Grassy Park, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Sabtu, 26 November pukul 16.30 WIB.
“Kenapa kita ke tempat ini, Kolonel?” tanyaku. “Kita bakal ketemu sama orang dari STAR Jakarta di sini,” jawabnya.
Kami pun memasuki kawasan taman tersebut. Angin sore langsung menyambut kami. Anak-anak sedang bermain bersama, sedangkan para orang tua sedang bersenda gurau. Kami menyusuri taman tersebut sampai akhirnya kami menemukan seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman.
Wanita tersebut memakai sweater turtleneck berwarna abu-abu dan celana panjang berwarna coklat. Dia memegang tongkat jalan serta kedua matanya diperban. Ketika kami menghampirinya, dia langsung menoleh ke arah kami.
“Sasagi, kenapa lama sekali?” tanya wanita tersebut. “Macet, Ris. Masa lu udah tinggal lama di sini ngga tahu.” Wanita itu menoleh padaku. “Siapa namamu, Anak Muda?” “Arnold Yesman, Bu.” “Kamu cukup sopan untuk ukuran orang kaya. Perkenalkan, saya Riska.” “Jadi, lu udah tahu belum apa yang bakal kita lakuin hari ini?” tanya kolonel. “Kita mau menjaga anak pejabat kan? Tuh, tempatnya persis di depan,” jawab Bu Riska sambil menunjuk ke arah suatu gedung. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. “Maaf kalau saya lancang, apa Ibu benar-benar buta?” “Seperti yang Sasagi sudah bilang, saya sudah lama tinggal di sini. Jadi, wajar saja kalau saya hapal tata letak kota ini,” jawabnya tanpa terasa tersinggung. “Baiklah kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita laksanakan misi kita,” ucapku semangat.
Maddie Hotel, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Sabtu, 26 November pukul 17.15 WIB.
“Udah siap, bro?” Suara itu terdengar jelas di telingaku. “Tidak usah ditanya lagi, saya lebih dari siap,” ucapku.
Setelah berkata demikian, pintu lift pun terbuka. Musik disko yang memekakkan telinga langsung terdengar. Banyak anak muda yang menari berpasangan. Aku memastikan kedua pisauku ada di di belakang tubuhku lalu berjalan ke arah bar yang letaknya tak jauh dari lift. Selagi aku menegak minumanku, aku mendengar suaranya. “Udah lama ngga ketemu, Arnold.”
Aku hampir tersedak minumku sendiri. “Euterpe? Ngapain lu di sini?” “Gua diundang sama Celestia ke sini buat manggung.” “Kalian teman deket?” “Ngga sih, dia cuma nge-fans sama gua.” Dia meminum sebotol air putih. “Jadi, kenapa lu bisa ada di sini?” Aku tidak bisa memberitahu alasan yang sesungguhnya. “Gua lagi bosen aja di rumah.” “Ya udah, gua harus siap-siap buat manggung nanti. Enjoy the night, Arnold.”
Bagi kalian yang pikirannya entah ke mana, biar kuberitahu satu hal yang penting. Aku dan Euterpe tidak mempunyai hubungan khusus. Singkatnya, Euterpe-nama lengkapnya Euterpe Symphony-adalah teman sekelasku ketika aku bersekolah di Australia. Dia memiliki suara yang sangat bagus, sehingga dia menjadi sangat terkenal di sekolah. Akhirnya Euterpe memutuskan untuk menjadi seorang penyanyi. Karya-karyanya diminati banyak orang, termasuk aku.
Setelah dia pergi, tiba-tiba aku mendengar Genesis berkata, “Arnold, mereka udah datang. Arah pukul 2.” “Gua lihat mereka. Kolonel, apa kau bisa melihat mereka?” tanyaku. “Ya, bro. Gua lihat mereka. Bawa mereka jauh dari tempat itu, Arnold,” jawabnya.
Aku langsung menghabiskan minumanku lalu meninggalkan selembar uang 50.000 di sebelah gelas minumanku. Aku mencoba semaksimal mungkin untuk menyusup ke arah mereka berdua. Setelah berhasil berada di belakang mereka, aku langsung memindahkan mereka ke sebuah lahan kosong yang cukup gelap.
“Ngga bakal gua biarin kalian nyulik Celestia.” Mereka langsung menjauh dariku. “Arnold Yesman. Senang bisa berjumpa,” ucap Skolastika. “Bos kalian yang cerita tentang gua?” “Ya, dia cerita semua tentang lu,” kata Pietro. “Kalau begitu, gua ngga usah khawatir lagi.” Aku mengeluarkan kedua pisauku.
