Pohon-pohon karet berdiri kokoh, mengitari lumbung padi kecil berbentuk balok di atas lantai kusam. Atap lumbung itu terbuat dari rumbia tua, sedikit demi sedikit terhempas jauh dibelai angin. Papan-papannya dihinggapi lumut, mungkin sering tertimpa tanah sehingga berwarna cokelat kehijauan.
Dari jauh, seorang anak menuntun kerbau di atas pedati. Hendak menghampiri lumbung padi dari antara pohon-pohon karet. Rodanya sering tergelincir karena tanah becek bercampur air sepanjang jalannya, membuat anak itu berpegangan di sisi pedati sambil menggenggam cambuk di tangan kiri.
Setelah sampai di depan lumbung, dia turun perlahan dari atas pedatinya. Melangkah santai ke atas lantai kusam hingga ke depan lumbung. Lama, dia merogoh kantong celananya, mengambil mata kunci lalu membuka dua selot besar yang menghalangi pintu lumbung. Tangan kanannya mulai menarik pintu diiringi bunyi kayu lapuk. Seketika, setelah hendak masuk ke dalam, matanya melotot kaget sambil melompat ke belakang dan bergeliat mundur.
“MAMAAA!!!” Teriak anak itu sambil meringkuk cepat jauh dari lumbung. Kakinya mencakar tanah lalu berdiri dan berlari tanpa memandang ke belakang. Matanya terus melotot fokus ke depan, masih terngiang wajah tiga orang mayat yang diliatnya di lumbung barusan. Tiga mayat gantung diri, membuka mata dan tersenyum dengan darah di mulut menghadap ke pintu lumbung. Dua di antaranya adalah orang dewasa, pria dan wanita. Satu lagi adalah anak laki-laki kecil.
—
Berawal dari penemuan tiga mayat di sore itu, rumah Rehan tak lagi sepi. Puluhan warga berdatangan. Anak-anak sampai orang dewasa, bergerombol penasaran dengan desus berita penemuan mayat yang berkelebat sampai ke ujung desa. Di belakang sana, pintu lumbung padi itu masih terbuka. Warga-warga berjalan menapaki becek untuk sekadar melihat mayat itu. Beberapa pria berani masuk ke dalam, berusaha melepas ikatan yang teramat kuat melekat di leher sang mayat. Beberapa lagi berusaha mengitari pohon-pohon karet di sekeliling lumbung, mencoba memecah rasa penasaran tentang apa yang telah terjadi.
Di tengah bisik-bisikan warga yang bergemuruh di luar sana, Rehan masih saja terduduk kaku di sudut kamarnya. Dia masih sangat ketakutan dengan apa yang baru saja dia lihat. Dia bahkan tak kuasa menahan getaran tubuhnya yang saat ini dibalut keringat.
Di samping, ibunya setia menenangkan. Sedari tadi tangannya tak pernah lepas dari punggung Rehan, mencoba ikut mengurangi getaran tubuhnya yang tak kunjung berhenti. Sesaat sang ibu menoleh sekeliling, menatap risih dengan ramainya suasana di luar rumah.
“Acho!!!” teriak seseorang, jauh dari lumbung. “Kesini dulu!” sambungnya. Dari tengah keramaian, seseorang berbadan tegap berlari, menerjang becek di depannya menuju lumbung. Sesekali dia melambat, berhati-hati melewati jalan licin berair.
“Kenapa, Man?” tanya Acho ketika sampai di depan Arman lalu memandang sekitar yang semakin ramai. “Kau ada kenal ini?” tanya Arman balik, sambil bergeser membiarkan Acho melihat mayat yang kini tergeletak di lantai. Acho memicingkan matanya lalu mendekat. Menelaah dengan seksama ketiga wajah itu lalu menggeleng. “Nda ada yang saya tau,” jawabnya. Arman menghembuskan napas. “Bagaimana sudah ini? Bukan warga di sini juga.” Kata Arman kembali memandang mayat itu. Menatapnya lama lalu menoleh. “Mungkin kita bawa saja dulu ke kantor desa, nanti kita cari tau lagi pas sudah di sana.” Sambungnya.
