Mala menatap tajam lawan bicaranya saat ini. Detik demi detik terlewat tanpa ada kata. Mereka berada di sisi ruangan paling belakang. Tepatnya di sebuah meja paling sudut perpustakaan, di belakang rak buku paling tinggi. Tempat tersembunyi dan terisolasi yang sepertinya jarang ditempati pengunjung.
“Kamu pasti sudah tahu apa yang mau aku bicarakan.” Tebaknya sangat yakin.
Tak ada sahutan yang diperdengarkan oleh lawan bicara. Bahkan daripada berniat menjawab, ia lebih memilih untuk terus melirik ke arah pintu keluar. Walau itu hampir setengahnya tertutupi oleh rak-rak buku yang berjejer rapi. Buliran peluh tampak mengalir perlahan di pelipis kirinya. Seakan menjadi bukti bahwa cuaca cerah siang ini tak dapat sama sekali merubah suasana suram di tempat itu.
“Diammu berarti benarkan, Samsul?” sekali lagi suaranya mengudara, memenuhi atmosfer dengan aura yang tidaklah baik. Di balik maskernya, Mala tertawa licik kala menangkap perubahan pada keadaan remaja laki-laki di hadapannya ini.
Samsul tercekat mendengar tebakan Mala tepat sasaran. Hal itu jelas mampu membuat remaja berkacamata itu semakin tidak tenang di tempat duduknya.
“A-aku … kenapa kamu seperti ini, Mala?!” tanyanya dengan suara yang hampir berteriak frustasi sambil menggebrak meja. “Ssstt, pelankan suaramu. Kamu lupa kita sedang berada di perpustakaan?” Mala meletakkan telunjuknya dengan cepat ke depan wajah bermasker Samsul. Reflek sempurna antara rasa kaget juga tak percaya akan reaksi yang ditunjukkan oleh remaja itu.
“Aktingmu terlalu ekspresif,” gerutu Mala sarkas sembari menampilkan ekspresi kesal yang dibuat-buat. Menjadikan suasana yang sebelumnya penuh keseriusan menjadi agak lebih berwarna.
“H-hehe … habisnya aktingmu terlihat sangat nyata untukku. Daripada itu, kenapa pula kita ada di sudut perpustakaan begini?” Samsul menghela napas pelan dan kembali memposisikan dirinya dengan nyaman, duduk tegak dengan tangan bersedekap di atas meja persis seperti murid SD yang patuh dan sopan.
Mala pun akhirnya kembali duduk ke posisinya semula. “Jadi kapan kita diskusi rancangan poster? Apa kita mulai saja?” “Tunggu Arif datang dulu, setelah itu baru kita mulai diskusinya.” jawab Samsul sambil mengelap keringatnya dengan tisu yang ia keluarkan dari saku.
“Panas ya, Sam? Kamu sampai berkeringat begitu. Tiupan kipas anginnya gak sampai sini sih.” Mala segera ikut mengibas-ngibaskan tangannya, mencoba membantu Samsul yang tampak kepanasan.
Sepuluh menit berselang di antara kesunyian pendek yang kembali mendera, seorang lain yang ditunggu pun datang dengan sebuah tas laptop di tangan kanannya. Seakan sudah tahu apa yang akan dikerjakan, Arif langsung membuka tas tersebut dan mengeluarkan isinya dalam hitungan detik.
“Jadi … sudah sampai mana diskusi kalian?” tanya Arif tanpa menoleh, fokus menekan tombol power di laptopnya. “Gak sampai mana-mana. Kata Samsul nunggu kamu datang dulu baru kita diskusi.” Mendengar ucapan Mala yang tampak tak berdosa, Arif hanya bisa menepuk dahi. “Haa…. Ya sudah. Kita mulai diskusinya sekarang,” tukas Arif dengan nada pasrah.
Akhirnya hari pengumuman lomba yang ditunggu-tunggu tiba. Mala, Arif, dan Samsul segera mengecek hasil pengumuman di ponsel masing-masing. Di tempat yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan mereka melihat karya mereka dipublikasi di akun Instagram OSIS SMA XX. Mala terus menggulir layar ponselnya, membaca caption yang tertera di bagian bawah. Senyuman manis tercetak jelas di wajahnya.
Juara 3! Gak masalah.
Namun, senyuman itu perlahan memudar seiring guliran layar yang semakin ke bawah. Hingga akhirnya terhenti akibat sebuah tulisan yang sejenak membuatnya berpikir. Kenapa bukan nama kami yang tertera di sini?
Sepersekian detik kemudian layar ponselnya langsung berganti memasuki ranah aplikasi lain. Salah satu aplikasi komunikasi mendunia di Tanah Air, WhatsApp. Mala segera menekan tombol panggilan video grup. Dan tak berselang lama, nomor yang dituju pun mengangkat panggilannya.
