Dunia ini begitu luas, begitu banyak dimensi yang terkadang tak bisa kau lihat dengan kedua matamu. Dimensi yang telah ada jauh sebelum kita, ataupun dimensi yang kelak akan datang setelah kita.
“Zuya, kau mendengarkanku?” Panggilan itu membangunkanku dari lamunan yang begitu mengasyikan ini. “Sepertinya akhir-akhir ini kau tak fokus, apa kau sedang tidak sehat?” Ya, aku memang sulit untuk memusatkan pikiranku akhir-akhir ini. “Zuya, sepertinya kau harus ke rumah sakit” “Tidak paman, aku hanya kelelahan saja. Bolehkan aku pulang lebih awal hari ini?” “Baiklah, tuan Rean akan mengantarmu” “Tidak paman, aku bisa pulang sendiri. Aku permisi dulu” aku pergi, meninggalkan paman Hakamura di ruangan tempat ia mengajarkanku.
Kubawa laju van-ku melewati tempat dimana aku selalu melihat laki-laki itu. Laki-laki yang setiap kali aku melihatnya, ia juga melihatku. Laki-laki yang selalu mengenakan seragam sekolah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Lampu merah membuatku dapat melihatnya dalam waktu yang cukup lama. Ya, ia juga terus menatapku tanpa berkedip sedikitpun.
Tinn… tinn… Ah, bunyi klakson itu kembali menyadarkan bahwa 75 detikku sudah habis. Aku kembali mengendarai van-ku, dengan kecepatan sedang hingga tak butuh waktu lama aku sampai di rumah.
“Who is he?” Ah, aku tak bisa menghilangkan wajah pria itu dari otakku. siapa sebenarnya dia dan apa yang ia lakukan di persimpangan itu. Jika menunggu bus, itu bukanlah tempat pemberhentian. Entahlan. kucoba untuk tak berlama lama memikirkannya. Kubaringkan tubuhkan di ranjang king-size yang kududuki ini. tak butuh waktu lama, aku benar-benar melupakan apa yang sedang kupikirkan, tergantikan dengan kelelapan yang menemani tidurku malam ini
—
“Zuya, apa yang kau lihat?” Lagi-lagi seseorang menyadarkanku dari lamunanku. “No, hanya saja ada sesuatu yang begitu mengusikku” “What is that, can you tell me?” Tuan Rean kembali mencoba mengakrabkan dirinya padaku. “I can’t!” Jawabku dengan nada ketus. “Baiklah, tuan Hakamura tidak ada disini, ia melakukan perjalanan bisnis keluar kota dan akan kembali minggu depan” “baguslah…” “Hhee?” Gumam tuan Rean yang tak mengerti apa maksudku. “Kau tak mengambil cuti, aku akan memberimu cuti selama paman Hakamura tak masuk” tuan Rean tak menjawab. Ia hanya terus membawa mobil dengan kecepatan standar, mengantarkanku pulang. “Kau tak akan cuti?” tanyaku kembali padanya. “hanya Tuan Hakamura yang berhak menentukan apa aku bisa cuti atau tidak” aku menyerah. Aku tak akan pernah menang jika memulai perdebatan dengannya. “Okay, what ever” kusandarkan punggungku pada sandaran kursi di mobil yang kunaiki ini. Lampu merah kembali membuat semua kendaraan berhenti. Tepat di persimpangan ini, persimpangan yang kembali membuatku melihat laki-laki dengan pakaian sekolah khasnya itu.
“tuan Rean, apa ada sekolah di dekat persimpangan ini?” “Ya, dulu ada sebuah sekolahan yang tak jauh dari persimpangan itu, tapi sekolah itu ditutup dan kemungkinan tak akan dibuka lagi” “aku tak pernah mendengarnya, kenapa sekolah itu bisa sampai ditutup?” “Entahlah, aku tak tahu persis penyebabnya. Yang kudengar pengurus sekolah itu melakukan hal-hal yang tak senonoh kepada muridnya” aku mulai penasaran, disertai rambut-rambut halus di sekitar tengkukku yang mulai menyerubung mendengar perkataan tuan Rean. “Hal-hal yang tak senonoh?” “Sebaiknya kau tak perlu tahu hal itu, lagi pula kasus itu sudah lama ditutup” “Aa…” aku mengangguk, berusaha untuk menuruti perkataan pria yang sudah berkepala tiga yang mengemudikan mobil ini.
