“Alvin, bangun sayang,” ucap seorang wanita seraya mencium lembut keningku. “Bentar lagi,” jawabku sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. “Alvin, cepat bangun. Nanti kamu terlambat, sayang,” katanya sambil menarik selimut yang menutupi tubuhku. Aku tak bisa mengelak lagi dan duduk sambil mengucek kedua mataku dengan tanganku. Wanita yang membangunkanku duduk di sebelahku dan membelai halus rambutku. “Ayo lekas mandi,” katanya dan mencium hangat pipiku. “Iya bu,” jawabku singkat.
Wanita itu adalah ibuku. Satu-satunya keluarga yang kumiliki. Bagaimana dengan ayahku? Aku tak mempunyai ayah. Pernah suatu kali aku bertanya kepada ibu kenapa aku tak memiliki ayah. Namun ia tak pernah memberitahuku dimana keberadaan ayah. Dia selalu menolak menjawab atau mengalihkan pembicaraan ketika aku bertanya tentang ayahku. Sampai suatu ketika aku menemukan sebuah foto pria yang mirip denganku bersama seorang wanita. Aku langsung menunjukkan foto itu kepada ibu dan bertanya tentang foto itu. Wajah ibu sangat terkejut ketika aku memperlihatkan foto itu. Dia diam sejenak lalu mengatakan bahwa pria yang ada di foto itu adalah ayahku dan wanita yang bersamanya di foto itu adalah wanita yang telah merebut ayah dari ibuku. Ibu menangis dan mengurung diri di kamar setelah menceritakan itu. Ketika itu aku mengerti kenapa ibu tidak mau menjawab pertanyaanku tentang ayahku. Sejak saat itu aku tak pernah bertanya soal ayah kepada ibu karena aku yakin itu akan membuat hati ibu sakit.
Aku berdiri dan bersiap untuk mandi. Selesai mandi, aku berpakaian dan bergegas menuju meja makan. Indra penciumanku mencium bau yang sangat sedap dan itu berasal dari meja makan. Kulihat sepiring nasi goreng dan segelas susu sudah tersedia di meja. Aku segera melahap sarapanku.
“Makannya pelan-pelan dong, sayang. Nanti tersedak loh,” kata ibu. Aku tersenyum, “Habis nasi goreng buatan ibu enak banget sih.” Aku melihat ibu berpakaian rapi, “Ibu akan mengantarku lagi hari ini?” tanyaku. “Tentu.” “Tapi bu…” “Tidak ada tapi-tapian,” potong ibu. “Bukan hanya mengantarmu ke sekolah, ibu akan menjemputmu nanti. Dan hal ini akan terus ibu lakukan sampai kamu lulus. Tidak boleh protes,” lanjutnya. Aku hanya diam dan tertunduk. Nafsu makanku langsung hilang mendengar perkataan ibu.
Sepuluh menit kemudian, kami berangkat ke sekolah dengan mobil ibu. Di mobil aku hanya diam sambil melihat jalanan melalui jendela mobil. Aku tak habis pikir kenapa ibu melakukan ini. Kenapa ibu sangat marah ketika aku pulang bersama seorang teman perempuan. Padahal dia hanya teman sekelasku bukan pacarku. Ya, ibu tidak suka aku berteman dengan seorang perempuan. Dari kecil aku dilarang berteman dengan seorang perempuan. Entah apa alasannya aku tak tahu.
Dua hari yang lalu, aku mendapat tugas kelompok dari Pak Wibowo guru biologiku. Beliau menentukan setiap kelompok dan aku sekelompok dengan Rena. Gadis tomboy namun baik hatinya. Ketika itu kami mengerjakan tugas kelompok dan hendak pulang. Karena rumah kami searah, kami memutuskan untuk pulang bersama. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ibu datang dengan mobilnya dan menarik kasar tanganku masuk ke dalam mobil. Wajahnya memerah karena amarah. Rena yang melihat kejadian itu hanya diam dan bingung. Di mobil ibu memarahiku karena aku pulang dengan seorang perempuan. Aku berusaha menjelaskan semuanya tapi ibu tak mau mengerti. Esoknya dia memutuskan untuk mengantarku pergi ke sekolah dan sekarang dia akan menjemputku juga.
