Awan biru menghiasi cakrawala hari ini. Mentari amat terik bak membakar punggung. Sumilir angin meniup-niup tubuhku yang basah karena cucuran keringat. Aku pulang sekolah bersama teman-teman. Kami berbincang-bincang sepanjang jalan.
“Teman-teman.., nanti sore main yuuk..,” kata Ito mengawali obrolan kami. “Ide cemerlang To.., tapi tunggu dulu… mau main ke mana?” tanyaku. “Gimana kalau kita mancing saja di kali itu lho…,” kata Ito menyampaikan usulnya. “Kali yang mana?” tanya Doni nampak heran. “Itu lho Don, kali di dekat sawah..,” jelas Ito. “Memangnya kenapa sih Don? Sepertinya kamu heran sekali??” tanyaku penasaran. “Oh tidak… tidak.. tidak kenapa-napa kok. Tapi kita jangan main di situ ya, kita main di tempat lain aja..” kata Doni aneh sekali, penuh dengan kegelisahan dan sedikit senyum yang dipaksakan. Kelihatan sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu. Sebenarnya aku penasaran tapi ya sudahlah.
“Oke.., tidak apa-apa kok Don. Terus kita jadinya main di mana nih?” kata Ito. Kami diam sejenak untuk memikirkan ke mana kami akan bermain nanti sore. “Ahaaa… aku punya ide. Bagaimana kalau kita main bola di lapangan saja. Ide bagus bukan?” celetukku tiba-tiba. “Setuju!!” jawab Ito dan Doni serempak.
Tak terasa kami sudah sampai di pertigaan jalan. Tempat kami harus berpisah menuju rumah masing-masing. Tibalah waktu yang disepakati. Aku segera berangkat menuju lapangan bola itu. Tak berapa lama, sampailah aku di sana. Nampak Ito dan Doni sudah datang lebih awal. Mereka lalu menghampiriku dan mengajakku bermain bersama. Satu jam lebih bermain bersama mereka membuatku kelelahan. Keringat mengucur membasahi kaos yang kupakai.
“Teman-teman istirahat dulu yuk,” ajakku. Mereka segera berkumpul dan duduk bersama sambil meneguk air mineral yang tadi kami bawa. “Oh ya… Don. Boleh tidak aku tanya sesuatu sama kamu?” tanyaku kepada Doni. “Boleh…, mau tanya apa?” jawab Doni sambil menutup botol mineral yang diminumnya barusan. “Begini Don…, kamu tadi kan melarang kita buat main di kali dekat sawah itu kan? Memangnya kenapa sih Don?” tanyaku untuk menjawab rasa penasaran yang kurasakan.
Doni diam membisu. Wajahnya seketika pucat pasi. Dia nampak gelisah dan gugup. Sepertinya benar dugaanku, kalau Doni memang menyembunyikan sesuatu. “Jawab Don, kok malah diam?” tanyaku lagi. Ia nampak semakin gugup dan gelisah. Ia ragu-ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “E..e..ee…, begini teman-teman…, kata orang-orang kali di dekat sawah itu…, eeee…ee…eee…,” kata Doni terputus-putus dan tambah cemas. “Kenapa Don? Ayo cerita…, biar kita tahu” desak Ito yang juga semakin penasaran dibuatnya. “Kali itu…, kali itu angker!!” kata Doni dengan cemas.
“Angker…??” celetukku dan Ito serentak sambil melotot. Lalu kami saling berpandangan. Kami tak percaya dengan apa yang dikatakan Doni. “Maksudmu gimana Don? Angker… angker bagaimana?” tanya Ito. “Konon katanya…, ikan yang ada di sana bisa membuat siapapun yang memakannya keracunan karena sungai itu ada penunggunya. Jadi, sekarang tidak ada yang berani memancing ikan di sana” jelas Doni.
“Apa?? Memangnya apa buktinya Don? Masa sih zaman sekarang masih ada hal semacam itu? Itu pasti cuma mitos Don!!” kataku menyanggah cerita Doni. “Terserah kalian mau percaya atau tidak, yang jelas aku sudah memperingatkan kalian. Kalau terjadi apa-apa aku angkat tangan,” kata Doni. “Iya… iya…,” kata Ito. Sinar mentari mulai terhalang awan merah jingga di ufuk barat. Pertanda malam akan segera tiba. Saatnya kami pulang ke rumah masing-masing.
Gumpalan mendung putih memenuhi langit siang ini. Mentari nampaknya malas menampakkan sinarnya hingga ia harus sembunyi di balik gumpalan awan putih itu. Aku pergi bermain bersama teman-teman. Kami hendak pergi ke lapangan seperti biasanya. Saat sampai di perempatan jalan kampung, kami bertemu Kang Sutar. Ia adalah warga baru di kampung kami yang tinggal seorang diri di dekat rumah Ito.
“Mau ke mana Kang?” sapa Ito. “Eh… Ito…, ini lho, Akang mau mancing di kali,” jawab Kang Sutar yang kala itu membawa kail dan umpan pancingan. “Oh… ya sudah mari Kang,” kataku. “Ya mari-mari,” kata Kang Sutar sembari melanjutkan perjalannya ke arah persawahan.