“Samsul, Arif … kalian sudah lihat pengumuman lomba?” Mala memulai percakapan. “Sudah,” jawab Samsul dan Arif hampir bersamaan. “Bukan nama kita yang tertera di sana. Ada yang gak beres.” “I-iya. Padahal itu poster milik kita.” Sambung Samsul sembari membetulkan posisi kacamatanya yang agak melorot.
“Di antara kalian siapa yang upload posternya ke Gdrive? Samsul … atau kamu Arif?” Raut muka Mala terlihat tak sedap dipandang, tampak marah bercampur kecewa. Ia jelas tak terima jika desain poster yang telah mereka buat dengan sungguh-sungguh serta kerja keras selama beberapa waktu ini malah atas nama orang lain. “Ya-yang upload ke Gdrive aku Mala. Ta-tapi aku sudah tulis nama kita semua kok. Gak mungkin aku lupa.” “Terus, kenapa posternya jadi atas nama orang lain? Desainnya sama persis pula. Huh, rasanya aku pengen nangis. Susah-susah kita ketemu tatap muka langsung di tengah pandemi covid gini. Harus pakai maskerlah, jaga jaraklah. Malah begini jadinya.” Sungut Mala sambil menengadahkan kepala, berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata.
Arif kini tampak lebih memilih untuk diam tak berkomentar, sedangkan Samsul merasa sangat bersalah. Keduanya sangat paham dengan keadaan Mala saat ini. Jika dibanding Samsul dan Arif, jelas Mala-lah yang paling kesal atas hal ini. Sebab bagaimanapun sejak awal yang memiliki ide untuk mengajak mereka berdua ikut sebagai tim di lomba poster kali ini adalah Mala.
“Kita tunggu saja info selanjutnya. Siapa tahu panitianya salah ketik, kan?” untuk beberapa saat akhirnya Arif berucap. Ia memasang ekspresi yang sama, penuh ketenangan. Berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Berharap dengan demikian dapat mengurangi sedikit kegelisahan teman-temannya. “Maafkan aku teman-teman. S-semoga saja apa yang dikatakan Arif benar.” “Ya. Semoga saja begitu. Udah Samsul tak apa. Arif, tolong kamu nanti hubungin panitia.” Mala menyeka setitik air mata yang dirasanya hampir meluncur. “Huh, aku ngantuk. Mau bobo. Bye!” Setelahnya panggilan video dari Mala pun berakhir. Menyisakan dua remaja laki-laki yang agaknya belum berniat untuk mengakhiri panggilan ini.
“Samsul, kamu yakin sudah tulis nama kita di file-nya?” Arif ternyata masih belum yakin dengan pernyataan Samsul sebelumnya. “I-iya. Aku sudah cek berkali-kali. Ini, aku kirim screenshot-nya.” Tepat setelah Samsul berkata, notifikasi chat muncul di ponsel Arif. Tidak hanya mengirimkan tangkapan layar, Samsul juga mengirimkan link Gdrive-nya. Dan benar saja, file yang diunggah Samsul bertuliskan nama mereka. “Oke. Aku percaya. Aku simpulkan ada yang meniru poster kita dan mengirimnya atas nama dia, Bian Aditya. Wah, hebat sekali orang ini. Buat poster sendiri tanpa adanya tim. Kamu kenal dengan nama itu, Samsul?” tukas Arif yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan kepada Samsul di seberang telepon. “Hei. Jangan langsung berkesimpulan seperti itu,” Samsul memperingatkan. “Tapi … hmm, sepertinya itu nama teman angkatan kita dari kelas sebelah.” “Hmm, oke. Kita sudahi saja panggilan ini. Besok kalo ada info baru, kabari aku. Oke?! Assalamu’alaikum.” “Ya … baik. Wa ‘alaikum salam.”
Komunikasi keduanya pun berakhir. Sejenak Samsul menghela napasnya pelan, merasa agak bingung dengan jalan pikiran temannya satu itu. Entah bereaksi seperti apa temannya itu sebab ia tentu tidak bisa melihat ekspresi Arif tadi. Bagaimana tidak? Setelah Mala keluar, Arif juga ikut menonaktifkan kameranya. Huh….
—
Kelas daring telah berakhir 15 menit yang lalu. Namun sepertinya Mala, Samsul, Arif serta beberapa temannya yang lain masih tinggal di ruang zoom untuk sekedar berbincang.
“Halo guys!” “Eh, ada apa nih? Tumben banget kamu ngomong,” ujar salah seorang dengan akun bernama Citra sembari terkekeh renyah. “Sudah, Rif. Langsung ke intinya saja.” Mala kembali seperti dirinya dengan sifat yang biasa, judes. “Coba lihat unggahan pengumuman kemarin di Instagram! Kalian pasti kaget kalau melihatnya.” Suruh Arif dengan tanpa tergesa membuat beberapa temannya yang lain menampilkan ekspresi heran penuh keingintahuan. “Ada apa, Rif?” tanya Samsul yang juga sama penasarannya kemudian. Namun ketika melihat wajah Arif yang tampak sangat serius kali ini, ia pun tanpa bertanya lebih lanjut segera memeriksa salah satu tampilan di layar ponselnya.