Sesampainya di sekolah aku langsung turun dan berpamitan pada ibu. Aku berjalan menuju kelasku dan langsung duduk di kursiku. Tiba-tiba Rena datang dan duduk di sebelahku. Aku hendak pergi namun Rena memegang tanganku dan menahanku. “Kamu kenapa sih kok kayak menghindar gitu?” tanya Rena. Aku hanya diam. “Nih salinan tugas Biologi. Udah aku kerjakan sampai selesai,” katanya sambil meletakkan makalah di mejaku dan pergi meninggalkanku.
Aku merasa bersalah kepada Rena. Semenjak kejadian dua hari yang lalu aku menghindar darinya sehingga kami tidak bisa mengerjakan tugas kelompok dan akhirnya dia mengerjakan sendiri. Aku hendak meminta maaf namun terhenti karena bel pertanda jam belajar berbunyi. Aku berharap waktu cepat berjalan sehingga aku bisa meminta maaf secepatnya.
Bel istirahat akhirnya berbunyi dan aku langsung menghampiri meja Rena. “Ren, aku minta maaf karena…” “Udah gak papa kok. Gak perlu minta maaf. Santai aja kali,” potong Rena sambil menunjukkan senyumannya kepadaku. Rena memang dikenal dengan wanita yang baik dan tak pernah menyimpan dendam. Banyak kelebihan yang dia miliki, mulai dari jago basket, karate, fisika, matematika dan mata pelajaran lainnya. Hanya satu kekurangannya yaitu dia tidak terlalu memperhatikan gayanya yang berantakan.
“Aku tahu kok, ibu kamu pasti gak suka lihat kamu berteman sama aku karena gaya aku yang berantakan kan?” tanyanya. “Bukan gitu Ren. Ibuku memang gak suka lihat aku berteman sama perempuan.” “Maksudnya?” tanyanya heran. “Aku juga gak tahu Ren. Cuma dari kecil aku memang dilarang berteman sama perempuan.” “Kok aneh gitu sih. Kamu gak pernah nanya alasannya?” “Udah pernah. Tapi ibu gak mau jawab pertanyaanku.” “Ya udahlah gak usah dipikirin. Mungkin ibu kamu gak mau kamu dekat-dekat sama perempuan biar kamu gak pacaran dan fokus sama sekolah.” “Mungkin juga.”
Lima menit sebelum pelajaran usai, ibu mengirim SMS kepadaku bahwa dia sudah menunggu di depan sekolah. Aku hanya menghela nafas panjang melihat SMS ibu. Kupikir ibu hanya akan mengantar-jemput sekolah saja namun ternyata ibu juga mengurungku di rumah. Aku tidak boleh berpergian kemana-mana. Sifatnya semakin over protective kepadaku. Aku berpikir ini terlalu berlebihan mengingat aku bukan anak kecil lagi. Usiaku sudah 17 tahun. Namun aku tak berani melawan ibu dan hanya pasrah dengan sikap ibu.
Kuletakkan handphoneku di atas kasur dan sesekali menguap. Aku sungguh bosan dengan hari-hariku. Di hari libur ini biasanya aku pergi bermain bersama teman-temanku tapi karena ibu tidak memperbolehkanku keluar akhirnya aku hanya berdiam diri di rumah. Sendirian. Ya sendirian, karena ibu pergi entah kemana.
Aku keluar kamar hendak menonton TV. Tapi aku tertegun melihat pintu kamar ibu yang terbuka. Tak biasanya, pikirku. Ibu selalu mengunci kamarnya dan melarangku masuk. Ibu adalah orang yang rapi dan bersih sehingga dia tak mau seorangpun masuk ke kamarnya. Dia khawatir seseorang akan memindahkan benda-benda yang sudah disusun rapi olehnya.
