Aku telah merenungi masalah ini semalaman penuh. Setelah aku menyadari bahwa tulisan itu pastinya ditulis berdasarkan arah pandangan Emilia sendiri, aku menemukan titik terang. LE pastilah menunjukkan tempat, entah tempat apa. Well, aku berhasil menemukan ini setelah membaca ulang belasan novel detektif yang aku tahu, dan berkat otakku yang ajaib ini.
Paman Arthur membelalak. “Lalu, apa kepanjangan dari 7 huruf mati itu?” “Aku pun masih memikirkannya, namun aku berhasil memecahkan 2 huruf pertama. LE adalah nama tempat, yaitu London Eye, atau begitulah asumsiku. Mungkin saja Emilia disiksa hingga sekarat di London Eye dan kemudian dibawa ke Whitechapel untuk tujuan tertentu. Entah karena insting atau memang kesigapan Emilia, dia berusaha memberi petunjuk sesamar mungkin agar pembunuhnya tidak menyadarinya. Hal ini menunjukkan bahwa Emilia masih hidup ketika dimasukkan ke dalam mesin arcade itu kemarin malam, namun meninggal tak lama kemudian karena kehabisan oksigen.”
Wajah Paman Arthur seolah telah mendapat pencerahan. “Karena itulah bagian atas mesin itu direkatkan dengan semen dan mengapa setiap lubang pada mesin itu diisi oleh semen!” pekiknya. “Tapi bagaimana kau tahu dia meninggal tak lama setelah dibawa ke dalam mesin itu dan bahwa dia baru ada di sana kemarin malam?”
“Ada banyak retakan yang masih baru di kaca mesin tersebut yang dihiasi darah. Hal ini membuktikan bahwa Emilia mencoba memecahkan kaca tersebut dengan tangannya sendiri. Seharusnya dia dapat berhasil, namun rantai menghambat pergerakannya. Lagipula Paman pun tahu kan betapa sumpeknya dikurung di suatu tempat yang begitu sempit dan nyaris seluruh dindingnya terbuat dari kaca? Belum lagi seluruh lubang pada mesin itu telah diisi semen. Siapapun tidak akan bertahan lebih dari 5 menit tanpa oksigen di dalam ruang tertutup seperti itu. Soal waktu dia dibawa ke sana, itu mudah saja. Aku dapat mencium bau semen baru begitu mendekati mesin itu. Selain itu, semen di mesin itu berwarna abu-abu gelap. Itu tandanya, semen baru “dipasang”. Semen yang sudah agak lama akan berwarna lebih pucat dan retak akibat hujan dan suhu dingin,” tuturku panjang lebar. Rupanya ada gunanya aku hobi membaca novel-novel detektif, terutama Sherlock Holmes.
“Demi Tuhan, Cordelia, bagaimana caranya kau bisa begitu jeli? Aku yang bahkan sudah lama menjadi detektif memerlukan waktu berhari-hari untuk membuat kesimpulan seperti itu!” seru Paman Arthur. Tanpa mengindahkan pujian pamanku itu, aku memandangnya dengan serius. “Paman, bisakah paman memeriksa rekaman CCTV di London Eye sekarang juga?” “Tentu saja, Cordelia. Tunggulah sebentar, aku akan mandi dan bersiap terlebih dahulu,” katanya dengan girang bak anak anjing yang diberi tulang.
Tak lama kemudian, kami sudah berada di London Eye, kincir raksasa terbesar di dunia. Seharusnya aku akan kegirangan begitu tiba di sini dengan keinginan untuk menaiki kincir tersebut tanpa memikirkan hal lain. Namun sekarang, aku hanya ingin memastikan keraguanku semalam. Jika keraguan ini benar, itu artinya hidup seseorang akan hancur begitu saja.
Menurut instingku, gadis malang itu dipancing untuk datang ke London Eye tak lama setelah dia berpamitan pada temannya itu. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana orang yang kujadikan tersangka itu menghubungi Emilia.
Lamunanku tak bertahan lama. Dalam waktu singkat, Paman Arthur telah mendapat akses untuk mengutak-atik rekaman CCTV di server pusat. “Cordelia, rekaman 5 hari yang lalu sudah tidak ada dan akan agak sulit untuk mengaksesnya sekarang. Kau tentu mengerti cara kerja CCTV bukan?” Aku mengangguk—CCTV biasanya di-reset setiap beberapa hari sekali tergantung dari kapasitas memorinya dan disimpan di server pusat—namun aku memang tidak berniat melihat rekaman 5 hari yang lalu, melainkan kemarin, tepatnya pada dini hari.