“Eh. Postingan pengumumannya dihapus. Kenapa nih?” tanya salah seorang dari mereka. “Lah, iya. Tapi cuma pengumuman lomba poster yang dihapus.” Komentar yang lain. “Juara ke-3 poster kalian, kan?” “Nggak, Dil. Bukan kami. Posternya sih iya, tapi nama yang tertera di sana bukan nama kami.” jawab Mala seadanya saat mendengar pertanyaan yang tadi diajukan oleh teman sekelasnya itu. “Eh, kok bisa. Aku kenal banget itu poster. Gak mungkin orang lain yang buat. Masa mirip banget sama punya kalian?” ungkap Citra dengan penuh semangat, merasa tak percaya. “Tolong tenang semuanya. Diam … dengarkan aku dulu.” Tukas Arif menginterupsi. Semua orang yang berada di ruang obrolan itu pun akhirnya berubah sunyi, tenang dengan suasana yang amat kondusif. Seakan paham, masing-masing dari mereka segera mematikan mic zoom hampir secara bersamaan.
“Begini teman-teman. Kemarin malam sesuai suruhan Mala aku menghubungi panitia.” Arif memulai penjelasannya. Semua orang tampak diam tak berkomentar, hanya fokus pada apa yang ingin diberitahukan oleh Arif mengenai satu kasus ini.
“Oy, kok malah diam semua? Respon macam apa itu? Ah, aku jadi kecewa!” Mendapati tak ada yang memberikan respon terhadap penjelasannya, Arif sejenak memasang ekspresi sedih yang dibuat-buat. Hal itu sontak membuat teman-teman yang melihatnya tercengang tak habis pikir, bahkan sebagiannya sampai serasa ingin muntah. “Yee, kan tadi kamu yang suruh diam. Astaghfirullah, nyebut aku jadinya.” “Lanjutkan, Rif.” Perintah Mala cepat membuat perdebatan antara Aldo dan Arif itu terhenti.
“Oke, Mal.” Arif tampak menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan. “Setelah aku menghubungi panitia, malam itu aku cek lagi unggahannya. Tapi sudah gak ada, itu kan aneh. Padahal chat-nya aja belum dibaca sama panitianya.” “Hmm, kurasa sebelum Arif sudah ada orang yang menghubungi panitia.” “Benar Sam. Aku pun mikirnya gitu.” Arif membenarkan dugaan Samsul.
“Terus Rif. Apa sudah ada respon dari panitia tentang chat dari kamu?” Mala mematikan mic-nya kembali. “Sampai ini chat-ku cuma di-read tuh.” sahut Arif membuat Mala hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Aku rasa kita perlu ketemu langsung dengan orang yang bernama Bian Aditya ini. Diantara kalian adakah yang kenal sama orang itu?” “Hmm, Bian Aditya dari kelas 12 IPS 2, Mal?” tanya Aldo memastikan. “Ya … sepertinya?” jawab Mala yang malah terdengar ragu. “Benarkan Samsul?” “Ya, memang dia. Apa kamu kenal dia, Aldo?” “Ya … Aku kenal. Tapi gak terlalu akrab. Kebetulan rumah kami dekat. Kalau mau, aku bisa mengirimkan alamat rumahnya.” Samsul, Mala, dan Arif yang mendengar itupun seakan mendapat titik terang. Segera mereka memberi kode satu sama lain.
“Hmm, gitu ya. Aldo, apa kami bisa minta tolong?” tanya Samsul agak canggung. “Iya. Tolong bantu kami mengajak Bian ke perpustakaan sekolah.” Pinta Mala pula sambil menangkupkan kedua telapak tangannya, memohon. “Apa? Hmm … bisa saja sih. Tapi aku gak janji ya bisa bawa dia. Kalian kan tahu aku cuma tetangganya. Ingat! Kami bukan teman akrab.” Aldo merasa aneh saat tak sengaja bersinggungan dengan sepasang kelereng terang milik Mala yang tampak berkilat tak biasa. Jujur saja walau ia hanya menatapnya lewat virtual, aura yang Mala luapkan agaknya mampu membuat Aldo sedikit … takut?
“Terima kasih Aldo. Waktu ketemunya nanti kami infokan lewat chat.” “O-oke.”
Percakapan mereka pun berakhir sampai di sana. Sedangkan teman-teman yang lain juga telah meninggalkan ruang zoom sejak percakapan tentang Bian tadi. Semoga saja rencana yang dilakukan Mala dan kawan-kawan ini dapat berhasil tanpa adanya bibit konflik apapun.
Cerpen Karangan: Nor Ainah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com