Apa yang kuharapkan dari diriku kali ini memang nothing. Masih mandeg di sini. Liburan yang menyenangkan dengan anak kecil. Sampai di suatu hari tanpa awan di langit tiba.
“Mbak?” Suara itu mengetuk telingaku. Aku datang menghampiri mereka dengan sepicis pisang goreng buatan emak di tangan kiri. Tentunya bukan untuk kubagikan pada mereka. Anak-anak bau kencur yang belum lama ini jadi teman sepermainanku tak mungkinlah aku membagi dengan anak-anak ingusan itu.
“Jadi ke kali cari ikan?” “Ada jaring buat marak biar gampang gak, mbak? dulu mbak punya kan?” Mereka berempat saling menimpali dalam bertanya mulai dari Dai dilanjut Agil barusan.
Aku berpikir sejenak, mengotori jaring milikku untuk marak di kali semacam kali lor? Ah tidak. Aku tak sudi melakukannya, sungguh mubazir jaring itu untuk menyerok kotoran di kali sat macam itu. “Gak tahu di mana, tinggal pake cepon aja gampang kan?” aku meyakinkan anak-anak itu, walau aku melihat sorot kesal karena kepelitanku.
Kami berlanjut, aku bersama bencil-bencil cilik ini berjalan dengan agak sedikit bangga. Kenapa agak sedikit bangga? Ah, yang bangga tentu saja bocah-bocah itu. Lah aku? ya aku dapat malunya dengan umurku yang sudah 17 tahun.
Nda menunjuk tempat untuk mencari ikan kecil itu, benter, dan blenduk -yang hampir tak bermakna. Nda turun ke bawah bersama Agil dan Dai. Cuma aku dan Safitri yang berada di atas memegangi botol air mineral yang akan digunakan sebagai wadah dan jujur saja, baru aku temukan di sengkedan jalan tadi atau bisa dibilang tepat di pinggir kali ini. Sesungguhnya, aku memang tak mau basah, atau mengotori sejengkal pakaianku, amat menyebalkan jika aku harus ganti baju, cuma gara-gara ke kali.
Kulihat muka serius Nda, rambutnya yang diikat ala kadarnya dan bentuknya yang merupakan gadis kecil nampaknya bertolak belakang dengan kepribadiannya. Benar-benar keahlian mecari ikan yang hebat, beda dengan Agil yang kasingnya anak laki-laki tapi malah ngejogrok di atas batu seperti kucing takut air. Namun, tolong jangan bandingkan aku dengan Agil yang kemayu itu.
Kupikir aku tak bisa diam. Hanya menonton? Bukan gayaku sungguh. Ya minimal aku menyuruh-nyuruh para antek-antek ini untuk mencari banyak ikan dan udang. Para bencil yang notabenya SD ini pun nurut dengan apa yang kuperintahkan.
“Mbak, di situ banyak ikan mbak, kalau pakai jaring pasti gampang.” Nda menarik lenganku menunjukan ke bawah jembatan kayu. Em, bukan jembatan besar seperti yang orang bayangkan, itu cuma bambu yang ditata dari ujung satu ke satunya saja dan kata Nda di situ ikanya banyak dan akan lebih berhasil jika menggunakan jaring. Ah, jawabanku masih sama, Enggak lah, sayang kali jaring bagus itu buat nyerok air kali kotor. Dan aku mengelak lagi, bahwa itu jaring milik orang.
Tanpa dinyana, Dai mengatakan ide kecil yang sangat inisiatif menurutku. Ya tepat di pinggir kali ini dekat pohon Mahogani ada sebuah karung kecil. Sudah bisa ditebak inovasi apa yang akan mereka lakukan bukan? Lah aku sendiri ketakutan jikalau mereka mengambil itu, lah itu siapa tahu milik orang? Jika aku mereka ketahuan pasti aku yang tersalahkan sebagai anak ah, orang dewasa yang mendampingi mereka maksudnya.
Dan mualilah, setan dalam nuraniku menggugah. Memilih waktu kabur tanpa pamit atau alasan apapun yang tak masuk akal. Ketika empat anak itu turun ke bawah aku menyelinap pergi. “Mbak? Mau ke mana?” Aku hampir lupa dengan Ssafitri yang ada denganku di atas berlehe-lehe. Anak itu menatapku bingung, rambut poni tailnya bergoyang tiba-tiba saat disapu angin. “Umm… anu.” “Anu apa mbak?” “Anu, mau ketemuan sama temen, sebentar kok, nanti kalau udah selesai mbak ke sini lagi.” Aku mengumbar senyum sok manis, agak skeptis memang dengan respon para bencil ini. Terutama bocah yang bernama Nda dia pasti tahu aku berbohong. “tapi beneran ya mbak, jangan bohong loh!”
Fyuh, untunglah Safitri memang agak lola-lolo, dan aku terselamatkan dari fitnah. Oke jangan sebut itu fitnah, ya tanggung jawab atas kesalahan para bencil ini, jikalau memang mereka tertangkap basah dan terbukti bersalah.
Tak ada yang menajubkan memang, sampai pulang dari itu salah satu dari kami menggigil. Aku yang ada di rumah mengumpet mendengar kabar itu. Agil. Kakinya membiru dengan sendirinya. Aku terkejut, tak sadar akau keluar dari persembunyianku. Tentu anak-anak menatapku sinis. Kutatap Agil lamat-lamat, sungguh tak tega melihatnya. Hingga ia langsung kuantar sampai rumah tanpa basa-basi dan otomatis sambutan yang meriah dengan kerunyaman atas amarah ibu Agil.
Kau tahu apa yang terjadi pada Agil? Ah tentu tidak. Tapi kata orang tua ini tentang penunggu tempat itu. Aku tahu dari mana? Em… tentu anak-anak itu barusan cerita, Mbok Minah pemilik karung yang bilang. “Laskar bercakar telah marah.” katanya. Ah, bukankah cerita ini harusnya tak jadi cerita horor, mitos maupun hal di luar logika? Tapi, Laskar bercakar?
Apa itu laskar bercakar? Dan kenapa dia marah? Entahlah. Yang kutahu salah satu dari kami memang memiliki cakar yang terlihat sekilas tadi. Dan aku lupa akan satu hal. Namaku rupanyan nyambung dengan itu, Raksal. Pikirlah Raksal dengan bercakar dan judul cerita ini. Laskar Bercakar.
Cerpen Karangan: Anisah Solikha Blog: Mynewkatakataku.blogspot.com