Asa turun dari angkot tepat di depan halte bus, sudah tiga hari ia bangun pagi-pagi sekali dan pulang sekitar jam 01:00 dini hari, karena harus menjadi panitia Ospek. Hari itu, ia pulang lebih larut dari biasanya. Jarak halte tersebut dengan rumahnya masih dua kali naik angkot, itu pun hanya diturunkan di terminal. Sebenarnya bisa saja dia ke kampus dengan mobil pribadi karena orangtuanya orang berada, tetapi katanya ia ingin belajar mandiri.
Asa merupakan anak dari Dr. Sinta, seorang dokter bedah di kota itu, sedangkan ayahnya bekerja sebagai arsitek. Sudah satu tahun ini ayahnya tak bisa keluar rumah karena penyakit ginjal yang ia derita, yang membuat Dr. Sinta harus kesana kemari mencari pendonor untuk suaminya.
Lima belas menit lelaki itu berdiri di depan halte, berharap akan ada angkutan yang lewat, sementara waktu telah menunjukkan pukul 02:00 dini hari, rupanya siang tadi ada demonstrasi besar-besaran para supir angkot yang menuntut kenaikan tarif angkutan umum. Itulah yang menjadi alasan mengapa angkutan sepi, dan nampaknya angkot yang ia tumpangi sebelumnya adalah yang terakhir.
Dering ponsel dari saku celananya memecah suasana sunyi yang hanya dihiasi nyala lampu jalan, Asa kemudian menariknya dan benar saja, ada telpon masuk. Terdengar suara halus seorang wanita yang sangat ia kenal. “Iya Bunda?”. Asa terdiam sejenak, seperti sedang mendengarkan orang berbicara. “ini nih, Bun… baru sampai di Halte jalan Pakem”. “tenang aja, lagian Asa udah biasa kok jalan sendiri. Anak Bunda kan bukan orang sembarangan”. Nampaknya di seberang meminta agar Asa berhati-hati. “aduh, Bunda!!!. Nggak usah, udah berapa kali dibilangin, sih. bentar lagi juga ada angkot lewat kok, pokoknya tunggu aja di rumah, nanti Asa telpon lagi ya, bye Bunda”. Jawabnya agak membentak seolah kesal pada telpon genggam itu.
02:20 Jalanan sudah benar-benar sepi, tak ada satu pun kendaraan yang melintas, apalagi pejalan kaki. Beberapa meter dari pinggiran jalan itu hanya ada hutan belantara, seolah menjadi pembatas antara aspal dan alam liar. Malam semakin larut dan sunyi hanya terdengar suara auman anjing hutan. Hawa terasa sangat dingin saat angin berhembus perlahan, melanggar tubuh Asa yang hanya dibalut kaos oblong, celana pensil, dan jas almamater yang kini berdiri tanpa ditemani siapapun, kebetulan kota itu masih sangat asri dan banyak hutan di sana-sini.
Dering ponselnya kembali mengusir kesunyian, ia menatap layar Smartphone itu, tertulis “Bunda” dengan lambang telpon berwarna hijau dan merah. “iya, Bunda?” ucapnya seolah menanyakan apa yang Bundanya inginkan. “kamu udah di mana, sayang?”. “masih di jalan Pakem, nih”. Ditengah percakapan, Asa melihat tiga sosok dari kejauhan berjalan sempoyongan ke arahnya. Sambil terus berbincang, ia menatap ketiga sosok itu, yang berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat ia berdiri. Ketiganya seperti sosok lelaki kekar, namun jarak dan suasana malam membuatnya Nampak seperti seluet. Mereka terus saja mendekat, namun sepertinya tak sadar dengan kehadiran seorang pemuda yang berdiri di depan halte karena ketiganya terlihat asyik berbicara satu sama lain. Sementara itu, Asa yang masih melanjutkan perbincangan dengan Bundanya berharap itu adalah sebuah pertolongan.