Tiba-tiba aku teringat suatu hal. “Bukankah kali di kampung ini hanya ada satu tempat saja? Dan satu-satunya kali di kampungku hanya kali di dekat persawahan di pojok kampung yang konon katanya angker itu?” kataku dalam hati. Lalu sepintas kulihat Doni dan Ito. Nampaknya mereka tak punya feeling apa-apa. Itu terbukti dari ekspresi mereka yang biasa-biasa saja. “Ah… sudahlah. Semoga tidak terjadi apa-apa,” kataku dalam hati sembari melanjutkan perjalanan.
Langit biru mengangkasa di cakrawala. Mentari amat riang. Sinarnya begitu terik hingga saat ku menengadah ke arah langit, mentari nampak tersenyum melihatku yang bermandikan keringat. Hari itu aku pulang sekolah bersama teman-temanku. Seperti biasanya, kami berbincang-bincang sepanjang jalan.
“Eh.., tunggu ..tunggu…, lihat itu,” kata Ito sambil menunjuk ke ujung jalan di kejauhan. Di sana nampak warga yang berduyun-duyun menuju ke arah kami. “Ada apa ya To… Don..? tetangga kita itu mau ke mana?” tanyaku penasaran. “Entahlah… aku pun tak mengerti. Lebih baik kita tanya saja kalau mereka sudah mendekat.”
“Lho…, itu kan Ibumu To?” kataku sambil menunjuk sseorang Ibu yang mengenakan baju dan jilbab warna merah. “Iya benar. Mau apa Ibu ikut warga ya?” tanya Ito. “To…, lebih baik kamu tanya Ibumu To..!!” kata Doni. Ito lalu mengangguk dan segera menghampiri Ibunya di tengah-tengah warga.
“Bu.., ada apa sih Bu? Ibu mau ke mana?” tanya Ito cemas. “Ini lho nak, Ibu mau menjenguk Kang Sutar. Kabarnya Kang Sutar sakit,” jelas Ibu Ito. “Sakit..? Sakit apa Bu?” tanya Ito sambil mengernyitkan keningnya. Kami yang mendengarnya pun terheran-heran. “Ibu juga belum tahu nak, makanya Ibu mau ke sana dulu. Kamu langsung pulang ya nak!! Hati-hati!” kata Ibu Ito sembari melanjutkan perjalanannya. “Iya… Bu,” jawab Ito. Berita itu sungguh mencengangkan. Namun, karena panas mentari yang amat menyengat tubuh, kami memutuskan untuk segera pulang dan melupakan masalah itu sejenak.
Langit yang semula cerah berubah menjadi redup. Gumpalan awan hitam berarakan di angkasa. Itu pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Rencanaku bersama Doni dan Ito batal sudah. Aku kemudian duduk di teras rumah sambil memandangi langit yang semakin lama semakin redup.
“Assalamualaikum…,” teriak Ito yang tiba-tiba sampai di depan rumahku. “Walaikumsalam…,” jawabku setengah kaget. “Kok melamun aja sih, kenapa? Ada masalah?” tanya Ito yang memang orangnya perhatian. “Enggak…, To. Tidak ada apa-apa. Oh ya ada apa kok tiba-tiba kalian ke sini?” tanyaku sambil mengajak mereka duduk. “Sebenarnya kami ingin memberitahumu suatu hal, tapi kamu harus janji dulu. Setelah kuberi tahu, kamu tidak boleh cerita kepada siapapun.!” jelas Ito kepadaku. “Iya.. iya.. memangnya ada apa sih To.., Don? Kalian kok serius banget sih, nggak seperti biasanya deh??” tanyaku penasaran. “Sssstttttttsssssss.., tapi bicaranya pelan-pelan saja ya., biar tidak terdengar sama orang lain, mendekatlah,” kata Ito sambil berbisik-bisikdan mendekatkan kepalanya kepadaku. Aku pun mendekat.
“Begini.., kata orang-orang Kang Sutar sakit gara-gara makan ikan yang dipancingnya di kali angker itu lho…,,” cerita Doni. “Apa??” teriakku spontan. “Ssssttttssssssssss…, jangan keras-keras,” kata Ito sambil menutup mulut dengan jari telunjuknya rapat-rapat. “E..eeh.. iya…, iyaa.. maaf..” kataku. “Untung saja…, kita tidak jadi main di sana waktu itu,” kata Doni. “Iyaa… yaa.. Don…,” kataku.
Tapi aku tak percaya dengan apa yang mereka ceritakan. Ribuan pertanyaan bermunculan di kepalaku. Apa benar kali itu angker? Apa mungkin kali itu ada penunggunya? Apa benar ikan di situ beracun karena penunggunya marah? Apa semua hal itu benar adanya?
“Ah…, sulit sekali dipercaya? Masa sih? Sekali lagi aku tegaskan itu cuma mitos. Ya, itu cuma mitos!” kataku dalam hati. “Heii…, kenapa kamu?” gertak Doni membuyarkan lamunanku. “Enggak… nggak kenapa-napa.” Tiba-tiba terlintas di anganku. Sepertinya ada yang ganjil dari mitos yang beredar baru-baru ini. “Heemmmm… proyek petualangan yang seru nih..” kataku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. “Ya sudah, kalau begitu kita balik dulu yaa…” kata Doni sambil beranjak. “Ya, hati-hati di jalan,” kataku. Mereka pun pulang.
Cerpen Karangan: Risma Wigati Blog / Facebook: Risma Wati Menulislah untuk berbagi inspirasi. @risma_wgt.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com