Bagaikan angin ribut aku menghambur masuk ke dalam ruangan Inspektur Mark Von Bram. “Ada pembunuhan! Di rumah teman saya! Saya melihatnya! Saya melihatnya!” seruku histeris. Dengan nafas menderu aku berusaha menjelaskan kejadian janggal yang barusan kualami. Berharap agar pihak kepolisian segera menginvestigasi, atau apalah namanya itu, untuk menuntaskan perkara ini.
“Silakan duduk dulu, Nak,” kata Inspektur Bram yang berwajah bulat dan ramah. Dia memiliki tubuh yang gemuk dengan dagu terlipat, kumis tipis, dan kulitnya kuning mulus. “Kedatanganmu jelas mengejutkan kami.” Aku buru-buru menoleh ke belakang, dan baru menyadari ada seorang polisi lain yang badannya tegap dan raut wajahnya tajam. Dia menatapku dengan garang seolah menegurku karena masuk tanpa mengetuk pintu. Aku berpaling. “Sebelumnya saya minta maaf, Pak Inspektur.” “Ach, das mach nichts (tak apa),” katanya santai sembari mengamatiku. “Jadi, ada pembunuhan, ya? Kelihatannya si korban tergeletak di sebelah kiri tempatmu tidur.” “?!” “Ada noda darah di lengan kiri piamamu dan penampilanmu acak-acakan. Kau tadi sehabis berlari, kan? Bondan, ambilkan segelas air.” “Siap, Pak!” kata polisi di belakangku dengan lantang.
Setelah Bondan menyerahkan gelas, aku meneguknya beberapa kali. Lalu, Inspektur Bram melanjutkan, “Apa kau membawa kartu identitas?” Aku menyerahkannya.
“Namamu Yan Sebastian, ya? Umur 17 tahun, tinggal di Kartoffelstrasse (Jl. Kartoffel), Aachen. Golongan darah A. Kewarganegaraan Jerman. Ja, ja, ja… (ya)” Detektif itu mengembalikan kartuku. “Dan sekarang, Yan, ceritakanlah keterlibatanmu dalam kejadian itu. Siap-siap mencatat, Bondan.” “Baik, Pak!”
Aku menata pikiran sejenak. “Agar Anda dapat lebih memahaminya, saya ceritakan dari awal. Saya ini anak tunggal dan hanya memiliki seorang sahabat yang umurnya sebaya dengan saya, namanya Afro Afaro. Dia memiliki kakak perempuan bernama Novaya Zemlya. Mereka tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dan mewah di Karottestrasse, tidak jauh dari perumahan saya.
“Kemarin Selasa/15 Juni, Afro mampir ke rumah saya dengan mengendarai mobil berwarna putih yang sering saya sebut ‘mobil tanpa atap’. Katanya dia baru pulang dari bandara setelah mengantar orangtuanya yang bepergian ke luar negeri. Lalu, dia mengajak saya untuk menginap di rumahnya, di Karottestrasse. Saya menerima ajakannya dan memintanya untuk ikut makan malam bersama orangtua saya. Kemudian saya mengepak pakaian, membawa kotak biola, dan berangkat.”
“Ketika kami sampai di rumahnya, kami disambut oleh satu-satunya pelayannya, yaitu seorang laki-laki tua dan bungkuk. Saya tak melihat Novaya, dan saya pikir dia sudah tidur. Lalu, Afro menunjukkan kamar saya yang berbatasan dengan taman rumah. Sedangkan kamar Afro berada di sebelah tangga putar.”
“Hari ini, Rabu/16 Juni. Setelah saya terbangun pagi ini, saya kaget sekali mendapati tubuh Novaya yang bersimbah darah dengan pisau menancap di dadanya, terbaring persis di sebelah kiri saya. Saya berteriak memanggil pelayan dan juga Afro, namun tak ada yang datang. Berikutnya saya keluar rumah, tergesa mengikat tali sepatu dan berlari sampai ke sini.”