Seminggu ini aku akan sampai di rumah lebih awal, selain paman Hakamura yang sedang keluar kota, juga dikarenakan musim dingin yang mengharuskan setiap sekolah mempercepat kepulangan para siswa-siswinya lebih cepat satu jam dari biasanya.
“Arigato, tuan Rean” ucapku padanya yang telah mengantarkanku sampai kerumah dengan selamat. “Jika kau butuh sesuatu, kau bisa menghubungiku” aku hanya menggangguk paham atas perkataannya. “Baiklah, aku permisi dulu” tuan Rean berlalu, hingga tak lagi tampak cahaya lampu belakang dari mobil yang ia bawa.
Aku masuk, membersihkan diriku dan berbaring di kamar sembari memainkan ponsel dan notebookku. Aku mencari tahu tentang hal yang tuan Rean katakan padaku mengenai sekolah di persimpangan lampu merah itu. Sebuah sekolah yayasan yang cukup terkenal dimasanya, bahkan pernah mendapatkan predikat sekolah terbaik selama sepuluh tahun berturut-turut. Tapi, tiga tahun sebelum sekolah itu ditutup, perlahan lahan predikat sekolah itu hilang, digantikan menjadi sekolah terburuk. “What happend?” gumamku penuh rasa penasaran. Kembali kubaca beberapa artikel yang membahas tentang sekolah itu, namun tak ada satu situspun yang membahas apa yang sebenarnya membuat sekolah itu pada akhirnya menjadi sekolah terburuk.
Rasa penasaranku mengalahkan semuanya. Kuambil mantelku serta kunci mobil. kukendarai van-ku menuju persimpangan tempat sekolah yang pernah mendapatkan predikat sekolah terbaik itu. Bangunan yang mulai kumuh menjadi pandangan pertama yang kulihat dari sebuah sekolah yang berada tepat di depanku saat ini. Aku tak tahu pasti apa yang kulihat saat ini, namun yang pasti sekolah ini menyimpan sebuah misteri dan aku, aku sangat ingin memecahkannya.
“Kau mencariku?” Suara itu, suara itu bagitu asing di telingaku. Suara itu tak seperti suara suara yang kudengar seperti biasanya. Tetapi suara itu, terdengar begitu dingin melebihi dinginnya suhu di malam musim dingin ini. Aku mencoba mengacuhkan apa yang kudengar dan melangkah untuk masuk ke dalam mobil. “Aku tahu kau bisa mendengarkanku, tapi aku tak tahu apa kau bisa melihatku atau tidak” dugaanku benar, suara itu berasal dari dimensi yang berbeda. Aku mulai kehilangan akal sehatku saat ini, aku tak percaya akan apa yang baru saja kudengar.
Kupercepat langkahku setelah beberapa saat aku dengan bodohnya berhenti dan mendengarkan perkataan yang tak kuketahui siapa yang mengucapkannya. Akupun masuk ke dalam mobil dan dengan sedikit rasa cemas kuhidupkan mobil yang kunaiki ini. “Aku sangat yakin, kau bisa mendengarku” suara itu kian dekat, terdengar tepat di telinga kananku. Aku berusaha untuk tetap tenang, dengan rasa penasaran sekaligus ketakutan yang begitu mengusikku. “Kau tak perlu takut, aku tak akan menyakitimu” kutarik dan kuhembuskan napas panjang berharap hal itu dapat menenangkanku. “kau bisa melihatku?” “Tidak, aku tak bisa melihatmu, aku hanya bisa mendengar suaramu” Aku berbohong, aku bisa medengar sekaligus melihat siapa yang duduk di sampingku saat ini. “Benarkah?” ia mencoba mengujiku dengan mendekatkan wajahnya pada wajahku hingga nyaris tak berjarak sedikitpun. Aku menyadari semuanya, bahwa yang bersamaku saat ini bukanlah lagi manusia, melainkan seorang pria yang masih tersesat di dunia manusia.
