sepupuku. “Kamu kayak jailangkung aja, datang nggak diundang pulang nggak diantar. Biarin aku stress,” balasku sambil menjulur lidah mengejeknya. “STRESS,” teriaknya sambil berlalu keluar kamar. Selalu ada bocah jahil yang mengganggu khayalanku. Apa aku karungin saja terus dibuang ke laut biar dimakan buaya sepupuku yang jahil ini. Dasar bocah jahil.
Dari jauh aku melihat ibunya bang Ilham datang ke rumahku. Orangtua bang Ilham hanya ibunya karena ayahnya sudah meninggal. Aku malu mau menyambutnya biar orangtuaku saja yang menyambut kedatangan calon mertuaku eh ibunya bang Ilham. Mending aku bersembunyi di kamar saja.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ibunya Bang Ilham. “Wa’alaikumsalam,” jawab ibuku. Entah apa yang dibicarakan mereka di ruang tamu. Aku masih betah bersembunyi di kamar sampai ibu masuk ke kamar dan menyuruhku membuatkan minuman untuk ibunya bang Ilham. “Silahkan diminum Ibuk,” ucapku. “Terima kasih Nak,” balas Ibunya. Sekilas aku melihat bungkusan kado di atas meja.
Aku memandang diri didepan cermin. Sungguh kebaya yang bagus. Ternyata isi kado dari ibunya bang Ilham adalah kebaya yang manis, sangat cocok dibadanku. Sesekali aku mengusap air mata yang menetes dari pelupuk mata. “Buruan Nis, akadnya mau dimulai,” teriak Ibu dari luar kamar. “Iya Bu,” jawabku. Aku memoleskan sedikit bedak di wajah untuk menyamarkan wajah senduku. Aku pergi ke luar kamar dengan kebaya manis berwarna dusty pink dengan langkah yang lemah.
“Saya terima nikah dan kawinnya Wardah Mardhia binti Harun dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucap Bang Ilham dengan hikmat. “Sah?” tanya Pak Penghulu. “SAH,” jawab para tamu undangan.
Kini aku duduk bersama keluarga besarnya yang memakai baju kebaya yang sama denganku. Ternyata kedatangan ibunya bang Ilham ke rumah untuk mengantar kartu undangan pernikahan bang Ilham dan baju kebaya yang sekarang sedang kupakai. Bang Ilham menginginkan aku menjadi pengapit dihari pernikahannya.
“Abang mau Nisa menjadi pengapit dipernikahan abang. Tolong dipakai baju kebaya yang ibu abang berikan pada ibu Nisa,” ucapnya diujung telepon sehari sebelum dia menikah. Kini canduku sudah menjadi milik orang lain. Kau yang memulaikannya maka aku yang akan menamatkannya. Ternyata selama ini dia hanya menganggapku sebagai adik.
Cerpen Karangan: Junita Aprillia Blog / Facebook: Pengagum Sajak
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com