“Jadi begitu kejadiannya,” kata Inspektur Bram. “Karena kita bisa melihat ciri fisik Novaya di TKP, aku ingin tahu bagaimana ciri fisik Afro. Coba deskripsikan.” “Tingginya 170 centi dengan warna kulit putih pucat. Wajahnya cukup tampan dan iris matanya berwarna abu-abu. Dia memiliki bentuk tubuh ideal serta rambut pirang yang lurus dan sehalus bulu kuas. Dia juga memiliki bintik hitam kecil di atas matanya.” “Dan wataknya?” “Afro adalah tipe orang yang tidak banyak bicara, namun dia bukan pemalu. Saya ingat sewaktu kami menempuh sekolah menengah pertama dulu. Saat itu materinya tentang drama, dan kami diminta untuk memerankan seorang tokoh sesuai perintah Frau Schmidt. Ketika tiba giliran Afro, dia mendapat peran seorang kritikus seni rupa. Saya ingat dia melakukannya dengan baik sekali saat mengomentari sebuah lukisan bergambar seekor naga. Katanya, lukisan tersebut memiliki ‘nyawa’ yang kuat, dilihat dari garisnya yang tegas dan pemilihan warnanya, yaitu kuning keemasan. Dia bilang, seniman yang menciptakannya pastilah memiliki penjiwaan yang bagus terhadap seekor naga.” “Ach ja… Yang pasti Afro bukan seorang seniman, tapi dia sangat menyukai drama.”
Detektif itu termenung selama beberapa saat. “Bagaimana hubungan Novaya dengan Afro?” “Sejauh yang saya tahu, hubungan mereka baik-baik saja, tidak terlihat tidak beres dan sebagainya.” “Apakah Novaya memiliki musuh atau orang yang dibencinya?” “Sepertinya tidak.” Inspektur Bram menggumam, “pembunuhan ini terjadi di dalam rumah, itu berarti pelakunya…” Dia mendongakkan kepalanya. “Si pelayan sempat kau panggil, tapi tidak datang, kan?” “Begitulah cerita saya tadi. Tapi kenapa Afro tidak muncul pula?” “Itulah yang akan kita cari jawabannya, Yan. Apakah kau punya dugaan siapa pelaku lainnya?” “Nein (tidak).” “Apakah ada barang berharga yang hilang setelah kejadian ini?” “Saya tak sempat memperhatikannya dengan benar, mohon Anda mengerti posisi saya.” Detektif itu bangkit dari kursi. Dia mengecek jam arlojinya, lalu tersenyum. “Jam 07.45. Baiklah, sekarang saatnya untuk meluncur ke TKP. Kau akan ikut bersamaku sebab kau adalah saksi sekaligus informan bagi kami.”
Aku ikut berdiri dan menyadari bahwa puncak kepala Inspektur Bram tak lebih dari daguku. Dia mengulurkan mantelnya yang bermotif kotak-kotak kepadaku, mungkin sebab aku terlihat jelas memakai piama. Aku menerimanya.
“Bondan, siapkan personel untuk investigasi dan kalau perlu ajaklah Antonio ikut serta.” “Baik, Pak!” Bondan melangkah mantap keluar ruangan.
Akhirnya, ketika kami sampai di Karottestrasse, sebuah rumah yang luas dan dekorasinya mewah, dengan garasi di mana terparkir mobil putih ‘tanpa atap’, dan juga air mancur yang bergemericik di taman. Tak terpengaruh oleh pesona rumah tersebut, para petugas kepolisian segera memasang garis pembatas di sekelilingnya.
Sementara aku, Inspektur Bram dan asistennya, Bondan menaiki undakan depan serta mencopot sepatu kami sebelum mengotori lantai keramik yang berkilau. Begitu Bondan membuka pintu kayu berukir indah, tampaklah ruang tamu yang nyaman, dengan sofa-sofa empuk dan meja penuh ornamen. Pada salah satu sisi dindingnya, tergantung sebuah lukisan mahal dalam pigura emas, dan di bawahnya terdapat perapian yang sudah lama padam. Secara keseluruhan, desain dan arsitektur bangunan ini sungguh menawan.
“Tunjukkan kamar yang kau tempati, Yan.”
Aku berjalan ke ruangan lain dalam rumah, di mana terdapat pintu geser yang berbunyi nyaring saat digeser. Aku membukanya. Di kamar ini, aku dapat melihat taman rumah dari jendelanya.
Seperti yang kukatakan pada Inspektur Bram, mayat Novaya tergeletak di atas tempat tidur. Novaya memiliki warna rambut yang sama seperti Afro. Perbedaannya, warna kulit Novaya lebih gelap, hidungnya lebih lebar, dan bola matanya berwarna biru cerah. Aku menahan nafas saat melihat mata birunya yang melotot seakan ingin keluar dari rongganya, dan pisau yang masih menancap di kemeja putihnya.
