Kita ketemuan hari ini jam 1 siang. Jangan lupa ajak BIAN.
Itulah bunyi pesan terakhir yang dikirimkan Mala kepada Aldo tadi pagi. Saat ini, tepatnya pukul 11.00, ia sudah berada di depan pintu rumah Bian. Rumah Bian hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Namun, baru kali ini Aldo mengajak main seorang Bian yang sebenarnya sulit didekati.
Aldo mulai mengetuk pintu rumah Bian sambil memanggil namanya. Tidak ada sahutan. Kali ketiga Aldo memanggil barulah pintu rumah terbuka. Sosok perempuan berumur segera muncul di balik pintu.
“Eh, Aldo toh. Ada apa, nak?” tanya perempuan itu. “Iya, Bu. Biannya ada, Bu? Mau ngajak main soalnya.” sahut Aldo dengan sopan walau agak sedikit canggung. “Wah, tumben kalian main bareng.” Kekeh Ibu Bian yang merasa heran. “Hehe, iya bu.” Aldo hanya cengengesan menanggapi hal itu. “Ya sudah, sebentar ibu panggilkan Biannya dulu. Kamu duduk dulu di situ, ya!” Kata Ibu Bian seraya menunjuk kursi di teras rumahnya.
Ibu Bian kembali masuk ke dalam. Sedangkan Aldo tanpa berpikir lebih banyak segera duduk di salah satu kursi yang tadi Ibu Bian tunjuk. Setelah beberapa saat menunggu, orang yang dicari pun keluar.
“A-aldo, k-kok tumben kamu ke sini? Ada apa?” “Tegang banget mukamu? Biasa aja dong. Begini Bian, aku mau ngajakin kamu jalan-jalan. Kamu mau gak?” “Ada angin apa kamu ngajakin aku?” tanya Bian yang tanpa sadar menaikkan nada suaranya. “Ya … gak ada apa-apa. Aku cuma mau ngajakin kamu kok. Kamu ‘kan baru pindah ke sini sebulan yang lalu. Sebagai tetangga yang baik, aku mau ngajakin kamu keliling lho.” jawab Aldo dengan wajah santai yang coba terus ia tunjukkan. “Sepertinya kamu belum pernah deh keliling komplek ini.” Ujarnya lagi masih dengan kalimat persuasif. “Ta-tapi Do….” “Sudah…. Kamu siap-siap sana!” Aldo dengan tak sabaran mendorong Bian masuk rumah. “Jangan lupa pakai masker!” sambungnya kemudian.
—
“Kamu yakin Mal, Bian mau diajak ke sini?” tanya Samsul dengan ragu. “Percaya aja sama Aldo, Sam. Dia pasti bisa kok.” jawab Mala yakin. “Kita sudah lama lho nunggu di sini. Perpustakaannya juga tutup. Kalau ke kelas kita aja gimana, Mal? Kebetulan aku pegang kuncinya.” Ucap Arif mencoba membujuk. Jelas saja toh mereka sudah menunggu lebih dari satu jam dari waktu perjanjian awal. “Hmm … baiklah. Aku chat Aldonya dulu.”
Tempat pindah. Ke kelas kita.
Ngaret kamu Do.
Pesan yang kembali diterimanya dari Mala membuat Aldo berusaha menahan tawa di hadapan Bian. Sedikit mengerjai mereka adalah hiburan tersendiri bagi Aldo. Mereka berdua sudah tiba di depan gerbang sekolah tepat saat Mala mengirimkan pesan. Aldo tidak bohong kepada Bian tentang mengajaknya berkeliling komplek tempat tinggal mereka. Hampir seluruh komplek mereka kelilingi. Namun, itulah taktik Aldo agar Bian tidak curiga dengan rencananya yang ingin membawa remaja itu ke sekolah.
“Wah, baru kali ini aku ke sekolah lagi. Sudah lama banget gak pergi ke sekolah secara langsung begini.” “Iya ya, kamu kan belum pernah ke sini sejak pindahan.” “Iyap, aku belum pernah sampai masuk ke dalam sini,” jawab Bian sambil menunjuk lantai lorong kelas. “Kelas 12 IPS 2 di mana ya, Do?” “Kalo bagian kelas 12 di ujung sana, Bi. Yuk ke sana! Kebetulan ada yang mau aku urus juga di sana.” Aldo mendorong punggung Bian agak kuat agar mempercepat langkah mereka ke tempat tujuan.
Beberapa saat kemudian mereka pun akhirnya tiba di lorong kelas 12. Tepat di depan pintu kelas 12 IPA 3, mereka berhenti.
“Eh, Do. Pintu kelas ini kenapa gak dikunci?” Bian melongokkan kepalanya ke dalam kelas. Hingga tiba-tiba sesuatu mendorongnya kencang hingga ia jatuh tersungkur dan masuk lebih dalam.
