Aku melihat sekeliling ruangan itu dan menemukan botol-botol yang berisi formalin. Aku tak habis pikir dengan semua yang kulihat ini. Apa maksudnya semua ini? Ayahku sudah meninggal? Dan kenapa ibu mengawetkannya? Tiba-tiba sebuah pukulan keras mendarat di pundakku. Aku terjatuh dan terkulai lemas akibat pukulan itu. Kucoba untuk membalikkan badanku dan melihat siapa yang telah memukulku. Pandanganku kabur akibat pukulan itu namun aku merasakan orang itu mengangkat tubuhku dan membawaku pergi dari ruangan itu. Orang itu lalu meletakkanku di atas kasur. Pandanganku hampir jelas dan aku melihat sosok yang kukenal berdiri di hadapanku dengan muka yang merah padam. Dia lalu mengambil beberapa helai kain lalu mengikat tanganku di tiang ranjang. Aku meronta-ronta melepaskan ikatannya namun usahaku sia-sia, ikatannya terlalu kencang.
“Kenapa bu? Kenapa ibu melakukan ini semua?” tanyaku dengan keadaan terikat. “Aku rasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan semua ini darimu Alvin. Baiklah aku akan menceritakan semuanya,” jawabnya sambil duduk di ranjang. “Pertama yang harus aku akui adalah aku bukanlah ibu kandungmu.” Aku benar-benar tidak percaya dengan ommongannya. Aku hendak bertanya namun kuurungkan niatku. Aku yakin dia akan memberitahukannya padaku. “Tapi pria yang ada di peti itu adalah ayah kandungmu. Kau ingat foto yang pernah kau tunjukkan dan tanyakan padaku?” Aku mengangguk. Mereka adalah orangtuamu.” “Lalu dimana ibuku?” “Dia juga sudah meninggal. Aku yang telah membunuh orangtuamu Alvin. Kau tau kenapa?” Aku menggeleng. “Karena aku cemburu.” “Apa maksudmu?” “Aku adalah sahabat ayahmu dari kecil. Sudah lama aku menyukai ayahmu namun ayahmu hanya menganggap aku sebagai sahabatnya. Sampai suatu ketika dia bertemu dengan Liana, ibumu. Dia jatuh cinta pada Liana dan menikah dengannya. Aku cemburu, Alvin. AKU CEMBURU DAN SAKIT HATI!!!” Dia menangis. Kulihat kesedihan dari raut wajahnya.
“Dan yang lebih membuatku sakit hati adalah mereka akan dikaruniai seorang anak. Aku tak tahan melihat kebahagiaan mereka berdua dan memutuskan untuk menculik mereka. Aku memaksa ayahmu untuk mencintaiku namun ia menganggapku sudah gila. Hari itu tepat Liana akan melahirkan. Aku membantu persalinannya dan ternyata dia melahirkan seorang bayi laki-laki. Hari itu adalah hari dimana kau dilahirkan Alvin. Aku membiarkan ibumu mengalami pendarahan yang membuatnya meninggal. Ayahmu sangat bersedih, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena aku mengikatnya. Aku berusaha menenangkannya tapi dia memakiku dan terus mengatakan kata-kata kasar kepadaku. Aku benci mendengarnya. Aku mengancamnya, dia harus mencintaiku atau aku akan membunuh bayinya. Dia malah tersenyum sinis dan mengatakan bahwa dia tak akan pernah melakukannya. Aku hendak membunuhmu tapi aku mengurungkan niatku. Kau tau kenapa?” Aku menggeleng lagi. “Aku berpikir jika aku tak bisa mendapatkan ayahnya kenapa aku tidak mencoba untuk mendapatkan anaknya,” ucapnya dengan senyuman sadis di wajahnya. Tubuhku gemetar mendengar ucapannya. Aku merasakan ketakutan.
