Pasar Union, Dawn Residence. Sabtu, 26 November pukul 12.00 WIB.
Aku berlari melewati beberapa toko sebelum akhirnya aku sampai di tempat ibuku biasa berjualan. Di sana, ibuku dan adikku sedang membereskan barang dagangan. Ternyata di sana juga ada Markus, sahabatku. Melihat kehadiranku, ibuku langsung memarahiku karena aku tak kunjung datang untuk membantunya. Ia berterima kasih kepada Markus karena sudah membantu mereka. Sontak, aku langsung meminta maaf kepada Markus karena sudah merepotkannya.
“Santai aja, bro. Kebetulan aja gua lagi lewat sini,” ucapnya. “Gua traktir lu gado-gado di sebelah pasar aja gimana?” tanyaku. “Kebetulan banget, gua lagi laper. Kapan lagi gua ditraktir Johan?” Markus berpaling kepada ibuku. “Ibu, saya pergi dulu ya.” “Iya, Nak Markus. Terima kasih sudah mau membantu kami,” ucap ibuku.
Kami pun pergi ke gerobak gado-gado yang berada di sebelah pasar. Setelah memesan, kami duduk di kursi plastik. Sambil menunggu, Markus bertanya, “Jadi, kenapa lu baru datang sekarang?” “Gua ketemu sama Inspektur Linda.” Markus tampak terkejut. “Lu ada masalah apa sampai harus ketemu sama Inspektur Linda?” “Katanya dia perlu bantuan gua, makanya gua bantu dia dulu.” “Bantu apa?” “Gua ngga bisa ngasih tahu lu.”
Sepertinya Markus masih ingin menggali informasi dariku. Namun, abang penjual gado-gado datang kepada kami dengan membawa 2 piring gado-gado. “Ini makanannya, Dek.” Kami menyantap gado-gado yang tersaji di depan kami dengan lahap.
Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat. Sabtu, 26 November pukul 16.00 WIB.
“Kita sudah sampai,” ucap Inspektur Linda sesudah ia memarkir mobilnya. Aku keluar dari mobil. “Penjagaannya memang seketat ini?” ucapku sambil melihat ke arah para bodyguard yang sedang berjaga di sekitar taman. “Begitulah. Ayo kita masuk.”
Sebelum masuk ke dalam istana, kami masing-masing diperiksa oleh salah satu bodyguard yang menjaga pintu depan. Seperti dugaanku, bodyguard yang memeriksaku langsung mengalihkan perhatiannya ke lengan kiriku. Aku buru-buru menjawab, “Hanya kecelakaan kecil kok. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Akhirnya kami masuk ke dalam istana. Gila! Luas banget ruangannya. Kami berdiri di ruang tamu yang dipenuhi dengan barang-barang mewah, kursi-kursi yang menghadap televisi, serta rak-rak yang berisi buku. Dari lantai atas, turunlah seorang perempuan.
“Selamat sore, Inspektur Linda dan …” Ekspresi wajahnya berubah ketika melihatku. “Kak Faizal!” Dia berlari kepadaku lalu memelukku. Aku membalas pelukannya. “Hey, Ana. Udah lama ngga ketemu.” Giana melepas pelukannya. “Jadi, kalian yang dikirim untuk menjagaku?” “Benar, Giana. Kalau kamu mengizinkan, kami akan menggunakan ruang tamu ini untuk berdiskusi tentang rencana kami.” ucap Inspektur Linda. “Silakan, Inspektur. Saya tidak keberatan. Kalau begitu, saya permisi dulu,” kata Giana.
Setelah Giana pergi, kami langsung duduk di kursi masing-masing, “Jadi, Faizal, hah?” “Nama kakekku. Bapakku yang menyelipkan nama itu.” “Siapa lagi yang tahu ini?” “Hanya Markus dan Giana.”
Tiba-tiba, datanglah seorang pelayan membawa 2 gelas teh. “Giana menyuruhku untuk memberikan minuman ini untuk kalian. Silakan dinikmati.” “Terima kasih,” ucapku sambil menerima segelas teh yang diberikan.
“Rencana kita untuk malam ini simpel, kau berjaga di dekat Giana, sementara aku berjaga di depan istana. Ada pertanyaan?” “Apakah kita sudah mengetahui siapa dari antara kelima orang itu yang akan menculik Giana?” “Belum, tapi menurutku Akaru Darius yang akan menculik Giana.”
