“Akhirnya ketemu juga!”
Aku mengabaikan pekikan kegirangan itu. Pemandangan di depan mataku ini jauh lebih penting dan siapapun yang menyebabkan pemandangan ini pasti sudah gila.
“Lia, ada apa? Kenapa—” Sobatku, Annie, menghampiriku yang terpaku di depan mulut gang, lalu ikut melihat ke arah yang sama denganku. “Ya Tuhan…” pekiknya pelan. “Ini… cuma mimpi… kan?” “Aku harap ini cuma mimpi,” kataku muram.
Kami menatap mayat di dalam mesin arcade tua itu dengan ngeri. Dari rambut dan bentuk tubuhnya, jelas-jelas mayat itu dulunya seorang gadis yang cantik. Kepalanya yang tertunduk menyebabkan rambutnya yang berwarna pirang menutupi seluruh wajahnya. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh sayatan pisau, sebagian masih mengucurkan darah. Kulitnya begitu pucat hingga nyaris transparan dan kebiru-biruan. Kedua tangannya yang lebam-lebam dirantai menggantung ke langit-langit mesin tua itu. Bajunya yang berupa terusan biru sudah tidak jelas bentuknya karena terkoyak di sana-sini, namun terasa familiar bagiku. Cipratan darah memenuhi dinding kaca mesin itu, dan sisanya menggenangi bagian dasar mesin.
Kelihatannya, gadis itu dimasukkan lewat bagian atas mesin yang dibongkar terlebih dahulu dalam keadaan sekarat. Mesin itu bahkan sudah dipreteli. Bagian atasnya yang telah dibongkar direkatkan kembali dengan semen, begitu juga dengan seluruh lubang yang ada. Kaca di bagian depan mesin berhiaskan banyak retakan halus. Intinya, baik mesin maupun mayat tersebut, keduanya pasti mengalami kejadian yang sangat buruk jika dilihat dari keadaannya.
“Lia, kita harus panggil polisi!” Annie menatapku dengan tubuh yang gemetaran. Melihat aku tidak bereaksi apapun, Annie menarik kupelan. “Lia!” “Ann,” aku menegaskan suaraku hingga dia terdiam. “Lihat di dinding transparan itu. Darahnya membentuk semacam tulisan.” “Lupakan saja! Aku tidak tahan melihatnya terlalu lama!” Annie menutup matanya dengan kedua tangannya. Memangnya dia kira aku tahan melihat mayat itu lama-lama? Sayangnya rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku sehingga aku menatap mesin tua itu lekat-lekat. Ya, walaupun cukup sulit untuk melihatnya karena hanya berupa cipratan-cipratan, aku berhasil membacanya. ?|_, >|?NMC|. Apa artinya ini? Tanpa ragu, aku memotretnya.
Aku telah mengamati setiap petunjuk yang ada dari berpuluh-puluh sumber yang ada di sana, dan setelah yakin tak ada lagi yang harus kuamati, aku segera menelepon Scotland Yard dengan laporan penemuan mayat. Tak lama berselang, sekelompok polisi datang ke gang kumuh di daerah Whitechapel ini.
“Cordellia!”
Aku nyaris berteriak girang begitu pamanku datang. Itu artinya, pamanku-lah yang akan mengurus kasus ini.
Setelah memberi sederet laporan beserta berbagai keterangan kepada pamanku, beliau menyuruh kami pulang setelah berterima kasih atas penemuan kami ini. Dia bahkan memberi kami masing-masing sekantong cokelat. Dasar, memangnya kami ini anak kecil? Aku mengomel dalam hati. Well, setidaknya Annie lumayan tenang setelah menerimanya.
Sebenarnya, 1 jam yang lalu kami masih menikmati liburan kami ini di London yang merupakan kota kelahiranku dan ibuku. Sejak pagi, kami sudah sibuk mengelilingi kota ini. Pertama, kami mengunjungi Imperial War Museum yang memiliki pilar-pilar ala Yunani di bagian depannya. Bangunan itu bagaikan mansion bangsawan Yunani. Begitu luas dan megah. Museum itu didirikan pada tahun 1917 untuk merekam usaha dan pengorbanan Inggris di perang sipil dan militer ketika Perang Dunia I. Setelah puas melihat-lihat, kami beristirahat di taman museum yang pepohonannya sudah berwarna kuning kecokelatan. Sekarang memang sedang musim gugur, dan akan berganti menjadi musim dingin kira-kira 1 minggu lagi.
Saat kami sudah mulai bosan, kami memutuskan untuk pergi ke Tower Bridge, jembatan yang ditopang oleh 2 bangunan menara yang melintasi sungai Thames. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 AM ketika kami sampai di sana. Untungnya karena cuaca “mendung” sejak tadi pagi, kami terlindung dari ancaman sinar matahari yang ganas. Baru beberapa saat kami di sana, Annie sudah mengajakku ke Whitechapel di City, Kota Tua versi London.
