“Mulai malam ini lebih baik kita tidur di dalam lumbung masing-masing, kasi tau ke semua warga!” kata Acho tegas kepada Arman di kantor desa siang itu. Arman bergegas beranjak.
Sudah hampir satu minggu desa Laumpa diteror oleh mayat-mayat asing yang berurutan hadir di lumbung-lumbung warga. Bergantian setiap pagi, pasti ditemukan mayat di salah satu lumbung warga. Padahal ronda semakin ketat dilakukan, bergantian bapak-bapak tiap malam berkeliling kampung, mengecek semua lumbung. Namun entah kenapa selalu saja mayat-mayat ditemukan tanpa jejak.
Kali ini mayat-mayat asing itu mulai beragam, dari mulai anak kecil hingga orang tua. Namun uniknya semua mayat ditemukan dalam keadaan gantung diri sambil melotot dan tersenyum. Mereka dikuburkan rapih di tempat pemakaman desa Laumpa, dibuatkan selahan khusus berukuran 6 meter persegi. Di depannya tertulis, ‘Tempat pemakaman mayat asing dari lumbung padi’.
Masalahnya, padi warga di dalam lumbung yang ditemukan mayat pasti hilang entah kemana, hanya disisahkan karung-karungnya yang tersusun rapih. Tak ada jejak dicuri, atau lumbung dirusak, semuanya selalu tampak rapih. Hal itu membuat warga menjadi kesusahan, mau mencari beras kemana lagi?
Hingga malam ini, semua warga berencana tidur di lumbung masing-masing. Mereka mempersiapkan segalanya untuk melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi di dalam lumbung. Warga laki-laki mulai mengasah parang untuk berjaga-jaga sekiranya ada hal yang tidak diinginkan.
—
Saat matahari akhirnya tenggelam, Acho mulai berjalan ke belakang rumahnnya menuju lumbung. Dia membawa cerek kecil berisi kopi hitam dengan dua gelas kaca di tangan kanan. Tangan kirinya memegang kunci lumbung. Di pinggangnya terikat parang lengkap dengan tampi*. Sampai di lumbung dia mulai mengatur semuanya, menuang kopi hitam di dua gelas lalu meletakan cerek. Matanya terus memandang sekitar, memastikan semuanya masih baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian, Debora -Istri Acho- datang ke lumbung. Dia membawa tikar tua berwarna cokelat yang digulung. Di dalam gulungan itu terdapat dua bantal kepala untuk mereka tidur nanti.
Malam terus berlanjut dengan obrolan santai Acho dan Debora, mereka banyak bertukar pikiran hingga larut sampai suasana semakin sepi. Udara di luar juga semakin dingin, mereka akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam lumbung dan menutup pintu dengan rapat.
Semakin malam, angin berhembus semakin dingin. Debora sudah terlelap di samping Acho di dalam lumbung. Sementara mata Acho masih tegar terbuka, dia terus waspada. Di samping mereka masih tersusun rapih padi-padi dalam karung.
Saat suasana semakin sepi, ketika hanya suara jangkrik menggema di sudut lumbung, tiba-tiba terdengar siulan nyaring. Siulan itu berasal dari luar lumbung, merdu seperti nyanyian. Acho langsung terkesiap. Dia mulai bangun dari tempatnya dengan perlahan. Telinganya terus fokus menangkap suara nyaring siulan itu.
Dari dalam tampi di pinggangnya, Acho menarik parang. Dia merangkak pelan menuju pintu lumbung. Langkahnya sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. “Kenapa, pa?” sangat sial, Debora terbangun. Acho seketika berbalik dan memberikan isyarat agar Debora diam. Namun terlambat, siulan itu terhenti. Sial!
Acho langsung sigap membuka pintu dan melihat sekitar. Gerakannya lincah. Dan akhirnya kelihatan! dia di sana! berlari sangat jauh ke belakang. Acho seketika berlari mengejar orang itu sebelum makin jauh. Dia menerjang jalan becek berair di hadapannya sambil menggenggam parangnya semakin erat.
