Semua keluargaku menjabat tanganku dan memelukku dengan erat sembari mengucapkan selamat kepadaku yang berdiri mematung tidak tahu harus senang atau tidak. Ibu kemudian membawakan baju toga dan kemudian memakaiannya kepadaku. “Gagahnya anakku, Ayo kita berangkat sekarang.” Ucap Ibu.
Aku hanya diam di dalam mobil, berusaha mencerna apa yang terjadi kepadaku. Bagaimana jika di sekolah suasananya seperti biasa dan tidak ada acara kelulusan, mungkin kami akan malu. Tapi dibalik itu semua, aku penasaran apakah memang benar ini adalah hari kelulusanku.
Mobil tiba-tiba berhenti padahal belum sampai di sekolah. “Tumben jalan disini macet.” Gumamku. Aku membuka jendela dan melihat apa yang menyebabkan kemacetan. Pak muklis, Satpam sekolah datang menghampiriku. “Fer, lebih baik jalan saja. Parkirnya di lapangan depan saja, di dalam sudah penuh.” Kata Pak Muklis sambil menunggu kami keluar.
Aku pun segera keluar diikuti oleh kedua orangtuaku. Benar saja. Murid lain terlihat memakai baju Toga didampingi para orangtua masing-masing memasuki gerbang sekolah. Di gerbang sekolah terdapat spanduk bertuliskan: “PELEPASAN SISWA XII SMA CAHAYA HARAPAN” Lompatan waktu kembali terjadi dan kali ini aku “tiba” disaat aku telah lulus sekolah.
Lapangan Upacara diubah menjadi panggung besar. Sudah banyak orang yang datang disini. Terlihat Joni melambaikan tangan kepadaku, dan aku pun menghampirinya. Kedua orangtuaku dibimbing Pak Muklis untuk menempati kursi tamu yang telah disediakan.
“Akhirnya kita lulus Fer!!” Ucap Joni riang. “Hehe iya..” Aku berusaha tersenyum meskipun sebenarnya sangat kebingungan dengan kondisi sekarang. “Ayolah, masa kamu tidak senang kita lulus.” Celetuk Joni.
Aku senang aku bisa lulus, tapi tidak dengan lompatan waktu seperti ini, terasa janggal. Ingin rasanya aku tersadar dan menegtahui bahwa ini semua hanyalah mimpi. Tapi ketika aku memejamkan mata dan membukanya, aku tetap berada disini. Sudahlah mungkin ada baiknya juga aku melewatkan semua pelajaran yang membosankan dan langsung lulus.
Ibu Sri datang menghampiri kami dan menyalamiku dan Joni. “Selamat ya, kalian akhirya lulus. Awas loh, nanti kalian harus belajar yang serius saat kuliah.” Kata Ibu Sri sambil meninggalkan kami dan duduk di kursi guru-guru yang disediakan. Teman-teman lain pun berkumpul dan mereka terlihat sangat gembira. Aku hanya diam saja ditengah kemeriahan acara ini. Aku teringat bahwa semua ini terjadi ketika aku melihat sosok misterius itu.
“Eh, aku pergi dulu ya?” Aku meninggalkan Joni dan yang lainnya. “Mau kemana?” Tanya Joni. “Sebentar…, Toilet.” Aku kemudian pergi.
Aku tiba di ruang kelasku dan melihat ke dalam, tidak ada orang. Ruangan itu kosong. Aku sedikit menyesal melihat ruangan ini tidak meninggalkan banyak kenangan bagiku. Kemudian aku melihat ke arah jendela, tidak ada apa-apa. Sosok itu tidak muncul lagi.
Aku kemudian pergi ke samping kelas untuk melihat tepat dimana sosok itu berdiri. Tidak ada siapa pun disana. Hanya tiupan angin kecil yang menyapu wajahku. Aku memutuskan untuk kembali ke lapangan upacara.
Acara kelulusan pun dimulai dengan khidmat. Aku duduk di antara Joni dan Dinda, mereka terlihat senang. Acara demi acara pun silih berganti dan akhirnya tiba pada acara ucapan perpisahan dari lulusan terbaik. Aku penasaran, siapa yang menjadi siswa terbaiknya.
Dinda mencolekku. “Semangat ya!” Bisiknya. Aku hanya mengerutkan dahi. Dinda hanya tersenyum. “KEPADA ANANDA FERI ZAIDAN, silahkan naik ke panggung!” Sekujur tubuhku tiba-tiba gemetar dan merinding, badanku dingin dan keringat mulai membasahi keningku. Sorakkan dan tepuk tangan hadirin disana membuatku diam mematung. MC-nya menganggukkan kepalanya sambil melihat ke arahku. “Ayo Fer, Kamu pasti bisa.” Kata Joni menyemangatiku.