“Seriusan kamu mau ke sana?” tanyaku untuk kesekian kalinya. “Iya dong! Kapan lagi aku bisa liburan bareng kamu?” katanya dengan mata berkilat-kilat. Sepertinya stok semangat Annie hari ini sedang penuh. Mungkin jika dia melakukan tes psikologi, aku tidak akan kaget jika dokter berkata bahwa dia positif mengidap ADHD. “Ya udah deh…” jawabku pasrah. Sebenarnya aku tidak begitu suka pergi ke Whitechapel. Wilayah itu terkenal akan mitos Jack the Ripper, dan entah mengapa firasatku berkata bahwa aku harus jauh-jauh dari daerah itu, bahkan walaupun kejadian Jack the Ripper sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Namun, Annie adalah sahabat kesayanganku dan aku rela melakukan apapun untuknya.
Alih-alih mengunjungi tempat-tempat wisata seperti Whitechapel Gallery (satu-satunya tempat wisata di Whitechapel yang kutahu), dia lebih memilih untuk berputar-putar di wilayah tersebut. Aku tidak pernah menghafal jalan di Whitechapel, sehingga aku tidak pernah tahu di mana aku berada. Anehnya sobatku itu malah seolah sudah sering sekali datang ke sini. Dia tidak pernah kelihatan bingung saat berbelok, tidak pernah bertanya tentang jalan ke orang sekitar, dan tahu tempat yang menjual pie daging kesukaannya. Saat kutanya tentang hal tersebut, dia hanya menjawab bahwa orangtuanya sering kemari dan dia sering sekali diajak berjalan-jalan di sini.
Aku memutuskan untuk melihat-lihat sekitar, saat Annie sedang mengantri untuk membeli makanan di toko Pie Factory. Aku melewati berbagai bangunan besar bertingkat dan ruko-ruko kecil. Sialnya, saat aku hendak kembali ke toko kue itu, aku lupa berapa kali aku telah berbelok. Sialnya lagi, aku harus mengawet-awet kuota internetku yang sedang sekarat. Alhasil aku harus berjuang menemukan jalan dengan instingku yang tidak begitu akurat tanpa mbah Google yang sakti.
Tiba-tiba, Annie meneleponku. “Kamu di mana sih?” omelnya begitu aku mengangkat telepon itu. Aku mencari-cari penanda nama jalan terdekat. “Vine Street. Tadi sempet nyasar, tapi udah oke kok.” Mungkin, tambahku dalam hati. “Apa? Vine Street?” “Iya, kenapa?” “Eh, uh, ga apa-apa sih. Tapi di sana banyak preman. Kamu hati-hati ya. Jangan masuk ke tempat-tempat yang gelap.” “Iya, iya. Ini aku lagi coba cari jalannya. Kamu jangan telepon dulu, baterainya hamper habis.” “Mending aku yang ke sana deh. Kamu tunggu ya.” “Eh tapi…” sebelum aku sempat bicara, Annie sudah menutup teleponnya.
Ya sudahlah, lebih baik aku tetap berjalan. Aku menatap jalan asing nan membingungkan di depanku. Pelan-pelan aku menelusuri jalan asing tersebut. Tahu-tahu saja, ada gang kecil yang gelap di sebelah kananku. Perasaan aneh menjalari punggungku. Menurut firasatku, ada sesuatu di sana. Sesuatu yang mengerikan.
Tanpa sadar, kakiku telah membawaku ke gang tersebut. Gang itu gelap sekali. Ada sesuatu berwarna kusam di ujung gang. Aku menyalakan senter ponselku dan menyorotkannya ke benda itu. Dan saat itulah aku melihat pemandangan paling mengerikan yang menghantuiku sepanjang hidup.
—
Esok harinya, sejak pagi-pagi buta aku sudah pergi ke kantor Scotland Yard tempat pamanku, Sir Arthur Whidsore, bekerja. Berhubung tadi malam beliau tidak pulang, aku yakin sekarang beliau sedang sibuk di kantornya. Sesuai dugaanku, Paman Arthur sedang terlihat frustasi dengan laptop di hadapannya dengan tumpukan gelas kertas yang tadinya berisi kopi dan banyak sekali bungkus roti berserakan di atas mejanya. Beliau pasti telah bergadang semalaman.
“Good morning, Uncle Arthur,” sapaku. Beliau hanya menanggapi sapaanku dengan senyuman kecil, lalu kembali menekuni laptopnya.
Aku menaruh bungkusan berisi pie daging pemberian Annie kemarin yang telah kupanaskan sebelum aku pergi. “Bisakah kau beritahu aku tentang kasus di Whitechapel kemarin?” pintaku.
Paman yang mudah sekali disuap dengan makanan langsung menjawab, “Masih buntu, namun kami telah mengidentifikasi mayatnya. Dia adalah seorang gadis bernama Emilia Crossforde. Dia telah dinyatakan hilang sejak 5 hari yang lalu. Menurut adiknya, Emilia pergi ke Greenwich pada tengah hari untuk mengerjakan tugas kuliah bersama seorang temannya. Cukup lama dia di sana, kira-kira 3 jam. Setelah itu, dia pamit pulang kepada temannya. Namun seperti yang kau tahu, dia tidak pernah sampai di rumahnya. Emilia lenyap begitu saja dan baru ditemukan kemarin olehmu dalam keadaan mengenaskan.” Paman memutar layar laptopnya hingga aku dapat melihat foto seorang gadis cantik di sana. “Sayang ya, padahal dia cantik sekali.”
