Petugas datang membawakan segelas air kepada pemuda itu, yang kemudian menceritakan kejadian yang telah menimpanya, sementara Hpnya sudah lama dimatikan. “begitu… Begitu pak!” jelasnya dengan napas yang masih menggebu-gebu, sementara itu, waktu telah menunjukkan 02:40 dini hari. “untung saja di sini ada pos polisi, dik. Kalau tidak, saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepada adik. Lagipula, ngapain adik kembali mengambil Hp bukannya lari saja?”. Belum saja pertanyaannya dijawab, ia kembali melanjutkan. “makanya, dik. Lain kali jangan pulang terlalu larut, bahaya. Yang pulang siang hari saja bisa jadi target kejahatan, apalagi yang pulang malam. Malam itu rawan kejahatan, dik!”. Ujar petugas paruh baya itu menasihati. Kemudian, dia diinterogasi, suasana menjadi hening setelah Asa selesai diinterogasi.
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Setelah merasa cukup tenang, Asa pamit hendak meninggalkan Pos polisi tersebut. “pak, bisa antarkan saya nggak?, saya masih takut dengan kejadian tadi. Takutnya ibu saya khawatir kalau saya tidak pulang” ujarnya dengan wajah ngeri. “kenapa tidak besok saja, dik?. Atau adik telepon orangtuanya suruh jemput kemari, lagipula jaraknya sudah tidak terlalu jauh kan dari sini?”. “sudah, pak. Tapi nomornya tidak bisa dihubungi”. Keluhnya. “aduh… sayang sekali, motor yang ada di depan bensinnya sudah habis, dik. Besok pagi adik baru bisa saya antar”. Petugas itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan “adik tenang saja, preman-preman tadi tidak akan berani membuntuti adik. Mereka memang sudah sering berkeliaran di sekitar sini, tapi tak pernah berani lewat Pos ini. Jadi saya bisa jamin kalau adik akan aman-aman saja, adik bisa pulang dengan tenang, percaya dengan bapak”. Usul si petugas dengan penuh keyakinan.
Tepat pada pukul 03:15 dini hari, Asa memberanikan diri pamit setelah selesai mengisi baterai ponselnya. Petugas Pos ikut menemaninya sampai ujung pertigaan. Dari sini, ia kemudian berjalan sendirian sambil menenteng tas hitam dan almamater hijaunya. Selang berapa lama setelah ia menyalakan ponsel, panggilan kembali masuk dan itu dari Bundanya. “Halo, halo… Asa, gimana kabar kamu, nak?. Kamu baik-baik aja, sayang?, Posisi kamu sudah di mana sekarang?. Bunda khawatir sekali kamu kenapa-kenapa. Bunda sudah lapor polisi soal kejadian tadi”. Tangis sang Bunda. Asa dapat membaca bahwa Bundanya sangat khawatir, bahkan Bunda-nya berkata ia sempat pingsan karena Hp-nya tak bisa dihubungi beberapa kali. “Bunda tenang aja. Tadi ada polisi yang nyelamatin Asa”. Ia kemudian menceritakan apa yang dikatakan oleh petugas tadi kepada sang Bunda dengan penuh antusias.
“Loh, sejak kapan di Jl. Pakem ada Pos Polisi?”. Asa langsung melonjak mendengar pertanyaan sang Bunda, ia pun menjelaskannya. Namun, sepengetahuan Bundanya di jalan itu tak pernah ada Pos Polisi atau hal-hal yang berhubungan dengan itu. sejak dulu, jalanan itu sangat sepi dan hanya ada hutan. Memang dua tahun lalu, pihak kepolisian berencana membangun Pos, tetapi tidak jadi karena beberapa alasan, bahkan sangat jarang ada orang yang melintas. Jantungnya kembali berdebar mengetahui semua itu. sekujur tubuhnya gemetar dan kehilangan keseimbangan. Tiba-tiba, pundakanya terasa berat seperti ada yang menepuk.