Dengan langkah lemas aku berjalan pelan-pelan sambil memikirkan apa yang harus aku katakan di depan. Jangankan mendadak seperti ini, jika aku harus menghapal teks pun aku tidak biasa untuk berbicara di depan banyak orang. Lagipula, aku tidak tahu kenapa aku yang jadi murid terbaiknya.
Aku menengok ke arah orangtuaku. Kedua orangtuaku menatapku dengan bangga dan tersenyum. Mereka hanya mengangguk kepadaku dan bertepuk tangan seperti yang lainnya.
Aku kemudian naik ke atas panggung, langkah kakiku semakin berat. Aku kemudian berjalan mendekati microphone dan melihat semua mata tertuju kepadaku. Aku berusaha tenang dan memegang mic untuk mengalihkan perhatian. Untung saja mic itu menggunakan tiang, jadi aku tidak perlu memegangnya. Apa yang harus aku katakan? Andai saja aku bisa melewati ini. “Pejamkan matamu dan pikirkan keinginanmu.” Suara bisikan itu terdengar kembali. Di kejauhan terlihat sosok misterius itu menatapku tajam dan mengangguk pelan. Benar juga, jika seperti ini, aku akan bisa melewatinya. Tapi, apa yang harus aku pikirkan sekarang? Keinginan apa ang harus aku pikirkan? Aku harus berpikir cepat, tidak mungkin aku terlalu lama memejamkan mata di depan semua orang seperti ini.
Aku berusaha meghela nafas dan kemudian aku memejamkan mata. Fokus, fokus. Aku ingin kuliah.. ah tidak, akan ada banyak materi kuliah yang tidak aku mengerti. Lagipula, jika aku “tiba” saat presentasi, aku akan kewalahan. Menikah? Jangan! Aduh, aku harus memikirkan apa? “Ayolah otak. Berpikirlah. Ayo… Fokus…”
Iya, itu dia! Aku memikirkan sedang berada di ruangan pribadiku menjadi seorang pemimpin sebuah perusahaan milikku. Aku kemudian menjulurkan kedua tanganku berusaha untuk memegang mic agar tidak terlihat mematung di atas panggung. Eh, sepertinya mic-nya menghilang. Aku membuka mata dan ternyata aku sudah berada di sebuah ruangan degan dekorasi mewah sendirian. Di depanku hanya ada meja dan kursi kosong yang menghadap ke arahku. Kemudian di ujung ruangan ada sebuah pintu yang tertutup rapat.
“Aku dimana? Kenapa aku ada di ruangan ini? Apakah sekarang aku…” Di atas meja terdapat sebuah papan nama. Ketika dibalik aku membaca tulisan: DIREKTUR UTAMA – FERI ZAIDAN Aku menjadi direktur? Ini terjadi lagi. Aku merasa senang melihat posisiku sekarang. Yang jelas mulai dari sekarang aku akan berusaha semampuku untuk menjalankan tugasku. Aku sudah menjadi pemimpin perusahaan.
Tiba-tiba pintu dibuka dengan kencang dan seorang perempuan menghampiriku. Dia memegang dadanya sambil berusaha mengatur nafasnya. “Pak Feri.. haah..hah… Sayang… Gawat!! Orang-orang sudah berkumpul diluar. Aku yakin para Security tidak akan bisa menahan lama massa yang sudah berkumpul di bawah sana.” “Dinda? Kenapa kamu panggil aku sayang?” Tanyaku keheranan. “Iya, memangnya kenapa? Di ruang ini tidak ada siapa-siapa.” Jawabnya. Dinda jadi pacarku? Atau istri? Tapi, kenapa wajahnya begitu pucat dan panik? “Memangnya aku melakukan apa?” Aku semakin bingung. “Sudahlah, lihat saja beritanya di TV. Aku pergi duluan, kamu pasti tahu aku ada dimana.” Dinda kemudian berlari keluar meninggalkanku.
Aku melihat keluar. Di bawah, kerumunan orang sedang berusaha menerobos pagar gedung ini. Beberapa dari mereka ada yang membakar sesuatu di jalanan. Memangnya hal buruk apa yang aku lakukan pada mereka sampai mereka bertindak anarkis seperti itu?
Aku mencari menyalakan TV. Sebuah siaran langsung sedang mengambil kejadian yang terjadi di luar. Nampak tajuk beritanya tertulis “Massa menuntut Feri untuk meyerahkan diri karena kasus Korupsi perusahaannya.” Aku panik dan segera mematikan TV.