“Memang apa hubungannya?” Sekali lagi, aku mendengus. “Memangnya paman pikir dari mana dia dibawa ke Whitechapel? Apalagi bukankah paman ingat bahwa London Eye ditutup selama beberapa hari terakhir akibat kerusakan pada kontrol pusatnya? Pelaku memanfaatkan situasi ini untuk menyembunyikan Emilia di salah satu kapsul kincir itu.” Pamanku itu malah mengernyit. “Bukankah jika sedang ada renovasi tempat ini malah tidak aman bagi si pelaku? Para pekerja pasti memeriksa bagian-bagian setiap kincir ini kan?” “Paman, pihak pengelola tempat ini selalu mengadakan pemeriksaan mesin dan bagian-bagian lainnya setiap bulan dan pemeriksaan telah dilaksanakan 2 minggu yang lalu. Jika hanya bagian kontrol pusat yang rusak, para pekerja hanya akan memeriksa bagian-bagian kincir di dekat kontrol tersebut untuk memastikan kerusakan itu tidak menjalar ke seluruh bagian. Jika bagian di dekat kontrol pusat baik-baik saja, maka tidak ada gunanya memeriksa kapsul sebanyak itu satu-persatu,” jelasku dengan sedikit kesal. Inikah detektif Whidsore yang terkenal itu?
Pamanku mengunci mulutnya selama aku mengutak-atik server CCTV tersebut. Pada awalnya, pintu gerbang itu kosong melompong tanpa ada seorangpun yang melaluinya. Namun pada pukul 3 AM, ada 2 orang mencurigakan yang berpakaian serba hitam dan tertutup tampak keluar dari London Eye. Mereka menggotong sesuatu yang tampak panjang dan berat, kemudian membawanya ke dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Ada secuil kain berwarna biru yang menyembul dari balik bungkusan itu.
“Nah, kelihatannya ini percobaan pembunuhan pertama mereka. Dasar amatiran,” komentarku. “Dan bolehkah aku tahu darimana asumsimu itu berasal?” “Orang sebodoh apapun pasti tahu ada banyak kamera yang dipasang di tempat umum seperti ini. Jika mereka sudah professional, mereka akan mengincar titik-titik buta setiap kamera CCTV.”
Pamanku mengangguk-angguk. “Sekarang aku mengerti jalan pikiranmu. ”Dia menoleh padaku dengan tampang penasaran. “Apa kau sudah menduga pelakunya?” “Itu yang kutakutkan, karena instingku berkata pelakunya amat dekat dengan kita,” tuturku. Atau lebih tepatnya aku tidak bisa menerima kalau dialah pelakunya, tambahku dalam hati. Paman Arthur menepuk kepalaku. “Sudahlah, mumpung kau di sini, bagaimana jika kita bersenang-senang sebentar di sini?” “Bukankah tempat ini masih dalam perbaikan?” “Ya, tapi kau lupa bahwa mereka sudah menyelesaikannya kemarin malam dan hari ini mereka akan kembali membukanya untuk umum.” Aku tersenyum girang. “Baiklah kalau begitu!”
Kami menghabiskan 2 jam berikutnya dengan mengelilingi setiap sudut London Eye. Karena hari ini adalah hari kerja alias weekday, tempat ini tidak begitu ramai. Kami dapat leluasa berkeliaran di dalamnya, sekaligus mencari petunjuk-petunjuk yang ada.
Di dekat kaki kincir raksasa itu, aku menemukan selembar kertas yang diremas. Astaga, baru saja tempat ini dibuka dan seseorang sudah membuang sampah sembarangan. Orang Inggris terkenal bersih dan disiplin, dan pelaku pembuangan ini merusak citra tersebut.
Pandanganku terpaku pada sudut kertas yang terkena noda kecokelatan, persis warna darah yang telah mengering. Aku segera membuka kertas itu. Isinya menjelaskan segela keraguanku.
“Sudah selesai. Wanita itu telah tiada. Terima kasih atas bantuanmu, Mad. ?Ann”
Ini adalah tulisan tangan Annie. Tulisan tangan sahabat kesayanganku. Tidak, tidak, aku tidak akan terkejut. Aku sudah tahu semua ini sejak awal. Sejak Paman Arthur menunjukkan foto Emilia padaku tadi pagi, aku sudah menduganya.