“Lalu aku membunuh ayahmu karena tak tahan mendengar makiannya. Namun aku masih mencintainya sehingga aku mengawetkannya.” “La..lu di..mana jasad ibu..ku?” tanyaku ketakutan. “Aku menguburnya di halaman belakang.” “Dasar wanita j*lang. Kau benar-benar sudah gila,” bentakku. “Aku memang sudah gila. Tergila-gila padamu. Asal kau tahu saja, aku sangat senang karena wajahmu sangat mirip dengan wajah pria yang aku cinta. Kalian sama-sama tampan dengan hidung mancung dan bibir tipis yang menggoda,” ucapnya seraya mencium kening dan pipiku.
Dulu aku merasakan kehangatan dalam setiap kecupannya namun kali ini aku merasa jijik karena aku sudah tahu kebenarannya. Aku berteriak minta tolong berharap ada yang mendengarnya. Wanita brengsek ini malah tertawa dan mengatakan bahwa tak akan ada yang mendengar teriakanku. Cukup masuk akal juga perkataannya, karena halaman rumah ini sangat luas dan jarak antara rumah ini dengan rumah tetangga cukup jauh. Aku mulai menangis dan berdoa kepada Illahi mengharap pertolongan darinya.
“Dan satu lagi, alasan sebenarnya kenapa aku tak memperbolehkanmu berteman dengan perempuan adalah agar kau tak pernah jatuh cinta. Aku takut jika kau mengenal seorang perempuan kau akan jatuh cinta kepadanya. Aku tak mau itu terjadi. Aku tak mau kau direbut perempuan lain. Aku tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya,” ucapnya seraya mencium kening dan pipiku berulang kali. “DASAR WANITA GILA!!! MENJAUH DARIKU!!! CEPAT LEPASKAN AKU!!! DASAR BRENGSEK!!!” makiku.
Tiba-tiba pintu rumah diketuk. Fera (nama dari ibu palsuku) kaget dan sigap membekap mulutku dengan tangannya. Dia berusaha mengambil sehelai kain yang tak jauh dari meja sambil terus membekap mulutku. Ketika dia mendapatkan kain tersebut, dia langsung membekap mulutku dengan kain tersebut. Aku merasakan kakiku tidak terikat sehingga aku terus menghentakkan kakiku ke kasur untuk membuat suara kegaduhan berharap orang yang ada di luar rumah mendengar suara gaduh yang kubuat. Fera yang menyadari rencanaku langsung mengambil kain lagi dan mengikat kakiku di tiang ranjang. “Jadilah anak baik selagi aku memastikan siapa yang datang,” ucapnya sambil berlalu meninggalkanku. “Mmmmmmpppphhhhh,” hanya itu yang keluar dari mulutku.
Aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 3. Lalu aku teringat kalau Rena akan datang. Aku yakin orang yang mengetuk pintu itu adalah Rena. Aku terus menggoyang-goyangkan tanganku berharap ikatannya kendur. Usahaku tidak sia-sia, ikatan di tangan kiriku mulai mengendur dan tak berapa lama terlepas. Aku lalu membuka kain yang membekap mulutku. “RENAAAAAAAAAAA!!!” teriakku. Tiba-tiba Fera datang dan berusaha membekap kembali mulutku dengan kain. Entah tenaga dari mana yang Fera dapatkan, aku merasa dia sangat kuat dan berhasil menyumpal mulutku dengan kain lalu kembali mengikat tangan kiriku di tiang ranjang lagi. “Kau pikir akan semudah itu lolos dariku?” “Mmmmppppphhhhh.” Aku kembali menangis meratapi nasibku. “Jangan menangis. Aku tak akan menyakitimu. Jadilah anak baik maka aku akan memperlakukanmu dengan baik pula,” katanya seraya menghapus air mataku dan kembali mencium keningku.
