“Kriing… kring…” dering telfon itu mengganggu tidurnya, dengan malas ia mengambil hp yang sedari tadi berbunyi. “Halo.. dengan siapa ya?..” tanya Arhan dengan suara yang parau. “Ttttoloong…” dari seberang telepon genggam terdengar suara orang yang merintih meminta tolong. Tiba tiba, tiiit… panggilan terhenti dengan sendirinya. Arhan mengernyitkan dahi, “pagi pagi begini udah iseng aja” gumamnya. Ia memandang layar hp mencoba melihat riwayat panggilan. “Ah benar benar si Ari, kalau ngerjain orang suka kelewatan. Apa susahnya sih bangunin orang dengan cara yang baik!!” ujarnya menahan kesal.
Arhan beranjak dari tempat tidur. Ia segera mandi dan bersiap berangkat ke kantor. “Awas lu ri, ntar gua kerjain balik” Arhan berikrar akan membalas kekesalannya.
Setibanya di depan kantor, Arhan merasa aneh. Perasaan ia bangun kesiangan, tapi kenapa kantor masih sepi? Tidak terlihat ada seorangpun di sana. Arhan bergeming, ia memasuki kantor seperti biasa, membuka jendela, menyalakan AC dan melakukan persiapan persiapan kecil sebelum mulai berkerja. Arhan lalu pergi menuju mejanya. Ia pun mengambil ID card yang ia simpan di laci meja. Sebelum memasang ID card tersebut, ada sesuatu yang memancing perhatiannya. Di ID card itu terpampang fotonya, tapi dengan nama Arvi. “Arvi.. siapa Arvi?” pikirnya. Arhan tak ambil pusing. Ia mengaitkan ID card itu di leher, lalu melanjutkan kerjanya.
Satu jam berlalu, jam demi jam berikutnya berlari menyusul. Sementara Arhan yang kini terlalu fokus dengan headset dan komputernya belum jua menyadari kalau sedari tadi ia hanya duduk seorang diri di kantor. Hingga akhirnya… Kring… kring… alarm makan siang berbunyi. Arhan melepas headset yang sedari tadi menutupi telinga. Tak lupa ia juga mematikan komputer yang belum berhenti menyala. Sebelum bangkit dari tempat duduk, ia ngulet sejenak melepas penat yang mulai menyerang tulang punggung dan persendian. Sesaat setelah menoleh ke arah yang berbeda ia baru tersadar. “Sedari tadi aku duduk seorang diri di sini?” Gumamnya dalam hati. Arhan melihat kalender yang tergantung di dinding; hari Rabu tanggal 2 Maret 2022. Tidak ada yang aneh, hari ini bukan tanggal merah dan tidak ada pengumuman libur dari kantor sebelumnya.
Arhan bergegas keluar kantor. Ia mengunci pintu dan memutuskan untuk kembali ke rumah sembari mencari berita tentang agenda pegawai kantor di hari itu. Sebelum tiba di rumah, ia mampir sejenak ke warung makan langganannya. “Bu Surti, nasinya satu ditambah tempe orak arik sama ayam sambelnya satu potong, jangan lupa sambelnya banyakin terus minta kuah kaldunya bu, tapi dipisah” panjang bin lebar Arhan menjabarkan menu favorit yang biasa ia pesan.
Tak atraktif seperti biasanya, bu Surti tidak menyambut pelanggan setianya itu dengan hangat. Alih alih membalas dengan sapaan ala bu’de dan senyuman keibuannya yang khas, ia hanya melengos dengan wajah yang masam sambil mempersiapkan pesanan lalu menyerahkannya kepada Arhan. Arhan membayar pesanan sembari berlalu pergi, sementara pikirannya tak berhenti mengajaknya berdiskusi. “Ada yang tidak beres hari ini…”
Arhan melanjutkan kembali perjalanannya menuju rumah. Di sepanjang perjalanan, ia kembali merasakan keanehan. Perumahan warga yang biasanya ramai kini terlihat lengang dan sepi. Tak seorang pun terlihat melakukan aktivitas hariannya. Perasaannya semakin tidak enak. Ia pun mempercepat langkah menuju rumah.
Setibanya disana… Degg.. deg.. jantungnya berdegup kencang. Matanya nanar, tubuhnya lemas lunglai tak berdaya. Di depan matanya ia melihat rumahnya terbakar hangus. Tapi aneh, hawa panas dari rumah itu tak lagi terasa. Seolah rumah itu sudah terbakar berhari hari sebelumnya.
Kebingungan tak berhenti mengguncang keras kepalanya, dan berputar putar di sana seperti angin ribut. Sementara ia terus bertanya tanya dalam hati “Ahh… gila memang, Ada apa sih sebenarnya?”. Dengan penasaran yang menjadi satu dengan rasa takut, Arhan mencoba memasuki rumahnya yang sudah setengah hancur. Begitu ia tiba di depan pintu, bau menyengat menendang penciumannya. Aroma itu terasa familiar, tapi ia tak begitu ingat di mana pernah mencium aroma itu sebelumnya.