—
Dua hari berlalu, ketiga mayat itu masih tergeletak di dalam ruangan kantor desa. Mayatnya sempat dimandikan sebelum diberikan formalin. Tak ada satupun orang luar yang datang mencari, hanya warga-warga desa yang bergantian datang melihat lalu pergi. Tak ada satupun yang mengenalnya di desa ini.
“Sekarang kita kubur saja dulu dengan layak, sudah dua hari ini tidak ada yang kenal.” Kata Arman pada rekan-rekan karyawan desa. “Makin lama lagi kalau kita mau tunggu keluarganya ini, itupun kalau memang ada yang datang cari kesini.” Jelasnya lagi.
Sore itupun, ketika matahari masih memancar, warga kampung bergotong royong mengubur ketiga mayat itu. Mayatnya di kubur dengan layak di tempat pemakaman desa Laumpa. Kuburan ketiganya dibiarkan berdampingan. Di batu nisannya tertulis, ‘Mayat dari lumbung padi’.
Semenjak hari itu, warga desa Laumpa kembali menjalani hari seperti biasa. Kecuali Rehan dan keluarganya, mereka kini harus berpikir keras untuk bertahan hidup selanjutnya. Karena 28 karung padi di dalam lumbung yang baru rencana dijemur 3 hari yang lalu kini hilang, bersamaan dengan penemuan mayat itu. Mereka bahkan tak bisa berkata bahwa padi mereka sepenuhnya telah dicuri, karena karung-karung yang digunakan untuk menampung padi tersusun rapih di dalam lumbung itu tanpa isi.
—
Hari berikutnya warga kembali dikagetkan dengan penuman tiga mayat lagi di lumbung padi Arman. Semua warga kini makin ketakutan, karena mayat yang ditemukan adalah mayat sebelumnya yang telah dikuburkan. Sementara di tempat pemakaman, kubur mayat yang sebelumnya itu masih tertata rapih. Uniknya juga, posisi dan tata letak mayatnya sama persis, membuka mata dan tersenyum. Hanya kali ini di lumbung yang berbeda.
“Saya baru rencana mau angkat padiku, ti-tiba-tiba ada ini…” Kata Arman tersengal menahan ketakutan. Acho memandangi dengan seksama tiga mayat yang kini tergeletak di lantai kantor desa itu lagi, memang sangat benar bahwa wajah mereka sangat mirip dengan mayat sebelumnya. Pikirannya kini tak karuan, ditambah lagi dengan warga desa yang semakin ramai datang melihat.
“Mulai malam ini, kita adakan ronda. Tolong laporkan sama bapak-bapak di desa.” Kata Acho tegas. Dalam hati, Acho sebenarnya bukan berniat untuk mengetahui siapa pelakunya, tapi bagaimana pelakunya itu melakukannya. Karena bila dipikir sekeras apapun, sesuai logika hal itu mustahil dilakukan.
Di belakang mejanya, Acho kini duduk sambil merenung. Tangannya menopang dagu sambil mengawang. Dia sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi. “Pintu lumbung masih terkunci rapat-rapat. Papan-papannya juga tidak ada yang rusak. Tidak ada jejak satupun di sekitar lumbung. Tapi bagaimana mayat itu bisa ada di dalam?” kata Acho sendiri sambil terus mengawang. “Trus padinya kemana? Kenapa cuman karungnya yang disisahkan?” sambungnya lagi, kini merebahkan bahunya di sandaran kursi. “Apa yang terjadi ini sebenarnya?”
—
Malam itu, sesuai rencana, mereka melaksanakan ronda. 7 bapak-bapak bergabung bersama Acho, di sebuah pos kecil di tengah kampung. Arman kali ini tidak dilibatkan. Dia dibiarkan beristirahat di rumahnya.