“Aduh….” Peliknya tertahan sembari mencoba mendudukkan diri. “Eh, Aldo tolong. Kamu ngerjain aku ya? Ini gak seru, Do.” Bian menggedor-gedor pintu, mencoba membuka pintunya. Percuma, Aldo sudah menguncinya dari luar.
“Ekhem,” seketika Bian berbalik. Rupanya Samsul, Mala, dan Arif menyaksikan kejadian Bian jatuh sejak tadi. “S-siapa kalian?” tanya Bian dengan panik. Segera dengan reflek ia mengambil benda disekitarnya untuk dijadikan senjata. “Jangan mendekat! Atau aku pukul kalian!”
Satu spesies dengan Samsul ternyata, batin Mala juga Arif yang secara kebetulan menyuarakan isi hati yang sama kala menyaksikan kelakuan Bian di hadapan mereka.
Mereka bertiga tetap mendekat. Wajah paling seram yang dilihat Bian adalah Mala. Semakin mereka mendekat, semakin nyaring pula teriak Bian. “Jangaaaaaaaa-“ Bian pingsan.
Samsul bingung kenapa Bian tiba-tiba pingsan. Dilihatnya lagi secara seksama. Ternyata si kecil Aldo biang keroknya. “Eh, gue gak apa-apain Bian ya. Cuma nyentuh pundaknya doang.” Aldo angkat tangan. Jelas ia tak mau disalahkan sepenuhnya. “Huh, ya sudah bantu kami angkat Bian deh. Cepat!” Perintah Mala yang berubah kesal. Niat hati cuma menggertak lawan. Malah membuat anak orang pingsan.
Mereka mengangkatnya menuju ke kursi guru yang ada di sebelah kanan papan tulis, lurus sejajar dengan pintu depan kelas. Setelah mendudukkan Bian di kursi, Mala langsung pergi keluar untuk mencuci tangan.
“Huh, wajar sih Bian pingsan. Kelas gelap banget kalau lampunya gak menyala begini. Sendirian di sini ya pasti horor juga.” Gerutu Mala yang tampak ngos-ngosan setelah kembali masuk ke dalam kelas. “Rif, sana gih, nyalain lampu. Sekalian kalian cuci tangan. Ingat ya! Ini masih corona.” sambung Mala seraya melemparkan botol sabun cuci tangan miliknya. “Iye iye. Bawel deh!” bukan Arif yang menjawab melainkan Aldo, si biang kerok kelas.
Bian saat ini masih pingsan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 15.13. Mereka berlima saat ini tidak bisa pulang karena pada beberapa menit lalu tiba-tiba hujan lebat. Sehingga mereka tetap tinggal di dalam kelas dengan posisi duduk saling berjauhan. Mereka rupanya tetap takut tertular virus covid.
Mata Bian mulai terbuka. Mereka berempat langsung dalam posisi siaga. “Huh? Aku di mana ini?” Bian hendak mengusap kedua matanya. “Eh, jangan Bian!” teriak Mala. “Cuci muka aja sekalian.” sambungnya.
Dengan kesadaran yang masih setengah, Bian keluar menuju keran di depan kelas. Mencuci tangannya lalu mencuci wajahnya. Dan setelahnya kembali lagi ke dalam kelas.
“Sudah segar?” tanya Arif. “Iya, sudah.” sahut Bian tampak masih bingung akan alasan mengapa ia bisa ada di sini.
Akhirnya ia ingat apa yang sudah terjadi di sini. Segera Bian ingin berbalik menuju pintu keluar. Namun pintu sudah dikunci kembali oleh Aldo dengan secepat kilat.
“Duduk situ!” suruh Mala seraya menunjuk kursi tempat dirinya pingsan tadi. Bian dengan ragu duduk di kursi tersebut. Bibirnya tertutup rapat namun dalam hati ia menjerit ingin keluar dari sini. Dikelilingi 4 orang yang terasa menakutkan membuatnya merasa seperti seonggok daging siap saji di hadapan para pemangsa.
Mala bangkit dari tempat duduknya. Mendekat ke arah Bian walau masih dengan menjaga jarak. “Namamu benar Bian Aditya?” tanya Mala kemudian dengan nada datar yang terkesan tak acuh. “I-iya, itu nama lengkapku.” Mala menganggukkan kepala sambil mengusap dagu yang terhalang masker. Tempat itu sejenak menjadi hening. Hanya menyisakan suara deritan kursi yang ditarik Arif menuju ke dekat di mana Bian kini berada. Mala dengan santainya duduk di kursi yang dibawa Arif tadi. Sedangkan sang pembawa kursi hanya bisa mendengus kesal melihatnya.
“Ada hal yang ingin kami bicarakan denganmu.” ujar Samsul sok misterius. Aldo yang melihatnya hanya terkikik pelan. Bian tertunduk sejenak, menarik napas dengan berat dan cepat. “Kalian pasti ingin membicarakan masalah poster itu, kan?” Mereka semua tercekat. Menurut mereka secara tidak langsung Bian sudah mengaku.