Aku terus menggerakkan tubuhku berharap ada ikatan yang kendur lagi. “Kau sungguh tidak bisa jadi anak yang baik. Baiklah kalau begitu akan kubuat kau tertidur sampai malam tiba. Karena ketika malam kau tidak boleh tertidur karena malam ini akan jadi malam pertama kita sebagai sepasang kekasih,” ucapnya sambil mengambil sapu tangan dan botol yang ada di lemari.
Dia menuangkan isi botol itu ke sapu tangan. Aku yakin kalau itu adalah obat bius. Dia berjalan mendekatiku dan mendekatkan sapu tangan itu ke hidungku. Fera menutup hidungku dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Aku berusaha untuk tidak bernafas, namun aku tak yakin sampai kapan aku harus menahannya. Tiba-tiba seseorang memukul Fera dari belakang. Dia adalah Rena. Rena mendorong tubuh Fera ke dinding dan membuatnya pingsan.
“Mmmmpppphhhhhh,” aku berusaha memanggil Rena dan berharap Rena menyingkirkan sapu tangan yang menutupi hidungku. Rena melihat ke arahku dan segera menyingkirkan sapu tangan yang menutupi hidungku dan membuka sumpalan mulutku. “Kau tak apa?” tanyanya. “RENA AWAS!!!” teriakku. Sebuah vas hampir mengenai Rena namun Rena berhasil menghindar. “Beraninya kau!!! Akan kuhabisi kau sekarang juga!!!” ucap Fera yang sudah bangkit dari tidurnya. “Kau pikir kau bisa?” tantang Rena.
Fera berlari menuju Rena dan hendak meninju Rena. Rena mengelak dan berhasil memberikan pukulan ke perut Fera. Mereka berduel dengan sengit. Aku tak menyangka Fera jago bela diri. Fera berhasil memberikan pukulan beruntun ke Rena dan mendorong tubuh Rena ke meja yang membuat Rena kesakitan dan tak mampu berdiri. Fera menatap ke arahku lalu mengambil sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Dia berjalan ke arahku.
“Rena, bangunlah. Kumohon. Wanita gila ini hendak membiusku,” pintaku kepada Rena yang tengah kesakitan. “Sebaiknya kau tidur saja sayang,” ucapnya sambil membekap mulutku dengan sapu tangan. “Mmmmpppphhhh,” aku kembali menahan nafasku namun itu tak lama. Aku terpaksa menghirup obat bius itu. Pandanganku semakin kabur dan gelap.
—
Kurasakan kepalaku pusing dan aku mencoba membuka mataku. Aku merasakan goncangan seperti berada di jalanan. Aku merasa berada di bagasi mobil. Kurasakan tanganku terikat ke belakang dan kakiku juga terikat. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Hal yang terakhir aku ingat adalah Rena yang dihajar oleh Fera dan Fera mebiusku. Oh tidak!! Apa yang terjadi pada Rena? Apakah Fera berhasil membunuh Rena? Aku ingin sekali berteriak minta tolong tapi apa daya, mulutku disumpal dengan kain. Aku hanya bisa berdoa demi keselamatan Rena dan keselamatanku.
Kurasakan mobil berhenti. Aku mendengar suara bagasi dibuka dan aku melihat dia. DIA. Wanita yang menculikku. Aku tak percaya dia akan melakukan ini padaku. “Kau sudah sadar rupanya,” ucapnya dengan senyuman menjijikan. “Mmmmmppppphhhhh.” “Aku rasa kau ingin mengatakan sesuatu tapi sebaiknya kau urungkan saja,” ucapnya sambil mengeluarkanku dari bagasi dan meletakkan tubuhku di bahunya.