Sebelum kami bertarung, tubuh Skolastika tiba tiba mematung lalu jatuh ke tanah. Pietro yang berniat menolong Skolastika ditodong tongkat. Dari kegelapan, muncullah Ibu Riska. Masih menodong tongkatnya, dia berjalan ke arah Skolastika lalu menginjak badannya.
“Kalian benar-benar susah ditangkap, terutama bos kalian. Kalian sudah membuat semua aparat pusing dengan kelakuan kalian, termasuk kakakku,” ucapnya.
Setelah dia berkata demikian, tiba-tiba Pietro menghilang dalam sekejap, meninggalkan kami bertiga di lahan kosong ini. Aku langsung melaporkan hal ini kepada kolonel. Di dalam kebingungan ini, aku harus bertindak cepat karena saat ini keselamatan Celestia sedang dipertaruhkan. Percuma saja menanyakan hal ini kepada Skolastika. Jadi, aku mengambil inisiatif untuk menyusuri tempat ini untuk mencari petunjuk hingga aku melihat sebuah pohon yang letaknya tak jauh dari posisi kami bertiga. Pohon ini menarik perhatianku karena batangnya berlubang seperti habis ditusuk benda tajam.
“Arnold, CCTV lalu lintas menangkap sesosok yang melesat dalam kecepatan tinggi,” ucap Genesis. “Kemana arahnya?” tanyaku. “Ngga tahu, dia cuma muter muter aja.” Apa? “Ok, makasih infonya.” Aku menoleh ke arah Ibu Riska. “Bu, saya harus kembali ke Maddie Hotel. Kemungkinan besar dia akan kembali ke situ untuk menculik Celestia.” “Baiklah, Arnold. Saya akan tetap di sini, menjaga anak ini.”
Aku langsung berteleportasi ke dalam salah satu lift hotel tersebut. Tak disangka, kolonel berada di sebelahku, bersandar pada dinding lift. “Lama juga nyadarnya, Arnold.” “Itu juga karena dikasih tahu Gen.” “Ok, gini rencananya. Lu siaga di dekat Celestia, biar gua yang bekuk Pietro.”
Sesampainya kami di lantai paling atas, aku langsung mencari keberadaan Celestia. Cepat tapi tidak menarik perhatian, aku masuk ke dalam kerumunan orang yang sedang menari. Akhirnya aku menemukan Celestia sedang berbicara dengan seorang laki-laki di balkon hotel. Ketika aku sedang mencari tempat yang bagus untuk memantau Celestia, tiba-tiba kami semua dikejutkan dengan suara teriakan perempuan. Bukan hanya itu masalahnya, Celestia menghilang.
“Gen, sosok yang tadi muter-muter di jalan sempat ada di sini ngga?” “Ya, dia baru aja lari ke tangga darurat.”
Sontak, aku langsung berlari ke tangga darurat lalu berteleportasi ke lantai paling bawah. Aku membuka pintu tangga darurat dan mendapati Pietro sudah pergi, membawa Celestia. Dengan rasa kesal, aku pun kembali ke tempat pesta. Kepanikan sudah menguasai tempat ini. Aku mendekati kolonel yang sedang memberikan pertolongan pertama kepada seorang laki-laki.
“Dia keracunan. Gua udah ngehubungi rumah sakit terdekat,” ucapnya. “Kenapa dia bisa keracunan?” “Kemungkinan besar karena ini.” Kolonel menunjukkan sebuah jarum kecil. “Gua nemu ini di lehernya.” “Ada apa ini, Arnold?” Euterpe datang menghampiriku. “Dia keracunan. Ada orang yang nusukin jarum beracun ke lehernya.” “Maaf menganggu kalian, tapi saya kehilangan Skolastika. Dia dibawa pergi oleh Pietro,” ucap Ibu Riska lewat radio.
Sialan! umpatku di dalam hati. Kami gagal menjalani misi ini. Celestia diculik, seorang laki-laki keracunan. Akhirnya paramedis datang membawa laki-laki ini ke rumah sakit. Di luar hotel, aku dan kolonel memandang ambulans itu pergi. Ibu Riska menghampiri kami di luar hotel.
“Seperti yang saya bilang, Arnold. Kelakuan mereka membuat kami semua pusing,” kata Ibu Riska. “Kita bakal selamatin Celestia. Gua janji,” ujar kolonel.
Persiapkan diri kalian, Skolastika dan Pietro. Kami akan datang menghajar kalian.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com