Di gereja ada Bapa seorang diri di altar sedang membacakan do’a kepada dirinya dan seisi gereja. Para jemaat muda maupun tua sudah terikat sifat duniawi—lupa pada kewajiban mereka untuk berdoa kepada Tuhan. Hanya beberapa pengunjung datang untuk meminta penembusan dosa dan cara itu gereja tetap bertahan hidup. Mereka giat berbuat dosa tapi giat meminta pengampunan. Apakah cara itu bisa diterima oleh Tuhan? Bapa itu merasa sedih dan megadu kepada Tuhan surga dalam benaknya.
Tiba-tiba ada seorang pengunjung dan tampaknya kemari hanya untuk pengakuan dosa. Ia masuk ke dalam tempat Sakramen Tobat dan ia tampak penuh berlumuran dosa, anehnya ia terlihat santai.
“Anakku, ada pengakuan yang ingin kau sampaikan? Karena ini adalah tempat pengakuan dosa anak-anak Adam.” “Ada Bapa, tapi aku tidak tahu, harus dimulai dari mana aku harus bercerita,” kata pria itu mempunyai inotasi tersembunyi. “Cobalah, kau jangan ragu, karena itu sifat dari kesesatan membimbing kita kepada setan,” ujar Bapa itu. “Baiklah saya tidak ragu lagi setelah mendengar itu dari mulut Bapa. Ini kisah dimulai pada aku masih kecil. Ibu saya adalah figur ibu buruk, aku memahami kemalangan itu karena suaminya—ayahku—suka main tangan dan abuse verbal setiap hari. Ibu yang hatinya lemah terinfeksi oleh penyakit telah diciptakan dari ayah pada rohani ibu.”
DIa menunduk dan diam seolah ia sekarang sedang terlarut oleh cerita masa lalunya. Bapa penasaran, meminta kembali untuk melanjutkan kisahnya. Pria itu berada di ambang keraguan, namun wajahnya tetap tidak berubah dari awal dia masuk ke gereja.
“Nak, tolong teruskan agar proses pengakuan ini tetap berjalan.” “… ibuku menggunakan aku sebagai pelampiasannya.” “… apakah itu berlangsung lama?” “Lebih lama ketika seorang ibu mengandung anak dalam rahim,” jawab pria itu.
Lalu ia menunduk dan diam lagi. Namun ia melanjutkannya yang kini kilatan matanya berubah seorang pembunuh. “Itu adalah pendidikan yang bagus untuk menjadikan aku seorang yang unik dari semua anak lain,” katanya seraya terkekeh. Mulai fase ini membuat Bapa menjadi begidik. Ia merasakan bulu-bulunya berdiri dari lengan baju hitamnya.
“Ya aku terima saja apa hasil didikan ibuku telah ditanam padaku. Seolah ia tak peduli apakah aku mau jadi preman, koruptor, penipu, pemalak, penjahat perang. Tapi aku senang. Dengan itu—.” “Nak cukup,” Bapa menyelanya, “apa poin sebenarnya ingin kau sampaikan? Jika kau tetap bicara ngelantur, aku tidak bisa menjadi tempat pengakuan dosamu.” “… aku paham kalau gitu langsung ke poinnya. Aku … aku barusan membunuh seekor hewan di jalan.” “Apakah kau menabraknya dengan kendaraanmu?” “Iya betul.” “Kucing atau anjing yang kau tabrak?” “Serangga.”
Bapa itu semakin tidak mengerti dan ia ingin pria aneh itu segera pergi dari gereja ini. Ia tidak sabar dan sedikit menaikkan nadanya. Pemuda itu tidak bergeming ia tetap melanjutkan apakah cerita itu menyenangkan untuk Bapa atau tidak? “Cukup,” kata Bapa dengan tegas, “keluar dari sini!.” Wajah pria itu tidak berubah maupun bergeming. Ia tetap melanjutkan dengan nada lebih mengerikan.
“Bapak pasti paham dalam arti tujuan berdoa secara khusuk dan khidmat, karena itu bisa membuat kita lebih fokus dalam berdoa. Dan aku juga merasakanya juga, ‘fokus,’ tatkala aku membunuh mereka secara perlahan.”
Bapa itu begidik apa barusan ia bicarakan, ia ingin berteriak kencang: bukan marah tapi memohon. Ia berdoa kepada Tuhan surga untuk meminta perlindungan dan pengusiran dari setan manusia yang ada di hadapannya saat ini. Ia sama sekali tak bisa melihat ekspresinya di balik tabir Sakramen.
“Aku tidak suka bersuara itu mengganggu. Dan aku menemukan solusi bagaimana cara korbanku untuk tidak bersuara. Aku menyumpal mulut mereka atau kuberi mereka obat bius agar tetap tenang – tak bersuara.” Ia diam lagi dan sementara sang Bapa tenggelam pada ketakutannya terhadap pengakuannya.
“Menurut saya, dosa saya dapatkan adalah menentang kodrat Tuhan sudah menentukan untuk yang bersuara dan tidak. Karena itu aku lebih suka serangga. Mereka hewan yang baik bersedia untuk mati dengan bisu. Dan kupikir aku membuat kematian mereka lebih berarti. Begitu juga mereka yang bersuara walaupun aku berdosa.”
“JANGAN DILANJUTKAN!” Bapa itu berlari keluar, panik dan berteriak minta tolong pada anggota-anggota gereja. Mereka semua datang ke tempat Bapa, dan Bapa itu menunjuk ke tempat Sakramen Tobat untuk meminta mereka untuk mengusir pria itu. Namun pria itu sudah lenyap seperti air yang menguap. Bapa itu masih shock atas pengakuan itu. Dan mereka berusaha menenangkannya.
Setelah kejadian itu sang Bapa disarankan untuk berlibur dari perkerjaannya karena anjuran dokter dan orang-orang dekatnya. Sedari itu pengawasan gereja lebih diperketat dan polisi mulai investigasi untuk mencari keberadaan pria aneh itu.
Sang Bapa nampak letih untuk bangkit dari sofanya yang empuk. Dan suara telepon berdering nyaring di meja kaca membangkitkannya. Ia mengangkat telpon dan hanya kesunyian ia dengar.
Cerpen Karangan: Lim Yeng