Aku benar-benar tak menyangka dia sanggup untuk menggendong laki-laki sepertiku. Dia membuka pintu samping rumahnya dan masuk lalu berjalan menuju sebuah kamar. Sesampainya di kamar, dia meletakkanku di atas ranjang. Aku menggeliat seperti cacing berusaha membuka ikatan tangan dan kakiku. “Sebaiknya kau hentikan itu. Itu tak akan berhasil dan hanya akan membuatmu kelelahan,” ucap wanita itu. Aku tak mempedulikannya dan terus menggeliat sampai akhirnya aku berhenti karena aku kelelahan dan tersadar bahwa usahaku sia-sia. “Aku sudah mengatakannya, bukan? Itu tak akan berhasil.” “Sebenarnya aku ingin sekali membuka kain yang menyumpal mulutmu tapi aku takut kau akan berteriak. Akan sangat berbahaya jika itu terjadi karena tetangga akan mendengar teriakanmu,” ucap wanita itu.
Sejak kami sampai disini tak banyak yang dilakukan wanita ini. Dia hanya mengintip melalui jendela seperti sedang menunggu seseorang. Lalu sesekali dia memeriksa ikatan tangan dan kakiku, takut ada yang terlepas. Dia juga sesekali menanyakan apakah aku membutuhkan sesuatu dan aku hanya menggeleng. Sebenarnya yang kuinginkan hanyalah terlepas dari ikatan ini namun mana mungkin wanita ini mengabulkan permintaanku.
Kulihat jam yang menggantung di dinding kamar itu. Pukul 17.20 Wib. Aku tak tahu sampai kapan ini akan berakhir. Kemudian dia berjalan ke arahku. “Aku akan membuka sumpalanmu asal kau berjanji tak akan berteriak atau berbicara.” Aku mengangguk lalu dia melepaskan kain yang membekap mulutku. “Rena, kenapa kau lakukan ini? Kenapa kau menculikku?” tanyaku heran. Aku mengira bahwa yang menculikku adalah Fera namun aku kaget ketika pintu bagasi dibuka dan ternyata Renalah wanita yang ada di hadapanku. “Kau berjanji untuk tidak berbicara bukan? Kenapa kau mengingkarinya?” tanyanya marah. “Aku hanya bingung Rena. Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa kau membawaku kesini? Lalu dimana Fera? Kumohon jawablah,” pintaku. “Kau sungguh menyebalkan, Alvin. Padahal aku sudah berbaik hati,” ucapnya sambil menyumpal kembali mulutku dengan kain. “Lebih baik begini,” ucapnya yang telah berhasil menyumpal mulutku. “Tenanglah, aku tak akan menyakitimu,” lanjutnya.
Aku tak menyangka Rena akan melakukan hal ini padaku. Apa motifnya menculikku? Apa yang terjadi ketika aku pingsan? Oh Tuhan, tolonglah hambamu ini, doaku.
Rena kembali melihat ke arah jendela. Raut wajahnya tiba-tiba berubah lalu dia mengambil kain bandana berwarna hitam dan sapu tangan berwarna putih lalu berjalan mendekatiku. “Lihat ini,” katanya sambil menunjukkan bandana dan sapu tangan yang diambilnya. “Sapu tangan ini sudah diberi obat bius. Aku tidak akan membiusmu asal kau tidak berbuat yang macam-macam. Aku akan pergi sebentar. Aku hanya akan menutup matamu saja. Tapi jika kau berulah kau akan menghirup bau obat bius ini lagi. Kau paham?” Aku menganggukkan kepalaku. “Baiklah, kuharap kau tidak mengingkari janjimu,” ucapnya sambil menutup mataku dengan bandana.
Aku mendengar suara kamar tertutup dan langkah kaki Rena yang menjauh. Aku berusaha menggeliat berharap ikatannya lepas. Aku mengingkari janjiku. Lagipula mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki menuju kemari. Aku berhenti melepaskan diri dan mencoba tenang. Aku tak menyangka Rena akan kembali secepat ini. Pintu kamar terbuka dan aku mendengar suara langkah kaki berjalan ke arahku.
“Sepertinya kau sudah jadi anak yang baik.” Bukan, itu bukan suara Rena.
Cerpen Karangan: Siti Aisyah (Polar Bear)