Suatu pagi, terlihat di dalam jam milik ponselnya yang menunjukkan pada pukul 06.48, Yayuk terlihat sibuk mengerjakan tugas kuliahnya dengan tenang. Suasana kamar rusun yang ia tinggali teramat hening.
Tiba-tiba keheningan itu diganggu dengan suara yang memekakkan kuping Yayuk. “NENG YAYUK !!!!” teriak seorang laki-laki berusia 48 tahun yang bernama Pak Imron, tetangga Yayuk yang satu gedung rusun dengannya. Dia begitu panik dan melapor kepada Yayuk bahwa ada sebuah hal yang tidak menyenangkan melanda dirinya.
“Ada apa sih, Pak Imron? Pagi-pagi bikin saya kaget saja” “Begini, Neng. Celengan saya tidak berisi uang sama sekali, padahal saya sudah menabung sejak 5 bulan yang lalu”. “Kok bisa?” Yayuk bertanya sembari menghentikan kegiatan menulisnya. “Celengan saya awalnya menyimpan uang sebesar Rp 600.000. Selama 5 bulan terakhir, celengan itu sudah terisi uang senilai Rp 3.000.000. Ketika celengan itu saya angkat, bobotnya terasa ringan, padahal tidak ada bekas dipretelin dan tidak ada yang ngambil uang sama sekali.” “Sudah lapor ke satpam rusun tentang kejadian ini?” “Sudah, Neng. Tapi mereka tidak tahu kejadian itu sejak awal. Apa ada yang piara tuyul kali, ya?” “Ahahaha… Memangnya Tuyul dan Mbak Yul?” Yayuk tertawa mendengar omongan Pak Imron perihal dugaan uangnya dicuri tuyul. “Yee… Kamu bukannya ikut bantuin saya malah ketawa-ketawa…” celetuk Pak Imron dengan kesal. “Maaf, deh… Saya bantu cari.”
Yayuk dan Pak Imron berangkat menuju ke kamar milik Pak Imron yang bernomor 48 lantai 3. Kebetulan Yayuk dan Pak Imron tinggal di satu lantai yang sama. Kamar Pak Imron terlihat rapi, tidak ada tanda-tanda kedatangan orang asing sama sekali. Semuanya aman dan bersih. Hanya seorang satpam rusun yang bernama Mas Karyo sedang mengamati tempat kejadian tersebut berada.
Saat mengamati keluar jendela, dari atas-bawah dan kiri-kanan, Sambil membetulkan kacamatanya, Yayuk sedikit curiga dengan sebuah bekas cantolan tali, yang diduga merupakan bekas tali panjat tebing. Ada juga bekas telapak kaki yang sudah memudar di tembok rusun ini. Jejak kaki ini bercampur dengan tanah.
“Bagaimana, Mas Karyo? Sudah ketemu petunjuk” “Belum, Pak Imron” “Pak Imron, sebelum uang Rp 3.000.000,00 itu hilang, apa kegiatan Bapak dan kapan kejadiannya?” “Uang itu hilang kira-kira menjelang jam 04.30. Ketika itu, saya siap-siap berangkat salat Subuh di masjid rusun. Pintu kamar rusun sudah saya kunci padahal.” “Baik. Coba saya minta keterangan dari Mas Karyo. Coba Anda bisa ceritakan kegiatan sebelum uang Pak Imron dicuri” “Saya tidak tahu persis. Sebelum kejadian itu, saya sedang berpatroli keliling gedung rusun dari jam 02.30 hingga jam 04.30, kemudian patrol tersebut digantikan dengan rekan satpam.” “Cukup itu saja, Mas Karyo?” “Betul, Neng Yayuk.”
Mendadak terdengar bunyi yang mengejutkan telinga. “Grompyang !!!”.
Yayuk, Mas Karyo, dan Pak Imron bergegas menuju ke sumber suara itu. Ternyata mereka hanya menemukan Mbok Giyem, seorang pedagang pecel lele yang bertetangga dengan Pak Imron. Rupanya suara gaduh tersebut disebabkan Mbok Giyem terjungkir ketika membawa peralatan dapur berupa panci, wajan dan dandang nasi sambil berlari.
