Meruyaknya kabut di desa Ketingal menimbulkan kepanikan. Tidak biasanya. Padahal dulu keberadaan kabut dianggap biasa. Ada yang berbeda dengan kabut ini. Kumpulan tetesan air berukuran kecil ini melayang-layang berwarna hitam. Sudah berhari-hari tidak hilang. Sinar matahari tak mampu menembus tabirnya. Sungguh aneh. Fenomena tersebut mengundang penasaran banyak orang. Para pakar dibidang ilmu hayat, fisika, kimia, senjata pemusnah massal, racun, klenik, diundang menuju panggung talk show guna membahas kabut tersebut. Sebelumnya, wartawan berbagai media berbondong-bondong terjun menuju desa Ketingal untuk melaporkan dampak dari kabut itu. Tokoh-tokoh desa, anak muda, bocah cilik dijadikan narasumber.
“Apa dampak paling signifikan dari munculnya kabut ini?”, Tanya jurnalis dari sebuah kantor berita nasional. “Sampai detik ini, warga desa belum merasakan dampak berarti”, Jawab Parjan, tokoh masyarakat. “Koreksi pakde”, potong bocah umbelen yang sedari tadi melihat adegan itu. “Kemarin Pak Kades sesak napas” “Katanya siapa?”, Tanya Parjan sengit “Bapakku”, jawab bocah umbelen. “Bu kades datang ke rumah, minta tolong ke bapak”. Jurnalis itu kebingungan, “Kenapa ke rumah bapakmu, dik?” “Karena bapakku dukun pengobatan” “Benarkah?”. Bocah umbelen mengangguk. “Jadi sudah ada korban ya?”, Tanya sang jurnalis sekali lagi pada kerumunan dihadapannya. “Hanya satu, pak kades saja”, koreksi Parjan. “Keliru! Pak Carik juga jadi korban”, ungkap suara diantara kerumunan. “Jumadi apalagi, lebih parah. Ia tidak bisa melihat selama kabut gentayangan di desa kita”. Lagi, suara kebenaran muncul. Keriuhan bergemuruh pating penthalit. “Jadi korban sudah banyak?. Orang-orang menjawab, “Sudaaah…”
—
Kehamilan Murni sangat diharapkan Munawir. Sembilan bulan kemudian, sang jabang bayi itu meluncur dari goa garba. Betapa bahagianya mereka. Bayi mungil itu merupakan bayi kesembilan yang lahir di desa Ketingal. Desa di lereng perbukitan dengan sebuah danau cantik merupakan tempat bagus bagi pertumbuhan bayi-bayi itu. Suara tangisan akan saling bersahutan bila salah satu diantara bayi itu memulai, pun tawa lucunya. Mirip lolongan anjing liar. Mereka seperti saudara sekandung. Bertemu di danau untuk dimandikan bersama dalam ritual adus bayen. Sebuah tradisi yang dipupuk warga Ketingal.
Adanya kabut yang menyergap desa memercikkan rasa kuatir bagi para orangtua si bayi. Mereka beranggapan, kesehatan bayi akan terganggu. Tapi kekuatiran mereka tidak terbukti. Bayi-bayi itu sehat-sehat saja. Malah mengalami perkembangan yang begitu cepat.
—
Kabut hitam belum sirna jua. Ketebalannya pekat nian. Para pakar di negeri ini pusing duabelas keliling. Nalar mereka dipaksa njebabah. Kepakaran mereka dihujat publik, dituding sudah kadaluarsa. Untuk menutupi muka, mereka menelisik setiap wilayah di desa itu sampai ke tempat yang selama ini jarang didatangi penduduk. Tetap saja kegagalan membungkusnya. Hingga suatu ketika datanglah pakar dibidang perkabutan dari negeri antah berantah. Seorang lelaki tua berwajah teduh dengan jenggot kasar beruban. Ia tertarik dengan keberadaan danau disitu.
“Danau ini menyimpan misteri”. Tangan bersedekap, menyimpan gejolak penasaran. “Aku yakin, danau ini asal muasal dari kabut hitam”. Ia memutuskan berkemah di tepi danau. Tindakannya itu mengundang bahan tertawaan hingga cemoohan para pengunjung. “Apa yang kau cari, pak tua? Danau itu jangan dijadikan kambing hitam”. Seorang jurnalis yang telah berminggu-minggu ndongkrok di Ketingal sampai terheran-heran. “Kami sudah mengelilingi danau sampai puluhan kali. Berkemah hingga diguyur hujan. Tetap saja nggak ketemu sumber kabutnya”.
Pakar kabut tetap pada pendirian. Ia pasang tenda besar dengan logistik untuk beberapa hari. Bila malam datang, lampu petromak berjumlah tiga terpancang. Sinarnya menarik serangga serta binatang hutan untuk datang. Tak lupa ia lantunkan sholawat badar sebagai hiburan. Hal itu dilakukan tiap malam. Sampai akhirnya bocah umbelen datang menggandeng bapaknya mendatangi tenda milik Pakar Kabut.