“Aku bisa melihatmu dengan jelas” kali ini ia menguji kesabaranku dengan terus menatapku lekat. Aku hanya dapat bersikap biasa saja seakan akan aku tak melihat apapun. “Baiklah, aku percaya padamu” “Hehh…” Ujarku ketus. “aku sangat berharap kau bisa melihatku” “Apa yang kau inginkan?” “kau bertanya padaku” “Tidak, aku mengusirmu. Keluar dari mobilku sekarang juga” “Wait… Bagaimana kau tahu jika aku berada di mobilmu saat ini” wanita bodoh, aku sendiri bahkan mencoba untuk membongkar kebohonganku. “Maksudku… Aku tak tahu pasti kau berada dimana, suaramu begitu dekat, hingga aku menyimpulkan jika kau berada cukup dekat denganku saat ini” kuharap penjelasan itu membuatnya kembali percaya bahwa aku tak bisa melihatnya. “kau benar, aku berada tepat di sampingmu saat ini, apa aku harus kembali mengujinya” sahutnya datar, dengan gumaan yang terdengar jelas olehku. “up to you!!” Kunyalakan mobilku dan kubawa dengan kecepatan standar.
Pria itu akhirnya menghilang, dan membuatku dapat dengan tenang menyetir van-ku. Ketenangan itu hanya sementara, tiba-tiba saja ia muncul dan menutupi kaca mobil depan dengan seluruh tubuhnya. Apakah ia mencoba menyelakaiku, membuatku mati agar aku bisa melihatnya seperti yang ia katakan sebelumnya. Entahlah, aku berusaha untuk menyetir dengan tenang, dengan kemampuan ingatanku akan jalan yang akan kulalui untuk sampai ke rumah, ditambah gps serta kamera yang dapat membantuku melihat jalan yang kulewati meski kaca mobil itu tertutupi oleh pria menyebalkan ini. “Apa dia benar-benar tak bisa melihatku, bahkan ia dapat menyetir mobil walaupun aku sudah menutup kaca mobilnya”. “Arghhh….” Akhirnya ia kembali menghilang dan membuatku dapat dengan leluasa menyetir mobilku ini. “ternyata ada yang lebih bodoh dariku” umpatku dengan nada kesombongan.
Akhirnya aku sampai di rumahku. Aku kembali masuk ke dalam kamar, mencuci wajahku dan mengusapnya lembut dengan handuk putih kecil yang kugenggam ini. “Kau pulang dengan selamat” arghh, pria itu mengikutiku sampai ke rumah ini. “what do you mean?” Sahutku yang berpura-pura tak mengerti. “saat kau menyetir, aku berusaha menghalangimu dengan menutupi kaca mobilmu dengan tubuhku” aku mencoba menahan tawaku setelah mendengar pengakuan polos dari pria yang berada di hadapanku saat ini. “Kenapa kau mengikutiku?” “Bukankah kau bertanya apa mauku?” Perkiraanku salah, pria ini tak sepenuhnya bodoh, melainkan juga licik dengan selalu mengingat perkataan hingga mampu melumpuhkan orang-orang yang mencoba berdebat dengannya.
“Hem, aku ingin kau membantuku” “Aku tak bisa, ah tidak, aku tak akan membantumu” ujarku datar dengan terus mengusap lembut wajahku. “Kau bisa membuat wajahmu iritasi jika terus mengusapnya” aku mulai gerah. Kulempar genggaman handuk ini entah tak tahu kemana. Kutarik bedcoverku dan menyelimuti seluruh tubuhku. Untuk waktu yang lama keadaan mulai hening. kuhembuskan napas panjangku dan membuka badcover tebal ini yang kuselimuti hingga kekepalaku.