Sebuah cerek besar terletak di tengah meja dalam pos, berisi kopi hitam. Di sampingnya ada selusin gelas plastik dibiarkan bertumpuk, belum ada yang berinisiatif untuk menuang kopi. “Tuang sudah kopinya dulu,” perintah Acho lalu menghitung bapak-bapak yang hadir. “7 gelas saja,” sambungnya lagi. Menuruti perintah, seorang bapak gendut berkumis mulai berdiri dan melepaskan gelas dari tumpukannya satu per satu. Dia menghitung gelas itu kemudian mulai menuang kopi dari dalam cerek. Setelah semua terisi penuh, bapak-bapak di sekitar bergerak mengambil.
“Kemana, Mos?” tanya Acho pada seorang bapak kurus berambut ikal yang sedang berdiri. “Kencing dulu,” jawab Amos melangkah linglung keluar pos. Wajar, sore tadi dia minum 3 botol captikus* sendirian. Setiap hari selalu seperti itu.
Amos berjalan di antara rumah seberang jalan, tepat di depan pos. Jalannya masih linglung menuju ke belakang rumah, semakin jauh ke belakang. Setelah merasa tempatnya pas, dia mulai membuka restleting celanannya. Di bawah pohon besar itu, dia buang air kecil.
Jauh lebih ke dalam, dari samar-samar sinar bulan, Amos memicingkan mata. Benar, dia melihat seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Tanpa ada rasa takut, Amos yang sudah merapikan celanannya mulai melangkah menghampiri orang tersebut.
“Eh Benhur!” sapa Amos setelah melihat jelas wajah orang tersebut. Namun tanpa kata, lelaki bertubuh pendek berwajah bulat itu hanya menganggukan kepala menjawab sapaan Amos. Tanpa tersenyum. “Buat apa kau di sini?” tanya Amos lagi. Benhur masih memandangnya dengan diam. “Kasi teman saya dulu angkat padi di sana,” jawab Benhur kemudian setelah diam cukup lama. Amos mengerutkan kening. “Mo bikin apa itu padi malam malam begini?” Namun masih tanpa kata, Benhur langsung berpaling dan berjalan jauh makin ke tengah hutan. Amos terdiam sejenak, pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan kali ini. Akhirnya setelah melihat Benhur yang semakin jalan menjauh, Amos setengah berlari mengikutinya dari belakang.
Di bawah sinar bulan purnama malam itu, mereka berdua berjalan tanpa senter. Sinar bulan menerangi jalan. Kiri-kanan jalan berbecek yang mereka lalui terdapat pohon-pohon karet besar. Sekitaran pohon karet itu tumbuh semak-semak tinggi yang menghalangi penglihatan.
“Kita mo kemana ini, Ben?” tanya Amos beberapa kali yang tak kunjung ditanggapi. Namun akhirnya setelah jauh berjalan, Benhur berhenti. “Ini, Mos. Angkatkan dulu, nanti saya angkat yang satunya.” kata Benhur menunjuk dua karung padi di depannya. Amos mendekat dan melihat. “Padinya siapa ini, Ben? Kenapa ada di sini?” tanya Amos semakin bingung. Namun lagi-lagi tak ditanggapi Benhur. Benhur hanya menunduk dan mulai mengangkat padi lalu hendak meletakannya di bahu Amos. Amos sigap berbalik badan dan membiarkan Benhur meletakan sekarung padi itu di punggungnya. “Antar ke pos.” Kata Benhur datar. Amos mengernyit kemudian memandang ke belakang. Dia memandangi Benhur yang kini juga memikul sekarung padi.
Amos berbalik lagi ke depan, lalu berjalan saja sesuai perintah Benhur menuju Pos. Jalan tadi mereka lalui dengan pemandangan yang sama. Masih disinari oleh sinar bulan purnama. Tanpa memandang ke belakang lagi, Amos terus berjalan, fokus menghindari tanah becek sepanjang jalan.
Sepanjang jalan itu mereka hanya diam. Amos terus fokus memperhatikan jalan di depannya. Melewati rumah warga lalu menyeberang jalan menuju kantor pos sambil terus memikul sekarung padi itu.