“Paman,” aku menghampiri pamanku yang sedang asyik menyeruput kopinya. “Aku… sudah tahu pelakunya…” Pamanku menyemburkan kopinya. “Apa? Siapa?” “Annabeth, sobatku.” “Kau serius?”
Baik pamanku maupun seluruh polisi yang ada di dalam ruangan itu menatapku tidak percaya. Ya, setelah aku mengungkapkan hal itu tadi, Paman langsung mengajakku ke kantor Scotland Yard dan memintaku menjelaskan segalanya lagi.
“Memangnya menurut kalian ini tidak terlalu kebetulan? Kami sempat bermasalah dengan korban dan Annie-lah yang paling marah saat itu. Annie adalah orang yang mampu mendendam hingga berbulan-bulan, dan dia akan melakukan apapun untuk membalaskan dendamnya. Aku bisa membuktikannya. 2 bulan lalu, saat ketua kelas kami nyaris bunuh diri akibat dibully oleh kelas 12, Annie meneror kelas 12 dengan begitu ganas hingga ketua kelas 12 datang ke rumah ketua kelas kami dan bersujud meminta ampun di depan kami. Setahun yang lalu, saat aku dijahili dengan agak keterlaluan oleh seorang teman sekelasku, Annie menyebarkan gossip buruk tentangnya hingga dia stress dan tidak mau masuk sekolah selama berminggu-minggu. Semua itu dilakukannya sendirian tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Namun kali ini, entah mengapa dia tega membunuh seseorang.”
Investigasi berjalan sangat mulus. Annie terbukti bersalah dengan ditemukannya baju bernoda darah dan sekantung bubuk semen di kamar hotelnya. Namun, dia tidak mau memberitahu kami siapa rekannya. Dia bersikeras bahwa orang itu hanyalah orang yang dia mintai tolong tanpa tahu itu adalah mayat. Dia memancing Emilia dengan bantuan rekannya itu. Dia juga memilih London Eye atas saran rekannya tersebut. Seluruhnya dibuktikan melalui tumpukan surat tak beralamat di kamarnya.
“Kenapa kamu ngelakuin ini, Ann?” Aku berusaha mati-matian agar tidak menangis. Annie tersenyum bengis. “Dia emang pantes mati kan? Kenapa? Kamu gak terima? Dia bukan siapa-siapa kamu!” “Ga ada seorangpun yang pantes untuk dibunuh, penjahat sekalipun. Dan kamu tega mencabut nyawa orang lain hanya karena dia bikin kamu kesel?” Aku memandang sobatku itu tidak percaya. “Tuh kan, kamu emang bukan sahabat sejati aku. Kamu lebih milih untuk membela orang asing ketimbang aku! Dan sekarang, setelah kamu tau semuanya, kenapa kamu gak melindungi aku dari polisi? Mad-lah sahabat sejati aku, dan kamu cuma orang bermuka dua!” teriaknya berapi-api, namun kemudian terdiam, seolah-olah telah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia katakan.
“Siapa itu Mad? Kamu sebut nama itu 2 kali, di surat dan 3 detik yang lalu,” ujar Paman Arthur tegas. “Bukan siapa-siapa! Cuma temen baru aku!” jawabnya ketus. “Ga ada gunanya kamu melindungi si Mad ini,” kataku. “Who cares?!” bentaknya. “Pokoknya kalo kalian mau kirim aku ke penjara, silahkan! Aku gak peduli!”
Akhirnya, aku membiarkan pamanku dan rekan-rekannya membawa Annie ke kantor polisi. Aku ikut menghadiri persidangannya beberapa hari kemudian. Aku dapat melihat keluarga korban menangis tanpa henti. Namun, aku melihat seorang gadis yang saat itu menemukan ponsel Annie di antara mereka. Dia sibuk menenangkan seorang wanita yang rupanya adalah Ibu korban. Aku segera mencari informasi tentang dirinya dari Paman Arthur.
“Oh, namanya Lyvia Madison. Keluarganya sangat dekat dengan keluarga Crossforde,” jawabnya.
Madison. Mad. Sudah kuduga.
Dialah yang berada di balik semua ini.
-Fin
Cerpen Karangan: Charissa. E IG: choco_de_ville Cerpen lama yang dulu aku tulis untuk proyek akhir pelajaran Geografi waktu SMP, hahaha. Mohon maklum ya masih agak kaku XD
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com