Setibanya di dalam, benar saja… Kakinya terkulai lemas, hampir saja ia jatuh terjerembab ke tanah. Arhan bersandar ke daun pintu sembari menutup mata, lantaran tak kuat melihat pemandangan yang tersaji. Mayat mayat yang hangus terbakar bergelimpangan di sana, ada yang masih utuh setengah badannya, ada yang hanya menyisakan sebagian anggota badannya, ada lagi yang sudah menjadi abu.
Arhan mencoba menenangkan pikiran, ia mengatur emosi, menstabilkan degup jantung yang sedari tadi berdetak kencang. Ia pun membuka mata lalu melangkah pelan, melewati tumpukan bangkai. Sudah seisi rumah ia susuri mencari petunjuk yang tersisa barangkali ada. Namun tampaknya, tak ada yang bisa ia temukan. Seisi rumah sudah hancur dan hangus terbakar. Ia pun keluar.
Di depan bangkai rumah itu ia terduduk. Arhan tak mengerti lagi harus bagaimana. Ia pun merogoh saku, mengambil telepon genggamnya. Ia mencari kontak Ari dan segera meneleponnya, “halo…” dari seberang suara seseorang terdengar. Suara itu bukan suara Ari, pikir Arhan. “Maaf, saya mau bicara dengan Ari” ujar Arhan. “Hei, Ari sudah mati, sebentar lagi giliranmu akan tiba” jawab orang itu dari seberang telepon. Arhan langsung membuang hp nya. Ia terkejut bukan main. “sial… kegilaan apa lagi ini” ujarnya dengan suara yang tercekat.
Arhan lalu bergegas. Ia ingin lari ke kantor untuk bersembunyi, dan tinggal di sana sementara waktu hingga kegilaan kegilaan ini berakhir. Tragedi yang menimpanya secara acak dan tiba tiba ini membuatnya tidak habis pikir. Dimulai dari Ari yang meneleponnya di pagi hari, kondisi kantor yang sepi, dan bu Surti yang berubah sifatnya hingga rumahnya yang terbakar dengan tumpukan mayat yang memenuhinya.
Namun, di sisi lain, kilasan ingatannya seolah memberi tahu bahwa ia pernah mengalami ini sebelumnya. Hanya saja setelah ia berpikir keras, jawaban tak kunjung ditemukan. Aah, tapi persetan dengan itu semua, yang ia tuju sekarang hanyalah kantor tempatnya bekerja.
Arhan bertolak ke sana, ia memacu langkah agar segera tiba di tempat itu. Belum lagi ia sampai, dari kejauhan ia melihat mayat teman teman kerjanya tergantung secara terbalik di kanopi kantor. Mata mereka membelalak, darah segar mengalir dari perut mereka yang terkoyak dan bermuara di wajah mereka yang membiru.
“Habis sudah,” pikirnya. Ia ingin berteriak meluapkan kekesalan. Tapi ia pun tak mengerti apa yang ia kesalkan. Ingin berteriak meminta tolong, tapi sudah pasti tak ada yang mendengar. Kala itu, semuanya terasa ambigu, bercorak tapi tak berpola, terjadi tapi seolah tak terangkai. Di situ Arhan duduk termenung, ia coba mengingat kembali apa yang telah ia perbuat. Ia urutkan kembali kejadian demi kejadian yang menimpanya di hari itu. Telepon yang berdering, pergi ke kantor, jalanan yang sepi, rumah terbakar hingga mayat teman temannya yang tergantung. Lalu ia mencoba mengingat hari kemarin, selumbari, hingga beberapa hari terakhir. Sayang, ingatannya kosong sekosong gelas yang terbalik. Tak ada satupun yang bisa ia ingat. Arhan pun memegang kepalanya, ia menangis, ia merintih… “tuhan, apa yang terjadi?”.
Lalu tiba tiba, angin berhembus pelan ke arahnya. Angin itu berdesir mengalir menyusuri pori pori, menyeruak masuk di balik rindangnya bulu roma yang mulai berdiri. Sementara jiwa Arhan mulai dihantui ketakutan. “Agaknya kini giliranku” ujarnya pasrah. Arhan memejamkan mata melupakan harapan, dan mencoba membiarkan segalanya terjadi.
Benda tipis dan tajam menyentuh lehernya, mengalirkan sensasi dingin yang menjalar di sekujur tubuh. Arhan membuka mata, dilihatnya sabit panjang sudah melingkar di leher. Arhan memutar kepala menoleh ke belakang, ternyata seorang pria dengan jubah hitam bertudung sedang berdiri memegang celurit panjang.
