Di suatu bukit ada sebatang pohon apel yang baru saja berbuah lebat. Setiap harinya, banyak anak-anak kecil yang bermain di bawah pohon tersebut. Mereka memakan buah apel, berteduh di bawah rindangnya dedaunan, bersender di batang pohon apel yang kokoh itu, juga terkadang mereka membuat mainan dari ranting yang berjatuhan. Tentu saja, semua bagian dari pohon tersebut merasa senang. Namun, ada satu bagian yang merasa terlupakan. Merasa tak berharga, karena tidak pernah diingat oleh para manusia yang bermain bersama mereka. Dialah sang tertua, akar.
“Aku merasa sangat bangga hai batang. Setiap hari, kami para buah apel bisa memberi nutrisi pada anak-anak lewat daging buah apel ini. Mereka pasti bahagia karena kami,” ujar buah apel dengan sombongnya. “Aku juga tak kalah hebat hai buah apel. Tanpa aku, kau tak akan bisa tumbuh dengan tegap jika tidak ditopang oleh kayuku yang besar ini,” jawab batang sambil tak kalah menyombongkan diri. “Hei kau juga harus berterima kasih padaku apel. Aku membantu membuat buah apelmu tumbuh dengan cantik dan lebat,” ucap ranting. “Kalian ribut sekali. Kalian tahu, tanpa aku sebagai daun, kalian pasti akan kering karena sinar matahari. Daunku membantu kita memasak makanan.”
Setiap malam mereka meributkan hal yang sama. Mereka masing-masing menganggap bahwa dirinya yang paling penting. Terus menerus seperti itu. Hingga akhirnya membuat sang akar ikut bicara. “Kalian ribut sekali. Kita ini adalah satu pohon apel. Setiap bagian dari kita penting. Jangan saling menyombongkan kemampuan diri,” ucap sang akar dengan bijaksana. Namun perkataannya justru disambut dengan gelak tawa rekan-rekannya. “Huh kamu tahu apa sih akar. Kamu kan hanya diam di dalam tanah. Kamu tentu tidak bisa melihat saat banyak anak-anak bermain bersama kami. Kamu selalu sendirian di bawah sana,” ujar batang dengan sombongnya “Aduh akar. Sebaiknya kamu jangan sok bijak. Kamu mungkin tidak akan pernah bisa melihat saat anak-anak begitu ceria memakan buahku. Mereka tersenyum karenaku,” sahut apel. “Kamu itu kotor. Siapa pun tidak akan peduli padamu. Jadi jangan ikut campur urusan kami,” ucap daun “Sok ikut campur banget sih,” timpal ranting.
Akar yang lelah mendengar hinaan mereka, memutuskan untuk diam. Dia sangat kecewa pada teman-temannya. Esok harinya, dia memutuskan untuk mengerutkan ujung-ujung akarnya. Sehingga, tidak ada satu tetes air pun yang terserap oleh pohon tersebut.
Satu, dua hari berlalu, pohon tersebut masih biasa saja. Tetapi ketika sudah menjelang tujuh hari, mereka semua panik. Dedaunan yang dulu hijau, perlahan menguning dan berguguran. Buah yang dulu lebat dan ranum, kini kering dan sangat tidak enak rasanya karena kurangnya air. Batang yang dulu kokoh, sekarang mulai lapuk karena kurangnya air. Mereka menjerit “Air… Air… Aku butuh air.” Sementara sang akar sendiri, masih tetap pada pendiriannya. Dia masih mengerut dan tidak mau membuka ujung-ujung akarnya. Meski hujan membasahi mereka, namun tanpa akar yang membantu mengalirkan air ke seluruh anggota pohon, mereka tetap kekeringan dan kehausan.
Akhirnya ketika daun pohon apel hanya tersisa satu, buah apel tinggal satu, ranting hanya tersisa satu, batang telah kesulitan menopang mereka. Mereka semua akhirnya meminta maaf kepada sang akar. “Akar, tolong maafkan kami yang menghinamu dulu. Kami mohon. Kembalilah seperti dulu. Supaya kita bisa tumbuh kembali,” ujar daun “Iya akar, aku minta maaf karena sudah menghinamu. Kamu ternyata bagian dari kami. Kami sudah salah bicara. Maaf… Maafkan kami,” Ujar buah apel “Maafkan kami… Maafkan kami.” Semua anggota pohon tersebut kompak meminta maaf kepada akar.
Sang akar akhirnya terharu terhadap permintaan maaf mereka. Akhirnya dengan sigap, dia membuka kembali ujung akarnya. Perlahan air mulai diserap oleh akar dan dia mengalirkannya ke semua anggota pohon. Berhari-hari kemudian pohon itu tumbuh kembali dan sekarang jauh lebih kokoh dibanding sebelumnya.
“Kalian harus tahu, meski aku tidak terlihat oleh manusia, bukan berarti aku tidak berguna bagi mereka. Setelah kekeringan kemarin kalian akhirnya sadar bukan? Pekerjaanku memang ada di bawah tanah. Namun akulah yang membantu kalian agar kalian tumbuh dengan cantik dan lebat. Dengan air yang aku serap dari dalam tanah, aku membantu mengalirkannya kepada kalian semua. Sehingga kita bisa tumbuh besar dan memberikan kebahagiaan bagi para manusia. Kita ini satu pohon. Jadi jangan merasa satu sama lain lebih penting dan mengabaikan anggota lain.” Sang akar hanya ingin mereka menjadi sadar agar tidak bertengkar lagi. Supaya mereka saling memahami. Mereka masing-masing penting dalam pohon tersebut. Dimana pun mereka berada dan apa pun fungsi mereka.
Sama seperti kita juga, manusia. Terkadang pekerjaan yang kita lakukan dianggap remeh oleh orang lain. Karena dianggap tidak memiliki pengaruh apa pun. Padahal tidak. Meski kecil, kita semua punya peranan masing-masing. Bukan berarti tidak penting. Hanya saja terkadang pekerjaan kita tidak terlihat. Sehingga dianggap sebelah mata. Namun, pekerjaan kita juga sama pentingnya seperti mereka yang bekerja di depan layar.
Cerpen Karangan: Inong Islamiyati Blog / Facebook: Inong Islamiyati Inong Islamiyati. Usia 23 tahun. Suka membaca cerita, menulis dan menonton film. Berharap suatu saat memiliki karya solo. Motto hidup See the world with a different style and finding happiness
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com