“Selamat malam, pak”, ucap Bapak bocah umbelen. “Boleh kami menemani?” “O silahkan. Saya tersanjung oleh kunjungan kalian”, kata Pakar Kabut. Dihidangkanlah beberapa kudapan serta minuman hangat kepada dua tamunya.
“Kenapa bapak yakin kalau danau ini ada hubungan dengan kabut di tempat kami?”, Tanya Bapak bocah umbelen. “Suara hatiku tidak bisa ditipu. Getarannya sangat kuat, walau berpindah-pindah”. Mata mereka beradu, saling membaca isi hati. “Kenapa bapak tak segera mengajak saya”, kata Pakar Kabut seakan menggugat. “Sholawat badar adalah cara saya untuk mengundang bapak kesini”. Tangan pakar kabut mengusap kepala Bocah Umbelen. “Lewat anak bapak, tentunya. Karena anak-anak seusia dia tidak merasa ada keanehan dengan kabut itu. Karena mereka belum tercemar tindak kejahatan”. Dukun Pengobatan terhenyak, “Jadi, bapak sudah tahu?”. “Belum”. Sesap cairan hangat menggelontor ditenggorokan. “Bapak yang lebih tahu”. “Sebenarnya, ini merupakan aib bagi desa kami. Khususnya beberapa orang”. Paras Dukun Pengobatan berkobar-kobar oleh cahaya lampu petromak. “Hanya bapak yang akan saya beritahu. Mari ikut saya”.
Beranjaklah mereka menuju suatu tempat. Langkah tergesa-gesa dilakukan demi mempercepat tujuan. Sebuah rumah dari papan kayu menjadi sasaran. Ketukan pada pintu memecah keheningan malam. “Siapa?”. Suara dari dalam rumah menyentak. “Aku, Wir”, jawab Dukun Pengobatan. “Sebentar, pak”. Suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. “O…Pak dukun, ayo masuk…”. Ruangan berisi perabot sederhana disesaki empat manusia. Ditambah… “Ada tamu to”. Murni keluar dari kamar tidur. Tangannya merapikan rambut yang awut-awutan. Ia menuju dapur. Tapi dicegah Dukun Pengobatan. “Tidak usah repot, Mur. Saya tadi sudah dibuat kenyang oleh bapak ini”. Semua pandangan mengarah ke Pakar Kabut. Seuntai senyum membalas tatapan mereka.
Kemudian Dukun Pengobatan berkata, “Maksud kedatangan kami kesini…”. Meluncurlah cerita berbungkus banyak hal mengenai kabut hitam. Suara mereka terdengar lirih, terkesan berbisik. Seperti ada rahasia yang mereka genggam. “Aku mengajak Pakar Kabut kesini karena beliau tergolong orang baik”, kata Dukun Pengobatan. “Bisa kamu lihat, Wir, beliau tidak terdampak oleh kabut itu”. Kepala Munawir mengangguk setuju. “Semua yang berkelakuan baik tidak akan terdampak buruk oleh kabut. Termasuk kalian”, kata Pakar Kabut menambahkan. “Lekas saja kita masuk ke kamar menengok bayimu”, ajak Dukun Pengobatan.
Bayi mungil itu terlelap. Lucu. Tidak terusik oleh kedatangan manusia asing. Diluar, pekat mendapat tempat. Hening menguasai tanpa tanding. Suara binatang malam bersliweran naik turun. Dut! Pret.. pret.. Dubur bayi mengeluarkan bunyi kentut. Disusul asap tipis panjang berkelindan. Si bayi mengeliat sebentar lalu melanjutkan kenyamanannya.
“Lihat, pak”. Suara lirih Dukun Pengobatan mengingatkan Pakar Kabut. Asap itu lama kelamaan membesar dan berubah warna, lalu menjadi sulur-sulur sebelum menghilang melewati celah genting atau lubang angin, kemudian menyatu kembali, menggantung mencari sasaran. Pakar Kabut takjub. Mereka saling pandang tanpa bisa mencerna barusan yang mereka lihat. “Apakah hanya bayi ini yang….” “Tidak. Tapi semua bayi yang lahir di desa kami”, potong Dukun Pengobatan. “Perlu menjenguk mereka satu persatu? “Tidak usah. Saya sudah yakin akan kebenarannya”, kata Pakar Kabut. Ternyata, kabut hitam berasal dari kentut bayi, batinnya “Leluhur kami sebenarnya sudah mewariskan syair-syair tentang peristiwa kabut ini”, kata Dukun Pengobatan.