Aku tercekat tanpa bisa berkata-kata. Ya, aku mengenalinya. Dia adalah gadis yang sempat beradu mulut dengan Annie. Aku ingat betul terusan birunya yang berbordir burung robin, burung khas Inggris, dan 5 hari yang lalu adalah saat aku dan Annie pergi ke Royal Observatory Greenwich. Kurasa, dia hanya beberapa tahun lebih tua dari kami.
Saat itu, Annie sedang sibuk memotret dengan ponsel barunya. Dia begitu girang sampai-sampai menabrak seseorang di hadapannya dan membuat ponselnya terpental entah ke mana. Bukannya meminta maaf atau sekedar membantu Annie mencari ponselnya, dia malah terus berjalan dengan cepat. Aku bisa memakluminya, karena dari gerak-geriknya dia sedang terburu-buru. Namun tidak dengan Annie. Dengan panik dia mencari-cari ponselnya, namun benda itu tidak ada di manapun. Geram, dia berteriak, “Hoi!” Gadis yang menabraknya itu berbalik. “Apa? Aku sedang terburu-buru.” “Kamu menabrakku dan sekarang ponselku hilang!” Gadis itu tesenyum mengejek. “Salahmu sendiri, dasar turis aneh!” cibirnya. Annie nyaris melempar gadis itu dengan sepatu ankle boots-nya yang ber-hak 7 cm kalau aku tidak menahannya. “Udah, jangan malu-maluin. Kita cari bareng-bareng ya,” kataku selembut mungkin agar dia tidak marah.
Akhirnya, kami menghabiskan waktu seharian itu untuk mencari ponsel Annie yang ternyata terlempar ke dalam box es berisi minuman dingin. Ponsel itu nyaris hilang selamanya kalau saja seorang gadis berambut ombre sebahu tidak mengambilnya.
“Hai, kurasa ini milikmu,” katanya seraya memberikan ponsel itu kepada Annie. Annie langsung menangis lega. Ponsel tersebut merupakan ponsel pertama yang ia beli dengan uangnya sendiri, wajah kalau dia seperti itu. “Terima kasih,” ujar Annie. “Siapa namamu? Aku akan mentraktir makan malam kalau kau mau.” “Maaf, aku sedang terburu-buru,” dia mengeluarkan selembar kertas mungil dan menuliskan sesuatu, lalu memberikannya pada Annie. “Hubungi saja aku besok. Dah!”
Sampai gadis itu menghilang, Annie masih menatap arah kepergiannya. “Dia baik ya, gak kayak cewek songong tadi. Ntar aku sentil dikit aja, tau rasa dia!” cetus Annie. “Dasar anak kecil,” aku menjitak kepalanya. “Maklumin aja, ini bukan Indonesia, tempat di mana orang-orangnya ramah luar biasa.” Annie hanya mendengus kesal.
Mengingat seluruh percakapan tersebut, aku merasa tidak enak.
“Ada apa, Cordelia?” tanya Paman dengan raut khawatir. “Paman, apa paman memerhatikan kaca mesin arcade itu?” “Untuk apa?” “Kurasa, ada pesan yang ingin Emilia sampaikan pada kita.” “Yaitu?”
Aku mengeluarkan ponselku. Aku telah mengedit foto itu sehingga hanya tulisannya yang terlihat. Habis, mayatnya mengerikan sekali. Jujur saja, aku hanya berpura-pura berani di hadapan Annie kemarin. Kalau aku ikut-ikutan memasang tampang siap lari, Annie akan semakin ketakutan.
“Oh… motif acak itu rupanya. Itu hanya cipratan darah yang random,” ujar Paman Arthur seraya menggigit pie dagingnya. “Kalau kita perhatikan baik-baik, simbol-simbol ini membentuk beberapa huruf: EL, KCNMD,” Kutuliskan yang kumaksud di atas selembar kertas. Paman Arthur memandang kertas itu dengan ekspresi kebingungan. “Temuan yang bagus, tapi aku masih tidak mengerti apa maksudnya. Apakah ini semacam pesan atau…?” Aku mendengus. “Bacalah secara terbalik. Jika paman berada di posisinya, paman pasti akan menulisnya dari kiri ke kanan, sesuai pandangan mata paman. Namun karena itu kaca, tulisan yang terlihat seolah-olah terbalik. Pesan yang ingin disampaikan oleh Emilia adalah LE, DMCNK,” tuturku.
Cerpen Karangan: Charissa. E IG: choco_de_ville Cerpen lama yang dulu aku tulis untuk proyek akhir pelajaran Geografi waktu SMP, hahaha. Mohon maklum ya masih agak kaku XD
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com