“Apa yang kau bawa itu, Mos?” tanya Acho setelah Amos sampai di depan pos. “Padi.” jawab Amos meletakan sekarung padi itu di lantai depan pos. Bapak-bapak lain ikut berdiri dan melihat. “Untuk apa ini padi?” tanya Acho lagi sambil menyentuh karung itu, sekadar memastikan bahwa isinya memanglah padi. “Di suruh Benhur. Nda tau untuk apa.” Kata Acho kemudian berbalik. Namun nihil, di belakangnya tidak ada siapa-siapa. “Eh kemana dia tadi?” sambungnya menerawang sekitar. “Kenapa, Mos?” Benhur muncul di antar bapak-bapak itu. Kemudian ikut melihat sekarung padi tersebut. “Tadi kau yang suruh bawa ini.” “Eh tidak ada saya suruh. Saya saja ini barusan datang.” Kata Benhur menyeka rambutnya yang basah, “Saya habis mandi tadi baru datang kesini.” Sambungnya. “Baru siapa yang suruh saya tadi ini?” kata Acho mulai meninggikan nada bicaranya. “Eh mana saya tau.” Jawab Benhur lebih tegas. “Iya, Mos. Dia datang kesini duluan tadi, baru kau datang bawa padi ini.” Sela Acho kemudian. “Sudah nda betul ini, bukan Benhur yang kau ketemu tadi itu kayaknya.” Kata lelaki pendek berambut lurus di samping Benhur. “Beh ada-ada saja, saya liat kok tadi mukanya jelas.” Kata Amos lagi mencoba meyakinkan. “Coba dulu sekarang kita jalan sampe ke ujung kampung. Kita cek semua lumbung padi orang-orang, siapa tau ada yang rusak atau terbuka. Siapa tau ini padi habis dicuri.” Kata Acho memotong perdebatan. “Yasudah ayo,” sambung Amos kemudian melangkah. Dia tampak menggebu, diikuti semua bapak-bapak dari belakang. Mereka juga tampak antusias ingin mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Langkah mereka cepat menuju belakang rumah tempat Amos buang air kecil tadi. Di sana terdapat lumbung padi di tengah hutan pohon karet. Tidak jauh dari rumah itu. Kiri kanan sepanjang jalan mereka menerawang sekadar waspada. Mengarahkan senter jauh ke dalam hutan. Kadang langkah-langkah mulai melambat, berhati-hati melewati tanah becek berair. Namun sesaimpainya di lumbung, tak ada tanda-tanda apapun. Pintu lumbung masih terkunci rapat, papannya juga masih kokoh menempel. Bapak-bapak itu memeriksa sekitar lumbung untuk memastikan lagi, namun tetap tak ada tanda apapun. Bahkan jejak kaki pun tidak ada yang terlihat, hanya luas tanah becek berair.
Dengan terus semangat, mereka kemudian mengunjungi lumbung padi warga satu per satu. Tak ada yang terlewat. Menelusuri sekitarnya, memeriksa dengan seksama, hingga sampai ke ujung kampung. Namun tak ada tanda apapun. Semuanya tampak baik-baik saja. Sehingga dengan rasa penasaran yang masih menempel di kepala, mereka memutuskan untuk kembali ke pos dan melanjutkan penjagaan.
—
Diiringi bunyi kokokan ayam di pagi hari, seorang wanita berteriak sangat keras dari belakang rumah. Suaminya terkesiap, dari teras rumah seketika berlari menghampiri. Dia menerjang batu tajam di samping rumahnya menuju ke belakang. Anak-anak mereka sontak terangkat dari kasur di kamar, terbangun tanpa persiapan.
“Kenapa, Ma?” tanya sang suami ngos-ngosan. Mata si wanita hanya melotot, tangannya mencakar tanah dan gemetar. Mundur perlahan. “Ada ma-ma-mayat di lumbung,” jawab wanita itu tersengal. Suaranya bergetar.
– Bersambung –
Cerpen Karangan: Alan Tamalagi Blog / Facebook: Alan Tamalagi