Aku tidak mengerti, mengapa Tuhan sangat mencintaimu. Kau diberikan orang-orang baik yang selalu mengelilingimu dan bersedia membantu kapan pun kamu berbisik butuh bantuan. Entah bagaimana cara kamu merayu Tuhan, yang aku tahu adalah kamu pasti merelakan banyak waktumu untuk berbincang padaNya. Seperti halnya dua insan yang semakin dekat karena kerap bertukar kabar, aku rasa Tuhan juga begitu mencintaimu karena kamu adalah hamba yang selalu bercerita dan bertukar kabar denganNya.
Aku ingat saat pagi hari yang ditemani hujan rintik juga suhu yang dingin, dari jendela aku melihatmu telah duduk di kelas sambil membaca sesuatu, bahkan saat aku sengaja datang lebih pagi karena harus mengerjakan tugas. Aku berpikir, “Rajin sekali orang ini, sudah menerobos sejuknya pagi yang membuat aku bahkan ingin menarik kembali selimutku”.
Waktu bergulir dan tanpa sadar kegiatanku lebih banyak terpusat mengamati bagaimana kamu dalam keseharian. Senyum yang tak pernah luntur, tatapan yang selalu teduh, tutur yang selalu santun, juga suara yang tidak pernah sekalipun kau tinggikan walau keadaan sangat panas dan aku yakin kamu sangat kesal. Tapi kamu selalu menjaga lisanmu dengan sangat baik.
Awalnya aku tersinggung saat aku ingin mengajakmu berbincang tapi kamu malah tersenyum sopan lalu pergi ke tempat duduk temanmu. Aku kira kamu jijik dengan gadis urakan yang tidak memiliki tata krama sebaik kamu, namun aku salah, kamu menghormatiku.
Bulan November kala itu adalah terakhir kali aku melihatmu di depan podium, memimpin laporan pertanggungjawaban di depan seluruh perwakilan siswa juga dewan guru dan kekagumanku atas piawainya kamu memilih diksi semakin besar. Bisa-bisanya kamu menjawab dengan suara hangat tanpa emosi pada mereka yang terus menyudutkanmu di depan lembaga legislatif padahal sudah jelas jika para dewan guru saja memuji kepemimpinanmu setahun ke belakang. Aku yakin mereka itu hanya iri padamu.
Waktu berlalu bahkan saat kita tetap berdiam diri di tempat yang sama, dan aku merasa waktu begitu jahat sebab bergerak sangat cepat. Karena artinya perpisahan kita semakin dekat.
Pagi itu, seusai kita melaksanakan simulasi UN, aku menemukanmu terduduk tenang di masjid sekolah. Sudah aku duga, kamu menghabiskan banyak sekali waktu untuk Tuhan, pantas saja Ia juga mencintaimu dengan banyak.
Aku memberanikan diri menunggumu di selasar masjid, aku hanya merasa jika aku harus mencuri banyak taktik darimu bagaimana caranya agar Tuhan melirikku, agar aku dicintaiNya.
Seperti biasa, kamu duduk di sisi seberang dengan tenang sambil memakai kembali sepatumu. Dengan segenap keberanian yang kupupuk lama, aku memanggil namamu,
“Al,” Yang kamu lakukan malah melihat sekeliling, lalu kembali memakai sepatu. Tidak peka sekali.
“Al Fatih, hey!” kali ini aku mengeraskan suaraku. Kamu menoleh sebentar lalu mengangguk sopan, “Iya, ada apa, Kak?” Aku ingin menggerutu, enak saja memanggil Kakak, memangnya aku terlihat setua itu, ya? “Jangan Kakak dong, kita seangkatan, kok. Namaku Myesha” “Oh maaf, bagaimana, Myesha? Ada perlu apa?”