“Siapa kau?” tanya Arhan memberanikan diri Pria itu membuka penutup kepalanya. Ternyata, “Aaa.. aaa… aarii..?” dengan suara yang tersedat Arhan bertanya tak percaya. “iya, aku Ari, aku teman dekatmu dan aku adalah pembalasan”. Aaarghhhh…. Arhan melenguh panjang, darah segar mengalir dari tenggorokannya. Nafasnya tersengal sengal, tubuhnya terrguncang. Sementara pria berjubah hitam masih berdiri disana. Dengan seringai senyum yang menyeramkan ia menikmati setiap adegan yang dilihatnya. Setelah dirasa cukup, ia bergegas pergi meninggalkan tubuh Arhan yang tak bergerak lagi.
3 Maret 2022 Pagi itu, cahaya mentari menyeruak masuk ke kamar tidur Alex, ia tersentak dan terbangun dari tidurnya. “Aah…” ringisnya pelan. Alex memegang Kepalanya yang terasa berat, badannya juga letih, rasanya ia baru saja menjalani hari yang panjang. Tiba tiba, kriing… kriing… dering telepon berbunyi. Alex meraih handphonenya dengan malas. “halo… dengan siapa ya?” Alex membuka pembicaraan dengan suaranya yang parau. “Ttttoloong…” dari seberang telepon genggam terdengar suara orang yang merintih meminta tolong. Tiba tiba, tiiit… panggilan terhenti dengan sendirinya. Alex mengernyitkan dahi, “pagi pagi begini udah iseng aja” gumamnya. Ia memandang layar hp mencoba melihat riwayat panggilan. “Ah benar benar si Axel kalau ngerjain orang suka kelewatan. Apa susahnya sih bangunin orang dengan cara yang baik!!” ujarnya menahan kesal.
Alex beranjak dari tempat tidur. Ia segera mandi dan bersiap berangkat ke kantor. “Awas lu ri, ntar gua kerjain balik” Alex berikrar akan membalas kekesalannya. Setibanya di depan kantor, Alex merasa aneh. Perasaan ia bangun kesiangan, tapi kenapa kantor masih sepi? Tidak terlihat ada seorangpun di sana. Alex bergeming, ia memasuki kantor seperti biasa, membuka jendela, menyalakan AC dan melakukan persiapan persiapan kecil sebelum mulai berkerja. Lalu ia menuju mejanya. Setibanya disana ia membuka laci dan mengambil ID cardnya. Alex membolak balik ID card itu sembari mengerutkan dahi, ia heran, di situ terpampang fotonya tapi dengan nama Arhan. “Arhan? Siapa Arhan?” ujarnya bingung.
2 Januari 2022 Rombongan pelayat dengan setelan serba hitam berjalan beriringan. Dari jauh tampak seperti serombongan semut yang berjalan teratur dan rapi. Mereka menandu peti mati dengan jenazah yang terbaring di dalamnya. Mayoritas mereka pura pura menundukkan kepala menunjukkan empati atas kepergian si mayit. Sebagian yang lain berlagak sedih dengan memasang wajah yang lesu dan sendu.
Sementara itu, jauh di dalam hati mereka berteriak girang. Yah, siapa yang tidak senang dengan kepergian tuan tanah yang durjana itu. Rasanya, beban yang mengimpit kehidupan kini lepas. Tak terhingga lagi rasanya kekejian yang ditimpakan tuan tanah itu pada mereka. Mulai dari gadis gadis desa yang ia rampas haknya dengan sesuka hati. Hingga banyak nyawa yang melayang akibat tak tunduk pada titahnya. Hanya saja kebaikan Bu Surti, ibu dari tuan tanah itu membuat mereka tergerak untuk menunjukkan sedikit empati walau terpaksa.
Prosesi pemakaman berjalan lancar. Para warga desa yang ikut melayat pulang satu persatu. Tersisa bu Surti yang masih duduk di samping makam sang putra. Ia menengadahkan kepala ke atas sembari berbicara kepada sang pencipta “tuhan, aku tahu anakku bejat, aku tahu dia kejam dan keji. Dosanya banyak, salahnya berlimpah, tapi aku memohon kemurahanmu tuhan. Setidaknya beri dia sedikit ampunan, dan mudahkanlah kehidupannya di alam sana.” Ujar bu Surti sambil menangis. Sesaat kemudian ia pergi meninggalkan anaknya seorang diri. Tertidur di balik timbunan tanah yang mulai basah dengan rintik hujan yang turun membasahi.
Alex Arviandi Arhansyah, wafat pada tanggal 1, Januari, 2022. Kira kira itulah yang tertulis di batu nisan yang baru tertananam itu. Entah berapa banyak sumpah serapah yang datang menyambangi kuburan si tuan tanah. Yang pasti, balasan tak pernah mengkhianati perbuatan. Benih yang kau tanam pasti kan dituai.
Cerpen Karangan: S.Hamdan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com