“Berhenti kau!” teriak Acho menggema, mengarahkan parangnya ke depan sambil terus berlari. Sedikit demi sedikit Acho semakin mendekat dengan orang itu, larinya bertambah cepat. Makin jauh berlari mereka tembus ke sebuah sawah yang masih ditumbuhi padi kuning. Mereka menerjang jalan. Namun sedikit lagi Acho meraih orang itu, langkahnya semakin mendekat. Sedikit lagi! Acho membalikan parangnya, lalu ketika tinggal sejengkal lagi dia mengayunkannya. Dan akhirnya! orang itu terpental ke samping lalu terbaring di tengah-tengah sawah. Bagian belakang parang mengenai kepalanya sangat keras hingga mengucurkan darah. Langkah cepat Acho langsung terhenti. Dia mengambil napas dalam.
—
“Dia masih hidup ini, cuman palingan lama baru bisa sadar.” Kata Arman memegang dahi orang asing itu. Acho sebelumnya memanggil orang desa untuk membawa orang tersebut ke kantor desa, lalu membaringkannya di sebuah kasur. Kepalanya kini sudah diikat kain tebal hingga tak ada darah lagi yang keluar. Di meja samping kiri terdapat daun kurekurebembe* yang barusan dipakai untuk mengobat luka.
Di kantor desa itu kini penuh dengan beberapa lelaki dan wanita, mereka penasaran dengan orang asing yang berhasil dikejar Acho. Tatapan mereka heran, karena baru belakangan ini ada orang asing yang sering hadir di desa mereka.
“Taruh di sini saja dulu dia, tapi ikat tangannya, takut nanti dia kabur pas sudah sadar.” Lanjut Acho dengan parang yang masih kuat di genggamannya hingga kini. Kakinya masih penuh dengan sisa-sisa becek. “Jangan-jangan dia ini sudah pelakunya. Nanti tunggu dia sadar baru kita tanya-tanya.” Lanjut Acho.
Para warga akhirnya tidak jadi tidur di dalam lumbung masing-masing malam itu, mereka kembali ke rumah. Selain karena suasana yang semakin dingin hingga ke dalam lumbung, mereka juga sudah meyakini bahwa orang asing yang ditemukan Acho itu adalah pelakunya. Tidak lagi perlu menjaga lumbung.
—
Pagi harinya, betapa kagetnya para warga. Masih juga ditemukan mayat gantung diri, kali ini di lumbung Acho. Apa yang sebenarnya terjadi? Acho kini semakin tidak tenang. Bukankah semalam dia sudah menemukan pelakunya? Kalau bukan pelakunya, lalu siapa orang itu? Kenapa dia berkeliaran malam hari? Kenapa dia lari? Sungguh sial, Acho juga tidak jadi tidur di lumbung malam tadi.
“Orang itu belum sadar, Man?” tanya Acho pada Arman. Dia memegang meja kerjanya dengan geram, mengharapkan jawaban yang baik. Arman menggeleng. “Belum.” Jawabnya. “Kalau dia sudah sadar nanti kabari saya, orang itu pasti tau sesuatu.” Kata Acho lagi lalu bersandar di kursinya. “Kayaknya lama baru dia sadar itu, kau pukulnya terlalu keras.” Jawab Arman, lalu menyeruput kopi hitam di depannya.
“Acho!” seorang wanita tetiba muncul di depan pintu. Napasnya tersengal, sepertinya habis berlari. “Benhur hilang! tidak ada di rumahnya, tidak ada di kebunnya! tidak tau kemana!” Acho langsung berdiri terkesiap. Apa lagi ini?
—
-Antah berantah-
Tubuh Rafa menggigil, tangannya berlindung di depan dadanya dengan gemetar. Angin dari luar semakin banyak menghampiri ruang tahanannya. Dia menatap nanar ke depan sana, melihat dua penjaga yang duduk di depan pintu terbalut selimut. Namun seketika sinar api menyala tetiba menerangi depan pintu itu. Dua penjaga di depan langsung berdiri dan menghempaskan selimut mereka ke samping. Salah satunya dengan sigap merogoh saku mengambil kunci.