Kesempatan hahaha, “Aku mau bertanya banyak hal, kamu ada waktu?” lalu dahimu berlipat. “Tentang apa, ya?” “Tentang cara kamu merayu Tuhan” “Merayu Tuhan?” “Iya, merayu Tuhan. Bagaimana mungkin kamu bisa menjadi sosok yang sempurna di mata manusia? Bunda yang sayang, ayah yang mengajarkan kamu jiwa kepemimpinan, kakak yang sangat cantik dan pengertian, akademik yang cemerlang, kemampuan bicara yang sangat memukau, pengendalian emosi yang baik, bahkan kalau menurutku kamu juga tampan” aku mengucapkannya dengan nada tersipu di akhir kalimat. Kamu tersenyum tipis, sangat tipis. Sampai-sampai aku rasa bahwa aku takkan sadar jika tidak memandangmu dengan saksama. Manis dan teduh. Senyummu itu menenangkan sekali, Al.
Kamu berdehem singkat, “Myesha, mana mungkin saya adalah orang yang sesempurna itu. Kamu hanya menafsirkan itu dari kacamatamu sebagai makhluk yang kagum. Kamu silau dan beranggapan bahwa saya adalah berlian yang memukau matamu. Merasa saya sangat sempurna dan tak bercelah. Padahal semua itu hanya ilusi. Saya terlihat sempurna karena Allah menutupi semua aib dan kekurangan saya, Dia memang Maha Baik—” “Tapi itu karena kamu juga loyal kepadaNya. Waktumu banyak kamu habiskan untuk bercengkrama dengan Dia.” “Memangnya tujuan kamu diciptakan di dunia untuk apa, Myesha?” dan aku terdiam. “Kamu pikir hanya untuk bersenang-senang, membuang waktu dengan sia-sia, dan tidak mempertimbangkan ibadah sedikit pun?” “Mana ada, aku sholat, kok” jawabanku membuatmu terkekeh kecil. “Memangnya kamu kira ibadah itu hanya sholat? Ibadah itu banyak, Myesha. Dan hal-hal kecil yang kita remehkan juga ternyata bisa bernilai ibadah. Segala hal baik yang kamu mulai dengan menyebut nama Allah, in shaa Allah akan dihitung ibadah bagimu.”
“Saya pamit dulu” Siang itu kamu meninggalkanku dengan kegamangan luar biasa. Loh? Memangnya ibadah itu tidak hanya sholat, puasa, zakat, dan haji, ya?
Dan aku tidak pernah menyangka hari itu adalah pertemuan terakhir kita. Beberapa bulan selanjutnya aku bahkan mulai tenggelam dengan segala persiapan masuk kuliah juga ujian-ujian yang terasa seperti aliran sungai, deras sekali.
Di hari kelulusan kita pun aku tidak menemukanmu di antara wajah-wajah bahagia yang penuh seri. Kamu tidak kulihat dimana-mana. Aku bahkan sudah mengitari tiap sudut gedung yang penuh sesak itu, berharap dapat berjumpa dan mengucapkan selamat juga terima kasih padamu. Karena bundaku bahkan menangis haru saat aku bilang akan menutup auratku. Bunda semangat sekali mencarikan guru ngaji untuk anaknya yang dia yakini mendapat hidayah dari Allah karena menjadi penurut dan sedikit waras ini. Tapi eksistensimu bahkan tidak kutemukan saat kelasmu dipanggil satu persatu menaiki panggung kelulusan. Hingga saat acara selesai, aku menemukanmu.
Wajah dan namamu ada di layar utama. Senyummu teduh, seperti biasa. Isak tangis Bapak Ibu guru juga teman-teman lain mewarnai pendengaranku. Kamu pergi. Sehari sebelum kita merayakan keberhasilan pendidikan kita 3 tahun ke belakang. Kamu pergi, bahkan saat aku belum sempat mengucapkan terima kasih.
Doa-doa yang dibacakan oleh guru agama kita di depan seolah hanya desir angin di telingaku. Yang terdengar dalam kepalaku malah jawaban-jawabanmu di masjid dan tawamu kala itu.