Bian tersenyum maklum. “Aku tahu kalian pasti akan mencariku. Maka dari itu aku sudah bersiap diri sebelumnya. Aku juga tahu alasan Aldo mengajakku ke sini. Pasti suruhan kamu kan, Mala?” Mala hanya mengangguk membenarkan perkataan Bian. Toh, baginya itu memang benar adanya.
“Lalu, apa alasan kamu meniru poster itu?” tanya Arif singkat. Bian tertawa kencang. Merasa lucu saat Arif menuduhnya meniru.
“Teman-teman, kalian salah paham. Aku tidak meniru poster kalian.” Jawab Bian masih dengan tawanya. “Bohong. Buktinya di pengumuman, poster kami jadi atas nama kamu.” merasa tak tahan telah dipermainkan, Samsul meninggikan nada bicaranya. “Aku belum selesai bicara, teman. Dengarkan dulu!” Mereka pun akhirnya kembali diam.
“Oke … poster kita … tertukar.” “….”
“HAH?!” teriak mereka berempat kemudian. Yang paling kaget di antara semuanya adalah Arif. Hal tersebut tentu tak pernah terpikirkan oleh Arif sebelumnya.
“Kenapa kamu bisa tahu poster kita tertukar?” tanya Mala setelah berhasil menenangkan pikirannya. Bian terkekeh. “Aku pun awalnya mengira kalian meniru posterku. Namun, aku lihat lagi postingan yang lain. Aku malah melihat namaku ada di postingan lain. Pasti itu yang kalian baca. Kalian cuma fokus ke unggahan yang ada poster kalian, kan? Gak lihat yang lainnya lagi setelah itu.” Mala, Samsul, dan Arif mengangguk bersamaan.
“Setelah tahu itu kesalahannya. Aku langsung menghubungi panitia. Aku kirim tangkapan layar unggahan itu sama tangkapan layar file yang aku upload ke Gdrive.” “Rupanya kamu yang hubungin panitia lebih dulu. Pantas saja gak sempat lama aku chat panitianya, postingan pengumuman itu dihapus. Gerak cepat juga ya kamu, Bian.” Kata Arif kagum.
“Ternyata benar poster kita tertukar.” Mala yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. Ia menunjukkan layar ponselnya ke depan Samsul.
Unggahan terbaru dari akun OSIS SMA XX. Juara lomba poster sudah ditentukan. Juara 1 dari kelas 11 IPA 1, juara 2 dari kelas 12 IPS 2 yaitu poster milik Bian, dan juara yang terakhir kelas 12 IPA 3 milik tim Mala.
“Kita tetap juara 3.” Suara Samsul terdengar kecewa. “Yaa, kan yang tertukar cuma nama kalian. Posisi juaranya kan tetap sama,” gumam Aldo agak ketus. Bukannya menghibur teman, ucapannya barusan malah jadi memperburuk keadaan. “Yaa, walau hanya juara 3. Kita termasuk beruntung banget, Sam.” Mala berusaha menghibur hati Samsul. “Iya, Sam. Kamu, kita, setidaknya sudah berusaha. Di masa covid begini gak mudah lho bikin karya. Kamu ingat, kan? Kita kemarin cuma sekali ketemu langsung buat diskusi poster lomba. Lebih banyak diskusi lewat daringnya.” Kata Arif yang mengeluarkan kalimat bijaknya.
“Jadi … kesalahpahaman ini sudah selesai, kan? Pengumuman lomba yang benar juga sudah diumumkan.” Kata Bian yang sejak tadi mendengarkan.
“Berarti tugasku di sini sudah selesai. Kebetulan hujan sudah lumayan reda nih. Pulang yuk!” Mereka berempat pun segera mengangguk.
“Bian maafkan kami ya,” Mala mewakili semuanya. “Karena ketidaktelitian kami. Kamu jadi kena fitnah.” “Iya, gak apa-apa. Btw, salam kenal ya. Dan Aldo, terima kasih sudah ngajakin aku keliling komplek.”
Mala, Samsul, dan Arif menatap tajam Aldo. “Oh … pantas saja kamu lama ya.” Aura gelap seketika muncul menyelimuti sekitar mereka. Aldo pelan-pelan menuju pintu keluar.
“Aldo!!! Sini kamu!!!” teriak Mala marah berusaha mengejar Aldo yang berhasil keluar kelas. Rintik hujan masih terasa di atas kepala. Namun, mereka berlima seperti tak menghiraukannya. Mereka tetap berlarian keluar gerbang sekolah.
Peniru poster itu ternyata tidak ada. Hanya ada kesalahpahaman yang berasal dari sebuah argumen semata.
Pertemuan mereka pun berakhir di persimpangan jalan. Pergi ke tujuan rumah masing-masing, dan melanjutkan kegiatan mereka seperti biasa.
-TAMAT-
Cerpen Karangan: Nor Ainah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com