Dari tempatnya Rafa berdiri, dia berjalan mendekat ke pintu. Penjaga itu membuka pintu lalu seketika bergerak menahan tangan Rafa, gerakannya cepat. Rafa sejenak memberontak, kemudian kembali tenang saat tangan penjaga itu semakin kuat menahannya. Tangan Rafa lalu diikat kain tebal dengan sangat kuat. Dia mengernyit. Tubuhnya lalu didorong ke luar tahanan, hampir terhuyung. Dengan cepat, tubuh Rafa didorong maju menuju ke sebuah panggung besar di belakang sana, tempat Rafa melihat seseorang meletakan sekarung padi pada malam sebelumnya. Namun, sesampainya di atas panggung, sekarung padi itu tidak terlihat. Panggung berlantai bambu itu terlihat kosong. Namun di bagian atas panggung terlihat sebuah bambu panjang horizontal. Terikat kuat sebuah tali cokelat besar di tengah-tengahnya, dengan lingkaran kecil di ujung. Nampaknya tempat itu untuk menghukum gantung seseorang. ‘Apakah aku akan digantung di sini?’ batin Rafa gelisah. Matanya menggeliat memandang situasi. Tangannya kini terlihat gemetar. Sekali lagi, dia mencoba menggeliat untuk kabur, namun tubuh dua orang di sampingnya itu sangatlah kuat. Susah untuk kabur. ‘Bagaimana ini?’ batinnya semakin gelisah.
Perlahan, seseorang bertubuh sangat tinggi naik ke atas panggung membawa cambuk panjang dari rotan. Wajahnya tertutup sebuah topeng serigala, kurang jelas. Namun nampaknya itu bukan topeng, itu kepala serigala asli. Terlihat jelas dari kulit-kulitnya yang masih basah dengan darah yang menetes dari bawah.
“AAAAHH!” Rafa menjerit, punggungnya disapu keras oleh cambuk rotan itu. Dua penjaga disampingnya hanya tertawa sambil terus menahan tubuh Rafa. Badannya semakin gemetar, kakinya terus menggeliat. Kali ini dia sangat merasa kesakitan.
“Lagi!” Pekik seseorang dari belakang Rafa. Seketika cambuk rotan itu mendarat keras lagi di punggung Rafa. Tubuhnya langsung terhuyung. Air matanya kini keluar saking sakitnya. Mulutnya terus berteriak keras, mencoba menahan rasa sakitnya. Namun sekali lagi, cambuk itu melayang. Sekali lagi, dan sekali lagi, sampai mata Rafa akhirnya tak sanggup terbuka. Tubuhnya kian lemas. Dari sayup matanya terlihat sebuah ledakan besar dari dalam hutan sebelum tubuhnya terhuyung dan semuanya menjadi gelap.
—
“Bangun,” Benhur berbisik lirih menggoncangkan tubuh Rafa kian keras. Perlahan seperti bayangan tatapan Rafa melayang menatap Benhur dengan seorang wanita berjongkok di depannya. Matanya kemudian bergeliat memandang sekitar, sadar bahwa tubuhnya kini disandarkan di sebuah pohon besar di tengah hutan lebat tak ada ujung sejauh matanya memandang.
“Aw!” Punggung Rafa masih berasa begitu sakit. Pedih. Dia kemudian memaksa tubuhnya untuk duduk tanpa bersandar di pohon. “Siapa kalian?” Tanyanya melihat dua orang asing di depannya. “Namaku Benhur, ini Tania.” Jawab Benhur juga mengarahkan pandangannya pada Tania, wanita cantik di sampingnya. Setelah melihat jelas, Rafa sadar bahwa wanita itu adalah orang yang memberikannya makanan ketika di penjara tadi. “Tenang, kami baru saja menolongmu.” Rafa membalikan badannya, memandang jauh ke belakang, “Kita dimana?” tanyanya. “Kita jauh di dalam hutan, Tania membantuku membawamu hingga ke sini.” Kata Benhur berdiri dan menyapu lututnya yang kotor.
– Bersambung –
Cerpen Karangan: Alan Tamalagi Blog / Facebook: Alan Tamalagi