Mataku memanas. Hey, bagaimana bisa kamu meninggalkanku disaat aku telah yakin benar-benar mencintaimu. Bagaimana bisa kamu pergi jauh sekali bahkan saat banyak orang-orang di sini yang menyayangimu. Bagaimana bisa, Al? Tega sekali kamu.
Mataku semakin panas melihat bundamu yang bisa berjalan dengan anggun juga tersenyum tipis menaiki panggung. Kamu lulusan terbaik, Al. Tidakkah kamu ingin merayakannya? Tidak kah kamu ingin menyombongkan itu pada orang-orang yang tidak menyukaimu? Pada orang-orang yang menyudutkanmu di sidang kala itu?
Bundamu anggun sekali, bahkan siapapun tahu bahwa hatinya hancur karena permata tercintanya telah lebih dulu berpulang pada Sang Kuasa. Tatapan matanya mengingatkanku pada bagaimana caramu menatap, selalu lembut dan teduh. Dengan suara yang lembut—seperti suaramu, beliau mewakili kamu berada di atas sana.
“Saya sangat berterima kasih kepada seluruh civitas akademika di sekolah ini. Fatih saya tumbuh dengan sangat baik di lingkungan teman-teman yang supportif juga guru-guru yang sangat mengayomi siswanya. Saya yakin dia akan bangga jika mengetahui namanya disebut sebagai lulusan terbaik dari sekolah ini. Banyak orang mengira bahwa orangtualah yang mengajarkan banyak hal kepada anaknya. Namun sebagai orangtua, saya akan menambahkan bahwa anak juga bisa mengajarkan banyak hal kepada kita. Ibu, Bapak, saya sangat bersyukur Allah memberi kesempatan saya untuk bisa menjadi ibu dari anak sebaik Fatih. Terkadang saya bahkan merasa dia lebih dewasa daripada saya. Dia tidak pernah sekali pun meninggikan suaranya pada saya juga ayahnya. Kami banyak belajar attitude dari anak kami. Ketika bercerita tentang teman-temannya di sekolah dia sangat antusias, katanya Allah baik sekali karena mengelilingi dia dengan orang-orang yang baik. Dia selalu berkata bahwa segala kepelikan hidup itu pasti ada, namun cara kita menyikapi kepelikan itulah yang akan menentukan bagaimana kepelikan itu akan berlalu, dengan kita mendapat pelajaran atau berlalu tanpa kita sempat menjadikannya renungan. Kepergiannya sangat mengejutkan kami, walaupun dia selalu meminta maaf setiap hari karena katanya tidak hanya saya atau ayahnya yang bisa pergi sewaktu-waktu, tapi dia juga. Jadi sebagai perwakilan keluarga saya juga memohon maaf kepada seluruh warga sekolah jika selama bersama dan mengenal ananda, ada perbuatan maupun tutur katanya yang menyakiti kalian semua…”
Dan yang terdengar di telingaku selanjutnya hanya isak yang kian bersahutan. Tatapanku masih terpaku pada wanita di depan sana, bundamu. Wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun kesedihan. Aku yakin, kamu pasti sangat senang. Selain karena bertemu dengan kekasih yang sangat kau cintai, keluargamu juga merelakan kamu pergi. Hey, beri tahu aku bagaimana caranya bisa memiliki hati selapang itu.
Hari itu menjadi hari yang penuh renungan untukku. Al, kepergianmu membuat banyak hati gerimis. Pantas saja kemarin cuacanya sangat nyaman, tidak terik juga tidak hujan. Ternyata langit bersuka cita menyambut seseorang yang dicinta.
Terima kasih telah memberi banyak arti. Walau mungkin kamu juga tidak mengenalku, tapi aku akan selalu mendoakanmu. Semoga pertemuanmu dengan yang tercinta bisa menghantarkanmu ke surga. Titip salam padaNya dari aku yang masih terseok-seok mensyukuri cinta dari Dia untuk setiap hambaNya yang kadang masih buta ini. Semoga kelak kita bisa bertetangga di surga, ya.
Cerpen Karangan: Nadaa Haniyyah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com