Inspektur Bram mendekati si korban. Sambil mengecek pergelangan tangan Novaya, dia bertanya, “Apakah kau tidak mendengar suara geseran pintu, atau teriakan, atau gerakan perlawanan di sini?” “Nein.”
Inspektur Bram mengeluarkan sarung tangan putih dan memberikannya pada Bondan. “Pakailah ini sebelum kau mencabut pisaunya, kemudian serahkan pisau itu pada petugas sidik jari.” “Baik, Pak!”
Detektif itu mengerutkan keningnya. “Kelihatannya,” katanya perlahan, “si korban dibunuh di tempat lain, karena dengan luka separah ini pastilah banyak cipratan darah, tapi di kamarmu tidak ada, atau lebih tepatnya belum kita temukan noda darahnya. Dan Novaya mengenakan sandal rumah namun ada bekas rumputnya, itu berarti dia keluar menuju ke-” “-taman rumah?” sambungku. “Ach ja… Kau benar, Yan. Aku akan meminta Antonio dan yang lain untuk mencari jejak di sekitar taman, dan juga pemeriksaan kamar Afro sekalian.” Inspektur Bram mendongak memandangku. “Di atas segalanya, Terima kasih atas bantuanmu, Yan. Sekarang, kau boleh mengemasi barang-barangmu. Aku akan menunggu di depan untuk mengantarmu pulang.” “Baik, Pak Inspektur.”
Sebenarnya aku tak perlu berkemas karena hanya mengeluarkan piamaku kemarin. Yang aku cari saat ini adalah biolaku!
Saat itu sore hari. Aku sedang membaca novel Sherlock Holmes, ketika terdengar ketukan pintu yang menggema dari depan rumah.
Saat aku membuka pintu, kulihat segerombolan polisi dengan seragam mereka yang resmi, dan tatapan mereka yang bisa membunuh, kecuali satu orang. Dialah polisi yang berhadapan denganku, ekspresi wajahnya penuh kemenangan. Sepertinya dia ikut dalam penyelidikan pembunuhan tadi pagi. Dia memiliki alis mata yang tebal dan kumis yang menyatu dengan cambang lebatnya. Yang jelas, dia bukan Bondan.
“Namamu Yan Sebastian, kan?” dia bertanya. “Ja.” “Di mana orangtuamu?” “Masih bekerja,” jawabku. “Ada keperluan apa Anda sekalian datang kemari?” “Kami harus menahanmu atas tuduhan pembunuhan terhadap Novaya dan kekerasan terhadap pelayannya.” Usai mengatakan pernyataan yang garing namun tegas, si polisi langsung memborgolku dengan bantuan anak buahnya. “TUNGGU! Saya tidak bersalah! Saya bisa menjelas-” “Jelaskan nanti di kantor kami.” Si polisi bercambang lebat menunjuk novel di atas meja. “Dan jangan lupa ucapkan ‘auf wiedersehen’ (selamat tinggal) pada Holmes-mu tersayang.”
Di luar rumahku, terparkir sebuah mobil hitam dari kepolisian, dan juga beberapa motor milik para penyergapku. Aku didorong masuk ke dalam mobil dan duduk diapit oleh dua orang polisi berbadan kekar. Dua-duanya bersenjata lengkap. Polisi bercambang lebat duduk di kursi sopir, menyalakan mesin mobil. Dia melirik ke kaca untuk menatapku, lalu tersenyum sinis sambil menyetir mobil ke jalan beraspal. Beberapa motor tadi mengawal mobil kami seperti ekor panjang.
Aku tidak mengucapkan apapun selama perjalanan. Aku hanya memikirkan kasus pembunuhan yang janggal. Ada yang tidak beres dalam kasus itu. Kenapa aku yang dituduh sebagai pelakunya? Bukti apa yang mereka dapatkan? Ach, kalaupun pihak kepolisian sudah mendapatkan jawaban atas penyelesaian kasus ini, pastinya ada kekeliruan. Nyatanya aku duduk dalam mobil pengap ini menuju, barangkali, ke sel tahanan yang dingin? Aku akan menuntut keadilan.
Cerpen Karangan: Fatiha Wardiya Facebook: Fatiha Wardiya Masih bersekolah di MAN 2 Yogyakarta