Tiba-tiba, komplotan itu berhenti tepat di bawah lampu jalan yang berjarak sekitar sepuluh meter dari halte. Cukup jelas terlihat warna kulit dan pakaian yang mereka kenakan. Mereka mematung seraya terus menatap kearah Asa yang juga sedang menatap mereka. Tiba-tiba salah satunya mengangkat tangan dan menunjuk ke arah pemuda yang berdiri di depan halte itu. Mereka lantas bergegas mengampiri halte ketika pemuda berkacamata itu memberi isyarat untuk mendekat. “udah ada orang nih, Bunda”. Serunya. “Adik ini mau kemana?” Tanya pria botak yang berdiri di tengah, tatapannya tampak beringas. “saya mau pulang bang” ujar Asa singkat tersenyum. “Rumahnya di mana?” pria dengan jaket levis itu lanjut menginterogasi. “di K. P. Beauty Hills, bang”. Asa terdiam sejenak, lantas melanjutkan “Kira-kira saya boleh minta tolong nggak bang buat diantar ke sana?, soalnya dari tadi saya nungguin angkot, nggak ada yang lewat”. Pintanya selagi menggenggam Smartphone yang masih tersambung dengan sang Bunda. Pria botak itu pun mengiyakan permintaan si pemuda seraya mengajaknya berjalan menjauhi halte. “Bunda, udah dulu ya, Asa udah mau berangkat nih”. “Yaudah, sayang… Asa hati-hati yah di jalan”, suara halus di telepon itu membalas.
Belum lama mereka melangkahkan kaki dari halte ketika Asa hendak mematikan telepon, tiba-tiba pria gondrong yang berjalan di belakangnya menyapa “dik, kalau begitu, adik bisa lah memberi kita ini uang!, hitung-hitung sebagai ongkos jalan!”. “iya betul, dik!. Lagian kita kan capek juga harus mengantar adik. Jaraknya kejauhan”. Ujar si Botak mengiyakan. Sementara teman mereka yang satu lagi hanya terdiam menatap tajam ke arah Asa. Ia berbalik, kemudian mengeluarkan uang lima puluh ribu dari sakunya dan memberinya kepada si Botak. “Maaf, bang. Adanya cuma segini, nanti sampai rumah saya tambah lagi, ini jadi DP-nya aja”. ucapnya ramah sambil mengulurkan tangan.
Raut wajah ketiganya seketika berubah masam ketika melihat jumlah uang yang diberikan, dan lagi-lagi si pria gondrong menggoda “wah, kurang ini dik. Kalau Cuma segini ongkos bensinnya nggak cukup… Bagaimana kalau hape adik saja yang dikasih ke kami sebagai jaminan?”. Tawarnya diiringi seringai licik. “benar itu. Bensin itu mahal dik, apalagi jaman sekarang!” kali ini kawan mereka yang satu lagi ikut berbicara membenarkan perkataan si gondrong.
Asa berusaha meyakinkan mereka bahwa ketika sampai di rumah ia akan memberi lima kali lipat dari itu, tetapi ketiganya tetap ngotot meminta lebih bahkan hendak merampas tas berisi Laptop dan telepon genggam. Anak itu mencoba melawan dengan merampas kembali tas hitam jinjing itu. Keempat orang itu kemudian berdebat panjang di bawah lampu jalan, sembari berusaha menenangkan ketiganya, pria kekar yang tak banyak bicara mulai mengeluarkan sebilah pisau lipat dari saku celananya. Melihat itu, Asa memperingatkan bahwa polisi akan segera mengetahui kejadian ini bila mereka melakukan kekasaran. Namun, peringatan itu tak dihiraukan, ia terus mendekat dan mencoba menusuk perut mahasiswa itu. Beruntung, ketiganya dalam keadaan mabuk, sehingga Asa dapat menghidar. Ia kemudian mendorongnya dengan sekuat tenaga hingga pria itu terpental kebelakang dan menimpa kedua temannya hingga jatuh. Kejadian itu terdengar oleh Bundanya, karena kebetulan Asa belum sempat mematikan ponsel ketika para penjahat itu mulai meminta bayaran.