Aku pergi keluar dari ruanganku. Semua tampak berantakan. Ruangan di lantai ini sangat gelap, elevator tidak menyala. Semua orang nampaknya sudah pergi. Aku harus mencari tangga darurat. Aku sepertinya harus pergi ke lantai atas. Tidak mungkin untuk pergi kebawah di situasi kacau seperti ini. Tapi, kemana Dinda pergi? Aku bahkan tidak tahu ruang mana yang ia maksud.
Aku kemudian pergi menyusuri tangga hingga sampai di bubungan atap gedung ini. Aku membuka pintu dan melihat di ujung jauh ada sosok misterius yang sedang menatapku. Dia kemudian tersenyum kepadaku. “Lihatlah! Di bawah sana manusia-manusia itu sedang meminta tanggung jawabmu.” Ucapnya. “Memangnya apa yang telah aku lakukan? Aku tidak melakukan apa-apa?” Tanyaku sambil menghampirinya. “Bukankah ini semua keinginanmu? Aku hanya mengabulkannya.” Jawabnya. “Tapi bukan ini yang aku inginkan, aku tidak menginginkan masa depan seperti ini!” “KAMU INGIN MENDAPATKAN MASA DEPAN SEKEJAP MATA!” Teriaknya. “Kamu punya pilihan, tapi kamu memilih jalan yang tidak kamu ketahui resikonya.” Ucap sosok misterius itu sambil mengarahkan sebelah kakinya hingga melayang di ujung gedung ini. “Every choice has it’s own risk.” lanjutnya.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Sosok itu hanya melihat ke bawah dari gedung ini dan tersenyum. “Pejamkanah matamu dan pikirkan keinginanmu.’ Ucapnya. “Kali ini, pikirkanlah baik-baik.” Lanjutnya.
Sosok itu menghilang seperti hembusan angin. Dari arah pintu nampak suara gaduh dan kemudian pintu dibuka oleh seseorang. Mereka sudah menemukanku. Aku mundur sedikit demi sedikit hingga tumitku mengenai sudut dari gedung ini. Aku melihat ke belakang dan ngeri melihat posisiku yang cukup tinggi dari atas sini. Salah seorang kemudian berteriak “ITU DIA!!! KITA MENEMUKANNYA!!!” Beberapa orang lainnya mulai berdatangan dan sekarang mereka sudah mengepungku. Aku sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Entah apa yang harus aku lakukan.
‘Pejamkanlah matamu.” Suara itu terdengar lagi. Apakah aku harus menggunakannya lagi? Setelah semua kekacauan yang terjadi sekarang ini? Sekelompok orang itu makin mendekat. Tatapan wajah mereka diselimuti rasa amarah. Mereka tersenyum menyeringai seperti kawanan makhluk buas yang menemukan mangsanya yang sudah terpojok.
Aku berusaha mundur selangkah ke belakang dan kaki belakangku hanya berpijak pada angin. Tubuhku tertarik ke belakang, aku terjatuh dan melayang terjun ke bawah. Orang-orang kaget melihatku terjun dari gedung ini dan mereka berlari dan berusaha meraihku. Mereka hanya bisa melihatku terjun ke bawah dengan tatapan ngeri.
Aku memejamkan mataku. Mungkin inilah yang harus aku lakukan sekarang. Aku tidak ingin melompati waktu lagi. Lagipula, akhir macam apa yang akan aku dapatkan dengan kondisi seperti sekarang. Mungkin ini adalah yang harus aku lakukan. Agar semuanya kembali seperti semula.
“Fer… Feri… Bangun!” “PLAK!!” Aku terperanjat dan bangun ketika kepalaku terasa sakit karena dipukul oleh sesuatu.
“Aku memicingkan mata dan melihat sesosok asing dengan baju hitam yang berada tepat di hadapanku. Ketika aku melihat ke atas untuk mengetahui wajahnya, nampak wajah marah Ibu Sri yang sedang memelototiku. “KERTAS MASIH KOSONG KOK KAMU MALAH TIDUR!” “CUCI MUKA SANA!”
Aku kebingungan melihat semua temanku yang menertawakanku. Aku ikut tersenyum, aku lega bahwa aku bisa kembali melihat semua temanku. Mungkin nilai ujianku sekarang hasilnya buruk, tapi tidak untuk ujian selanjutnya. Aku punya pilihan dan aku akan berusaha memilih yang terbaik.
Cerpen Karangan: Zed Blog: catatanzed.blogspot.com Penulis biasa-biasa saja.