Entah kenapa aku ingin memasuki kamar ibu. Ada hal tersembunyi yang kurasakan di dalam sana. Kuberanikan diri untuk masuk ke dalam mengingat ibu tak ada di rumah. Aku masuk kamar ibu dan melihat sekeliling kamar yang cukup besar itu. Semua benda tersusun rapi. Aku berpikir apa yang membuatku penasaran dengan kamar ini. Kelihatannya semua tampak biasa saja. Mungkin karena aku tak pernah memasuki kamar ibu sehingga aku penasaran keadaan di dalamnya.
Aku hendak keluar namun terhenti ketika aku melihat sebuah lemari berwarna cokelat yang berada di depan tempat tidur. Lemari itu cukup antik menurutku karena ukiran-ukiran yang terukir disana. Aku menghampiri lemari itu dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku ketika aku membuka lemari itu. Isinya kosong. Bukan, melainkan ini adalah sebuah ruangan. Lemari itu seperti pintu masuk. Ruangan itu gelap. Aku berniat memasuki ruangan itu namun aku membatalkan niatku karena aku mendengar suara mobil ibu. Cepat-cepat aku tutup pintu lemari itu dan keluar dari kamar ibu lalu masuk ke kamarku.
Aku benar-benar penasaran dengan ruangan itu. Kenapa ada ruangan tersembunyi di kamar ibu? Apa yang dia sembunyikan selama ini? Pikiranku terus mengarah ke ruangan itu hingga ketika makan malam ibu melihat gelagatku yang aneh.
“Ada apa Alvin? Sepertinya ada hal yang mengganggumu?” tanya ibu. “Hmm… Gak ada apa-apa kok bu,” jawabku bohong. Aku tak berani bertanya pada ibu soal ruangan rahasia itu. Aku berniat untuk mencari tahu sendiri.
Esoknya di sekolah, Pak Wibowo memeriksa tugas kelompokku dan mengatakan bahwa ada sedikit kekurangan dalam tugas ini dan menyuruh aku dan Rena untuk melengkapinya. Rena meminta maaf karena tidak menyempurnakan tugas kami. Aku menepis kata-kata Rena, justru sebab aku lah sehingga tugas kami tidak sempurna karena aku tidak ikut mengerjakannya. Rena mengatakan kalau dia akan datang ke rumahku untuk mengerjakan tugas. Dia berpikir jika dia datang ke rumahku, ibu dapat memantau kami sehingga ibu bisa mengerti kalau hubunganku dengan Rena hanya sebatas teman biasa tidak lebih. Aku menyetujui saran Rena.
Aku melihat jam dinding rumahku menunjukkan pukul 14.25 Wib. Rena bilang kalau dia akan datang pukul 3 tepat. Aku tak mengatakan pada ibu kalau Rena akan datang. Kupikir lebih baik tidak usah memberitahukannya. Kulihat lagi pintu kamar ibu terbuka dan kulihat tak ada seorang di dalamnya. Aku memanggil ibu berkali-kali namun tak ada sahutan. Kuberanikan diriku masuk dan membuka lemari itu. Kucoba meraba sekitar dinding ruangan itu berharap menemukan sakelar lampu. Usahaku tak sia-sia, aku merasakan ada sakelar lalu menghidupkannya. Sungguh diluar dugaanku. Aku melihat sebuah peti kaca berada dalam ruangan itu. Dan yang membuatku terkejut adalah peti itu berisi tubuh seorang pria yang mengenakan setelan jas hitam.
Aku berjalan mendekati peti itu dan yang lebih membuatku terkejut lagi bahwa pria tersebut adalah pria yang ada di foto yang aku temukan itu. Dia adalah ayahku.
Cerpen Karangan: Siti Aisyah (Polar Bear)