“Perkenalkan nama abang, Randa saputra. Adik-adik semua bisa memanggil saya dengan nama itu, atau mungkin dengan singkatan bang ran,” ucap pria itu memperkenalkan dirinya.
Aku benar-benar tertegun dengan senyumnya, wajah pria itu sangat manis. Dengan kacamata besar yang bertengger di matanya membuat penampilannya sedikit cupu namun tetap menarik menurutku. Kucoba untuk menghapal nama itu di kepala kecilku, takutnya sifat pelupaku merombak namanya dengan sebutan yang asing.
Hari ini merupakan pertemuan perdana kami dengan kakak tingkat dalam unit kegiatan mahasiswa atau biasa kudengar dengan sebutan UKM atau organisasi kampus. Aku sangat senang ketika namaku terpampang di papan pengumuman lolos. Tak pernah terpikir olehku menjadi bagian dari mereka. Para senior memperkenalkan diri mereka pada kami dengan keramahan yang luarbiasa, kukira mereka akan bersikap arogan atau menyebarkan kesan mencekam namun, ternyata sikap mereka diluar ekspektasiku. Senyum dan humor mereka membuat kami nyaman untuk saling membuka diri.
Jumlah kami memang cukup banyak dibanding dengan para senior disini, kami sekitar lima puluhan orang sedangkan mereka hanya ada lima belas orang saja. Tidak ada perkenalan diantara anggota baru, mungkin karena jumlah kami yang cukup banyak jadi waktu tidak akan cukup untuk pertemuan perdana kami.
Hari-hari begitu cepat sejak aku terjun di organisasi ini, banyak pengalaman, kenalan dan tugas yang menumpuk selama itu. Aku terbiasa dan menikmatinya dan kurasa tidak ada tantangan berat jika kita melakukan sesuatu dengan tulus. Mulai dengan sentuhan ketulusan, maka semua akan selesai menurutku.
Pertemuan kali ini menjadi saksi betapa bahagianya aku, pembagian kakak asuh bagi kami membuatku sedikit terkejut. Demi apapun, kenapa takdir seperti berpihak padaku? Aku dan tiga orang lainnya menjadi adik asuh dari Randa saputra. Cukup! Ini akan membuat pengharapanku semakin besar dan jujur, itu menjadi tanda bahaya bagiku.
“Baiklah, ini ruang pertemuan untuk kita. Jika ada yang ingin didiskusikan mengenai masalah seputar kegiatan ilmiah, kalian bisa hubungi abang,” ucapnya datar kepada kami. Bang Randa saputra, kakak asuhku mulai saat ini. Dia yang akan menjadi barisan depan melindungi dan menuntun kami untuk kegiatan kedepannya. Kupikir dia sedikit senang berbasa-basi namun, nyatanya dia pribadi yang to the point dan itu membuat interaksi di grup kami cukup sunyi.
Sabtu ini pertemuan ketiga dengan kakak asuh, aku tiba lebih dulu tiba di ruang diskusi kami. Aku masuk dan mengucapkan salam sebagai penanda bahwa seseorang telah tiba disini. “Siang, halo … ada orang disini?” Panggilku menerobos masuk. Tidak ada sahutan…
Dengan santai aku duduk dan membuka catatan kecilku sembari mengaktifkan handphoneku yang sempat kumatikan tadi.
“Kau sendirian?” Tiba-tiba suara pria itu muncul dari belakangku. Aku benar-benar terkejut dengan kehadirannya, “eh, iya bang ran,” sahutku. Jujur, sangat canggung berada di ruangan ini hanya berdua denganya, kedua matanya pun tak berminat melihatku. Hanya pertanyaan singkat yang keluar dari bibir tipisnya,
“Dimana temanmu yang lain?” “Sudah kuhubungi bang, sepertinya akan tiba sebentar lagi,” jawabku kepadanya, namun mataku tetap setia menatap buku kecil di tanganku. Pria itu hanya mengangguk dan kembali membisu, melanjutkan kegiatan membacanya pada buku bersampul hitam digenggamannya.
Aku awalnya hanya mencuri pandang padanya namun, ketidaksadaranku membuatku menatapnya cukup lama. Wajahnya sangat candu, dia terkadang tersenyum tipis saat membaca buku itu. Kumaki diriku dalam diam, ketika pria itu membalas tatapanku dengan tatapan kebingungan.
“Ada apa? Apa sesuatu yang salah menempel di wajahku?” Tanyanya kebingungan sambil mengambil handphone dari saku jelananya untuk bercermin. Aku terkesiap, “tidak bang!” Hening… “Maksudku tidak ada yang salah, tadi aku hanya memandangi cecak di dinding itu,” lanjutku sembari menunjuk dinding disebelahnya. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan, dia bahkan tidak menanggapi pernyataanku tadi. Aku benar-benar malu dan ingin menghilang dari hadapanya. Untungnya, Azizah, Gsyia dan Andre telah tiba disini. Rasa lega langsung menyingkap diriku, sedari tadi aku sangat sulit untuk bernafas bahkan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Hujan deras membuat kami tertahan di teras, hanya Azizah yang memiliki payung di tangannya. Kutatap langit yang semakin gelap yang menandakan malam perlahan akan tiba. Gsyia dan Andre sudah jadian dua minggu yang lalu, mereka memutuskan untuk menerobos hujan menggunakan jaket tebal milik Andre. Rasa iri membalut hatiku, mengingat belum pernah ada seseorang yang pernah menerimaku. Mataku kemudian beralih kepada pria itu, pria yang membuat jantungku berdegup kencang dan merasakan akan adanya celah harapan baru. Namun semua itu sirna, ketika seorang wanita yang tak kukenal datang berlari membawa payung merah dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Kau lama menunggu?” Tanyanya kepada pria itu. “Tidak, mana jaketmu? Sayang, nanti kau kedinginan,” balasnya sambil melepaskan jaketnya dan langsung dikenakannya kebahu wanita berkerudung itu. Mereka saling berbalas senyum, wajah Randa bahkan memerah saat wanita itu mengengam tangannya dan membawanya lari ke tengah derasnya hujan dalam lindungan payung merah itu.
Tubuhku mematung, tidak perlu membahas siapa wanita itu. Kurasa semua mengerti posisi itu dan mungkin pernah berada diposisi itu. Sejak itu, kutitahkan pada hatiku untuk menahan rasa kagum seperti biasa sebagai imbalan dari tanda bahaya yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Ini tidak sesakit melepaskan ketika memiliki, ini hanya sesakit mencintai tanpa diketahui. Jadi bertahanlah!
“Sepenuhnya kusadari bahwa takdir ternyata keliru membawa perasaanku pada pria itu, atau mungkin perasaanku yang begitu naif pada tipuan takdir. Aku tidak mengerti akan hal itu, yang ku tau pertemuan dengan pria itu bukanlah sebuah takdir, itu hanya sebuah kebetulan yang terasa seperti takdir.”
Tamat
Cerpen Karangan: NN
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com