“Asa, ada apa?, apa yang terjadi di situ, kamu diapakan oleh orang itu… Asa, jawab bunda!!!”. Rupanya, Loud Speaker telepon genggam itu tak sengaja tertekan ketika ia mendorong si Pria pendiam. Tetapi tak sempat menjawab Bundanya karena keadaan sedang tegang. Ia berusaha melarikan diri, namun dengan sigap pria pendiam itu memegangi kakinya dengan kuat. Asa yang jantunngnya mulai berdetak kencang, panik dan refleks menendang-nendangi kepala pria itu hingga genggamannya terlepas. Pria itu melenguh kesakitan sambil memegangi kepala dan matanya yang mengeluarkan darah.
Pemuda itu mulai berlari meninggalkan mereka dengan napas yang mulai memburu. Setelah beberapa lama berlari, tiba-tiba ia terhenti, seolah mengingat sesuatu. Refleks meraba saku celana dan almamaternya, memeriksa barangkali ada barang miliknya yang tertinggal. Rupanya telepon genggamnya terjatuh saat ia hendak melarikan diri. Pemuda itu menoleh ke belakang dan dilihatnya cahaya sekitar beberapa meter saja dari ketiga pria kekar itu. Loud Speaker Hp-nya masih menyala sehingga sangat jelas suara Bundanya yang gemetar dan khawatir. Ia pun bergegas kembali ke komplotan. Namun rupanya, salah satu dari mereka, si Botak menyadari kesempatan emas itu, sementara kedua kawannya sedang kesakitan. Penjahat itu pun merangkak hendak meraih ponsel. Tak ingin kalah cepat, Asa memacu dirinya dan berlari sekuat tenaga untuk mengambil ponsel itu, seolah tak mengingat keselamatannya. Beruntung dia lebih cepat dari si Botak yang masih merangkak lambat karena perutnya menindih batu ketika terjatuh tadi. Pemuda berkacamata itu, kembali berbalik dan mulai meninggalkan mereka.
Napasnya sudah terengah-engah ketika para penjahat itu bangkit dan mengejar. “kurang ajar, jangan lari kau… kau tak akan bisa selamat malam ini. Ini adalah malam terakhirmu, nak”. Teriak si Botak sambil menunjuk Asa.
Dari kejauhan, terlihat sebuah bangunan kecil yang bercahaya di tengah kegelapan. Asa yang sudah tak sanggup berlari, mencoba meraih tempat yang betuliskan “Pos Polisi” itu. “Toloooong”. “toloooong”. “saya dikejar… saya mau dibunuh… Polisi toloong”. Pekiknya lantang. Tak terpikir lagi akan ponselnya yang sejak tadi tersambung dengan Dr. Sinta. Bunda yang sejak tadi mengetahui kejadian itu, hanya bisa mengangis dan bertertiak, karena mengetahui nyawa anaknya berada di ujung tanduk.
Bagai ada juru selamat yang menghampiiri ketika melihat seorang pria berseragam keluar dari bangunan itu. Pria berseragam kemudian menjemput seraya merangkulnya. “Tolong… Tolong saya… tolong saya, pak”. Serunya diiringi napas yang memburu dan jantung yang telah melonjak sejak tadi. Sang petugas melihat ketiga orang yang berlari dari kejauhan ke arah mereka berdua. Seketika itu juga ia mencabut pistol dari pinggangnya dan mengeluarkan tembakan peringatan ke udara. Suara tembakan yang teramat keras, memecah kesunyian malam itu. ketiga orang itu kemudian menjauh dari keduanya. Petugas hanya berdiri menatap para penjahat itu yang kemudian hilang dari pandangan.
Cerpen Karangan: Ramona Dian Blog / Facebook: Adian syah