Desa Ketingal merupakan desa terpencil. Dikitari perbukitan menjulang dilapisi pepohonan bak benteng pertahanan. Sungguh terisolir. Infrastruktur belum menjamah. Kehidupan penduduknya tergantung dari hasil alam yang tersedia dan yang mereka kelola. Dulu dipimpin oleh sesepuh yang mengajarkan petuah-petuah dan lelaku luhur. Tertuang dalam syair-syair di daun lontar dalam kotak kayu. “Sekarang saya yang memegang lembaran lontarnya”, kata Dukun Pengobatan. “Para orangtua dari bayi yang baru lahir telah saya datangi dan saya paparkan apa yang tertulis didalamnya”. Semua yang ada di ruangan itu diam. “Mengenai orang-orang terdampak?”. Pakar Kabut menatap tajam Dukun Pengobatan. “Itulah yang terjadi. Mereka mengaku pada saya…” Dukun Pengobatan menceritakan pengakuan dari orang-orang terdampak. “Akan sembuh jika mereka mengaku salah dihadapan penduduk desa”, kata Dukun Pengobatan. “Aibnya akan tersebar…?” “Ya bagaimana lagi? Kalau tidak, kabut hitam akan terus gentayangan di desa ini”, ujar Dukun Pengobatan.
Kabar pengakuan dosa pak Kades bersama orang-orang terdampak menyebar dari mulut ke mulut-getok tular. Media-media meliput dengan antusias. Di hadapan warganya serta sorotan sadis kamera, Pak Kades mengakui kalau selama ini dana dari pusat buat pengerjaan infrastruktur jalan telah ia selewengkan. Berturut-turut kemudian, pengakuan dosa meluncur dari sesamanya. “Saya telah melakukan penc*bulan pada anak mbok Semi”, aku Jumadi. Ia harus dibantu jalan karena tersandung-sandung. Salah satu bayi yang menciptakan kabut hitam adalah hasil rudapaksanya. Giliran pak Carik. Kepalanya tertunduk malu. “Maafkan atas pungli yang saya lakukan bertahun-tahun ketika bapak atau ibu mengurus surat-surat dikalurahan” “Saya menipu warga agar supaya menjual tanahnya dengan harga murah”, sesal Senton. Semua mendapat giliran. Beragam kebusukan yang dilakukan terkuak: Mencuri kambing, menggeser patok tanah, selingkuh, menebang kayu tanpa ijin di hutan larangan, dst. Mereka berjanji akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bisik-bisik dan gerutuan mendominasi. Kejengkelan tersusun ingin dilampiaskan. Tapi bisa dicegah.
Kabutpun sedikit demi sedikit terangkat. Seluruh channel televisi hingga youtube melaporkan peristiwa tersebut. “Alhamdulillah… akhirnya kabut itu musnah”. Gumaman lega keluar dari jutaan pemirsa. Tapi terlalu premature. Kabut hitam menyebar ke delapan penjuru mata angin dengan pantauan para jurnalis. “Pemirsa, sepertinya kabut hitam hanya pindah tempat. Terlihat pelan menari-nari menggantung di udara”. Laporan dari pandangan mata menjadi kabar buruk. Kabut itu tambah hitam. Terlihat lebih menakutkan dibanding ketika di desa Ketingal.
“Sialan! Harus ngungsi” “Ngapain ngungsi?” “Masih belum mengerti juga? Bukankah kita dapat bagian dari proyek 500 milyar”
Kabut bergerak menuju pusat pemerintahan di kabupaten serta kota yang letaknya jauh dari desa Ketingal. Para pejabat ketakutan. Daya magis kabut hitam telah memakan korban. “Bajingan tengik! Jangan sampai sesak napas. Kebusukanku bisa ketahuan”. Mereka berkemas-kemas dengan terburu-buru. Ketakutan terlihat sangat.
“Pesankan tiket pesawat ke Singapura. Cepat!” “Habis, pak” “Thailand” “Juga habis” “Sialan! Kanada?” “Sudah diborong” “Uganda?” “Sama saja, pak” “Bangsat! Kenapa bisa?! Negara mana yang masih kosong?” “Tidak ada. Sampai beberapa hari kedepan” “Bedebah!”, umpatnya kasar. Betapa banyaknya koruptor di negeri ini, batinnya kesal.
Akhirnya para pemburu rente berhamburan menuju wilayah paling jauh. Kemacetan menyembul. Body mobil penyok-penyok karena saling mendahului. Klakson menjerit-jerit frustasi. Kepanikan menghantam benak para penjahat. Mereka berloncatan menghindari terkaman kabut hitam.
Jumat, 7 Januari 2022-Masjid Agung Bekonang, Sukoharjo
Cerpen Karangan: Sri Romdhoni Warta Kuncoro Facebook: facebook.com/Romdhoni.Kuncoro Buruh freelance tanpa paspor. Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com