“kau mencariku?” Arggh, pria itu belum benar-benar pergi dari kamarku. “aku tak bisa membantumu, kau tak dengar itu?” Ujarku dengan nada tinggi. “Aku yakin kau bisa membantuku, Zuya-chan” kubulatkan kedua mataku secara sempurna setelah mendengar akhir kalimatnya yang menyebutkan, siapa namaku. “Da..dari mana kau tahu namaku” tanyaku sedikit gugup. “Aku mendengar percakapanmu dengan laki-laki yang kau panggil tuan Rean itu” Aku lega, kutepis pikiran jelekku pada pria ini yang kukira ia menguntitku. “Telingamu sangat tajam” sahutku datar. “Jadi, apa kau mau membantuku?” Ia terus mencoba menanyakan hal hal konyol itu. “Kenapa harus aku?” “Karena hanya kau yang bisa mendengarkanku…” “Hhe??” “Tak hanya itu, bahkan pada awalnya kukira kau bisa melihatku” “apa yang harus kulakukan?” “bukankah kau penasaran tentang sekolah di persimpangan itu?” Aku tak menjawab, melainkan hanya memperlihatkan wajah tak mengerti akan apa yang ia ucapkan. “Aku salah satu siswa di sekolah itu” kukerjapkan kedua mataku setelah mendengar penuturannya. “Kau, salah satu murid di sekolah itu?” pria itu tak menjawab, melainkan hanya memperlihatkan raut keputus asaan di wajahnya. “kau bisa membantuku mencari tahu bagaimana aku bisa sampai seperti ini” “Hhee??” Sahutku sedikit terkejut. “Aku bukan polisi ataupun detektif, lagi pula aku tak bisa membantumu karena kau…” Aku tak melanjutkan ucapanku karena takut akan membuatnya tersinggung. “Karena aku sudah mati?” Ia menyambar ucapanku dengan tepat. “Maaf…” “Arigato!” “Hah?” “Terima kasih karena kau sudah mau menjaga ucapanmu, kau takut aku tersinggung, bukan?” “Untuk apa aku menjaga ucapanku, lagipula bukankah kalian tak memiliki perasaan lagi?” “maksudmu kalian?” Ah, aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Akupun beranjak dari tempat tidurku agar dapat menghindarinya. Kuturuni anak tangga dan pria itu tiba tiba saja sudah berada tepat di hadapanku. Kukuasai rasa keterkejutanku ini dengan terus melangkah maju hingga akupun melawatinya. kuhembuskan napasku setelah berhasil membuatnya tak menyadari bahwa aku dapat melihatnya. Kuambil gelas dan kuteguk air putih ini.
“Kau menabrakku tadi” aku terus berusaha untuk menahan rasa kesalku oleh makhluk yang entah mengapa masih saja terjebak disini. “Tak hanya itu, kau bahkan hampir menciumku” Uhukkk… Air yang telah sampai di tenggorokanku kusemburkan kembali, kuperlihatkan wajah tak senangku tepat setelah ia mengatakan omong kosong itu. “Bisakah kau tak menggangguku?” “Aku tak akan mengganggumu jika kau mau membantuku” “Heh, kau akan lebih menggangguku jika aku membantumu” “Ya, kau benar. Tapi tak akan separah ini” kuletakan gelas yang berada di genggamanku ini dengan kasar dan kembali melangkah, menaiki anak tangga menuju kamarku, dan menyelimuti seluruh tubuhku dengan bedcover tebalku ini. “Kuharap pria itu benar-benar pergi dari sini” sungutku kasar setelah terasa tak ada lagi yang mengusik malamku.
“Aku masih disini” suara itu begitu dekat denganku. Kulihat samping kiriku dan ya, pria itu dengan lancangnya membaringkan tubuhnya di tempat tidurku. Aku bangkit dan terduduk dengan wajah lemasku. “Apa aku mengejutkanmu?” Kau tak hanya mengejutkanku, tetapi juga hampir membuatku jantungan dan mati, menyusulmu. “Siapa namamu?” “Akhirnya, namaku Korra” “Ah, Korra. Baiklah, Korra-kun, bisakah kau tak menggangguku” ucapku dengan nada lembut. “Kurasa aku tak perlu menjawabnya karena kau pasti sudah tahu apa yang akan kukatakan” ingin rasanya kulayangkan pukulanku di wajah pria ini, namun semua itu akan sia-sia. “Kau ingin aku mencari tahu bagaimana kau bisa mati?” “Kau mau membantuku?” pria itupun bangkit dan duduk tepat di sampingku. “baiklah, tapi dengan satu syarat…” “What is that?” “biarkan aku tidur tenang malam ini” aku kembali menyelimuti seluruh tubuhku. Pria itu sudah benar-benar pergi dan aku dapat tidur tenang seperti yang aku inginkan.
Cerpen Karangan: Anita Della Blog / Facebook: Anita Della Nama: Anita Della Tempat, Tanggal Lahir: Sintang, 02/11/1997 ALamat: Jalan Sengkuang No.70, RT.008/RW.002, Desa/Kel. Sengkuang, Sintang, Kalimantan Barat Pendidikan Terakhir: SMA