Matilah aku. Seorang pembunuh kelas atas yang menguasai 3 elemen alam sekaligus akan menyerang istana ini. Meskipun aku baru bisa membaca pikiran dan “mendapat penglihatan”, aku tidak akan sanggup melawannya. Semoga saja aku tidak bertemu dengannya.
“Kau tahu.” Inspektur Linda menyesap tehnya. “Aku sadar kalau kamu membaca pikiranku ketika rapat tadi. Kamu mempunyai potensi yang sangat bagus untuk ke depannya. Jangan menyia-nyiakan potensi itu.”
Mendengar itu, aku menjadi sedikit tenang. 1 jam kemudian, aku melakukan tugasku, bersiaga di dekat Giana. Kulihat beberapa bodyguard berlalu-lalang di koridor sebelah. Aku baru saja ingin mengambil kursi untuk duduk ketika Giana tiba-tiba memanggilku.
“Ada apa, Ana?” jawabku. “Aku perlu bantuan Kakak dalam mengerjakan PR-ku,” ucapnya. “Tentu saja.” Aku memasuki kamarnya. “Permisi.”
Kamarnya hampir sama dengan ruang tamu, hanya saja ada sebuah boneka beruang besar yang duduk di atas kursi di sebelah kasur. Aku menghampiri Giana yang sekarang sedang duduk di meja belajar, mengamati PR-nya.
“Jadi, apa yang bisa Kakak bantu?” “Ini, nomor 2 sama nomor 8.” “Coba kulihat.”
Aku hendak memikirkan jawaban atas soal-soal ini ketika Inspektur Linda tiba-tiba memberitahuku kalau ada tembok es yang muncul menutupi seluruh istana. Sontak, aku langsung melihat keluar jendela dan benar saja, tembok es itu sudah menutupi seluruh istana. Pintu kamar terbuka dan sejumlah bodyguard memerintahkan kami berdua untuk pergi bersama mereka ke bunker.
Kami pun berlari menyusuri koridor hingga kami dikejutkan dengan seorang pria memakai setelan jas berwarna biru tua. Dia memegang pedang katana di tangan kanannya. Kami semua langsung berhenti di tempat.
“Akaru Darius, jatuhkan senjatamu dan angkat tangan,” kata salah seorang bodyguard. “Aku tidak bisa melakukan itu. Aku punya urusan dengan gadis kecil itu. Serahkan dia padaku.” “Menyeralah, Akaru, kalau tidak kami akan menembak.”
Akaru tetap bergeming lalu menyentrum semua bodyguard. Semuanya langsung terkapar di lantai. “Lari ke bunker, Ana. Kakak akan melawan orang ini,” ucapku. “Tapi Ka–” “Cepat!”
Tanpa pikir panjang lagi, Giana langsung berlari menjauhi kami. Ok, Johannes Mulyadi, kamu harus tenang kalau menghadapi orang seperti ini. Aku mengambil kuda-kuda lalu Akaru menyarungkan katana-nya.
“Tidaklah adil kalau aku menggunakan pedang ini untuk melawanmu,” ujarnya.
Akan kubuat kau menyesal telah mengatakan hal itu, pikirku. Aku bisa membaca semua pergerakanmu. Kami langsung maju menyerang satu sama lain. Gerakannya boleh juga, pikirku sambil menahan pukulannya. Setelah itu, aku menendang kepalanya dengan kaki kiri. Meskipun dia menahan tendanganku, dia tetap terlempar sedikit ke arah tembok. Aku berniat memberinya pukulan sebelum perutku ditendang olehnya.
Kenapa aku tidak menyadarinya? Aku harus fokus membaca pikirannya seperti aku pernah melakukannya pada Inspektur Linda. Sedikit demi sedikit, aku bisa mendengar suara pikirannya. Semakin lama semakin jelas. Aku mendengar pikirannya berkata, Aku akan membekukannya. Terlambat bagiku untuk menghindar karena Akaru sudah menempelkan tangannya pada badanku.
Seketika itu juga, aku merasakan dingin yang amat sangat. Tubuhku tidak bisa digerakkan. Aku hanya bisa pasrah ketika es ini mulai menutupi tubuhku. “Aku mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada ini, The Chosen Star,” ucap Akaru, meninggalkanku membeku perlahan.
Sepeninggal Akaru, aku hanya bisa memaki diriku sendiri karena tidak bisa menggunakan potensiku dengan baik. Aku juga tidak bisa melindungi Giana. Maafkan aku karena telah mengecewakan kalian.
Cerpen Karangan: A. Raymond S. Facebook: facebook.com/andreas.soewito
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com