Ia melihat pundaknya yang sebelah kanan dan persis… Tangan yang begitu kasar dan lebar telah menempel. “akhhhh!!!”. Asa melenguh kesakitan karena pundaknya bagai ditekan benda keras. Tangan itu terlepas dengan sendirinya. “Ya ampun, nak. Kamu kenapa?”. Bundanya mulai panik mendengar Asa merintih. Pemuda itu berbalik.
Apa yang dilihatnya sangat mengagetkan. Sosok pria berbadan besar dan kekar telah berdiri dengan kepala berdarah. Jantungnya semakin melonjak ketika ia tahu bahwa pria itu adalah orang yang hampir menusuknya tadi. Raut muka pria kekar itu sangat bengis, napasnya berat. Ia mulai mengeram. “mau kemana kau sekarang, nak?” Tanyanya menyeringai sambil menatap dalam-dalam ke mata anak itu. “Sudah kukatakan padamu, bahwa kau tak akan bisa lolos. Malam ini adalah malam terakhir kau melihat cahaya bulan”. Ujar suara di belakang pria itu, yang telah berdiri tegak sambil menenteng parang sementara kawannya yang gondrong membawa gergaji. “Lari-lah, selama kau masi bisa”. Tawar si pria botak sambil tersenyum diiringi pandangan tajam.
Karena panik, tanpa berpikir panjang ia langsung berlari tak tentu arah, dan masuk ke dalam hutan. Asa terus berlari dengan Hp yang masih tersambung panggilan. Ia tak menghiraukan suara Bundanya lagi dan terus berlari dari ketiga orang itu.
Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah gubuk tua yang sudah reot. Ia menoleh ke belakang, tak ada tanda-tanda dari para penjahat. Pemuda itu kemudian bersembunyi di dalam gubuk tua. “Bunda… Tolong bunda, tolong bunda… Toloooong!”. Bundanya dapat mendengar suara sang anak yang sangat ketakutan, namun Asa tak dapat mendengar suara sang Bunda karena ganggguan sinyal… Hpnya ia dekatkan ke bibirnya, Dr. Sinta dapat mendengar dengan jelas ketakutan sang anak. “Bunda… Mereka mengejar Asa lagi…” Ujarnya perlahan dengan suara yang hampir tak terdengar.
Suara langkah kaki terdengar berkeliling di sekitar gubuk. “cari dia sampai ketemu!!” seru salah satu dari mereka. “ya ampun, ya ampun ya ampun… Tuhan tolong… tolooong… selamatkan akuuuu”. Pekiknya perlahan sambil meremas-remas ponsel dan tangannya. Keringat dingin sejak tadi sudah memenuhi wajah dan seluruh tubuh pemuda itu. Terdengar pintu gubuk yang dibuka paksa diiringi langkah berat beberapa sepatu menerobos ruangan gelap itu, sementara cahaya senter menerobos setiap relung gubuk. Jantungnya semakin melonjak, ia berusaha menahan jeritan dan napasnya yang memburu. Langkah sepatu itu terus berputar-putar di dekat peti tempat Asa bersembunyi. “Bunda, selamatkan Asaaa”. Keluhnya. Ia tak tahu apa yang Bundanya lakukan, karena ia tak mendengar apa-apa selain beratnya langkah kaki ketiga orang yang mengejarnya.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari ponsel yang sedang ia pegang, ia segera mengecilkan volumenya sampai hampir tak terdengar. “Nak, di mana kamu sekarang?”, Tanya sang Bunda. “Asa lagi sembunyi di peti Bunda, tapi orang-orang itu masih keliling di sekitar petinya”. Bisiknya. “tolong Asa Bunda, toloooong… Mereka udah niat mau bunuh Asa sekarang!!!”. Tangisnya. “mereka udah pegang parang sama gergaji, mau potong kepala Asa” ia melanjutkan sambil mengintai keadaan dari lubang kecil di peti. Sementara, langkah sepatu berlalu lalang di sekitar peti itu. “Kamu tenang nak, sebentar lagi polisi datang ke situ, jangan keluar dari situ” seru Dr. Sinta. Anak itu tak tahu lagi harus bagaimana agar bisa lolos. sementara, setiap kali mendengar langkah sepatu itu mendekat jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
Langkah kaki mulai menjauh dari tempat itu satu persatu, dan hilang tak terdengar lagi. Detak jantungnya perlahan-lahan mulai melambat. “Suaranya udah ngga ada bunda, kayaknya mereka sudah pergi”, suaranya terdengar sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Bundanya sangat senang mendengar apa yang ia sampaikan. Namun, kesenangan itu tak bertahan lama, karena suara sepatu itu kembali mendekat dan memasuki gubuk mengarah ke peti, dan tiba-tiba berhenti. Beberapa saat, suasana menjadi hening. Asa kemudian terdiam dan segera mematikan layar Hp-nya.
Beberapa saat kemudian, ia merasa badannya terangkat ke udara bersama dengan peti itu. yang kemudian dibanting ke lantai oleh si Pria pendiam. Asa berteriak kesakitan karena peti itu dibanting dengan sangat keras hingga hancur. Pemuda itu berusaha untuk bangkit.
Ketika ia berbalik, ketiga pria kekar tersebut sudah berdiri tegak berdampingan menghadap dirinya dengan seringai licik mereka. Parang dan gergaji sudah berada di tangan dua orang, sementara pria yang satunya lagi hanya berdiam sambil menyeringai disertai tatapan tajam. “Bundaaaaa… Tolong selamatkan akuuuu!!!” tangisnya…. “ya ampuuun… ya ampuuun… ya ampuuuun, apa yang sebenarnya kalian inginkan???”. Pekik pemuda itu, gemetar badannya sudah mulai lesu diiringi dengan tangis. “tolooong… tolooong, jangan bunuh akuu… Tolooong”. pintanya. Ketiga orang itu diam mematung dengan seringai yang tampak sangat menyeramkan.
Ponsel masih menyala dan tersambung panggilan kepada si Bunda. Pria botak mulai mengangkat parannya tinggi-tinggi, sementara itu wajah Asa diselimuti oleh kepanikan. Pria itu mulai menghujamkan parang ke arahnya “ya ampun… Ya ampun… Ya ampuuun… Aaaaaaaah”. panggilan terputus.
Sekitar pukul 03:40 tiga orang terlihat mendatangi Pos Polisi di Jalan Pakem dengan pakaian yang berlumuran darah. Satu persatu mereka memasuki ruangan dan duduk di kursi yang telah disediakan di depan meja petugas.
“bagaimana?, kalian sudah bereskan?” Tanya petugas itu. “sudah bos!” jawab seorang pria kekar berkepala botak. “bagaimana dengan bagian-bagiannya?” “kami juga sudah bereskan, dan semua dalam kondisi sangat baik”. “bagus” puji sang petugas. Ia melanjutkan “kalau begitu, kau hubungi Dr. Sinta, katakan padanya bahwa kita sudah menemukan pendonor ginjal untuk suaminya, dan jangan lupa bagian yang lain kalian simpan baik-baik Karena itu harganya mahal”. Ia terdiam sejenak lalu menatapi ketiga orang itu. “oh iya. Mata dan paru-parunya sudah dipesan oleh seseorang, besok kalian kirimkan ke orang itu dan jangan lupa, ambil bayarannya”. Tegasnya.
“satu hal lagi… Jon, kemana kau buang sisa badannya?” Tanyanya kepada pria pendiam. “sudah saya giling, bos. Untuk dijadikan daging bakso di warung kita”. Jawab pria itu dengan wajah yang datar. Bosnya hanya mengangguk mendengar apa yang ia katakan.
Tamat
Cerpen Karangan: Ramona Dian Blog / Facebook: Adian syah