“Aduh… Kukira pencurinya sudah ketemu. Eh ternyata Mbok Giyem nyungsep” “Hehehe… Maaf, Pak Imron. Saya tiba-tiba terjatuh ketika bawa peralatan dapur. Soalnya saat azan Subuh berkumandang, saya dikabarin oleh sepupu saya harus pulang kampung ke Bojonegoro buat menengok adik saya. Soalnya dia sakit keras dan biayanya sangat besar.”
Kemudian, Yayuk bersama Pak Imron dan Mas Karyo membantu Mbok Giyem merapikan peralatan dapurnya. Mendadak Yayuk merasa ada yang curiga dengan perempuan berusia 52 tahun itu. Di dalam dandang nasinya terlihat sebuah benda yang terselip. Sekilas, benda tersebut mirip dengan celengan milik Pak Imron. Akan tetapi, Yayuk berusaha untuk tidak mencurigai Mbok Giyem. Dengan segera, Yayuk membisikkan sesuatu kepada Mas Karyo soal sesuatu yang mencurigakan dari Mbok Giyem.
Setibanya di kamar Pak Imron, mereka mulai berbicara.
“Oh iya, Pak Imron. Celengan Bapak ciri-cirinya seperti apa?” spontan Yayuk bertanya kepada Pak Imron tentang ciri khas celengannya. “Celengan saya itu ada bekas tempelan stiker yang bertuliskan “Sukabumi”, bergurat, berbentuk kotak dan berwarna putih.” “Ahahaha… Bapak lupa, ya.” seru Mas Karyo sambil membantah. “Celengan yang ada di kamarmu itu tidak ada guratannya.” “Mas Karyo goblok… Kalau enggak tahu masalahnya, jangan asal bicara. Saya sendiri tahu persis celengan milik saya” Pak Imron mendadak marah. “Justru Bapak yang goblok. Celengan yang Bapak maksud itu sudah ditukar dengan celengan yang sama, namun catnya lebih bersih.” “Hah… Benarkah?” tanya Pak Imron terkejut.
Kemudian, Pak Imron melihat kembali penampilan celengannya lebih seksama. Ternyata benar perkataan Mas Karyo, celengan Pak Imron yang memiliki bekas tempelan stiker “Sukabumi”, sudah ditukar dengan celengan serupa yang terlihat lebih bersih. Dengan kata lain, sedari awal celengan itu sudah ditukar dengan sengaja, sehingga pencurian telah berjalan dengan mulus tanpa ada yang mencurigai.
“Ditambah lagi, tadi jendela kamar Bapak masih terbuka lebar. Hal itulah yang mengakibatkan pencurian celengan Bapak dapat berjalan dengan mulus, Pak.” jelas Mas Karyo.
Setelah diperiksa, Pak Imron sadar bahwa jendela kamarnya juga belum ditutup sedari Subuh. Perbincangan Mas Karyo dan Pak Imron membuat Yayuk mendadak lari keluar kamar Pak Imron dan menemui Mbok Giyem yang letaknya di samping Pak Imron.
“Tok tok tok!!” Yayuk mengetuk pintu kamar Mbok Giyem. Kemudian, Mbok Giyem membukakan pintu untuk Yayuk. “Ada apa, Yayuk?” “Begini, Mbok. Saya ke sini untuk numpang main ke kamar Mbok. Sekali-kali buat refreshing saya dari perkuliahan.” “Ohh… Boleh, Yayuk.”
Yayuk masuk ke kamar Mbok Giyem. Kemudian, ia melihat seisi kamar Mbok Giyem. Bagaikan kapal pecah, kamar Mbok Giyem terlihat tumpukan peralatan dapur untuk jualan pecel lele, sebuah TV berukuran sedang yang sedang menyala telah menayangkan acara infotainment, tumpukan tabloid dan koran, kertas pembungkus coklat, dan kipas angin Cosmos yang masih menyala.
Mendadak Yayuk memicingkan mata pada sebuah foto kumpulan orang yang merupakan atlet panjat tebing tingkat amatir. Foto itu menunjukkan tahun 1996 dan berlatar di Gunung Parang, Purwakarta. Selain itu, dia juga tertarik dengan tali dan pengaman panjat tebing yang sedikit dekil milik Mbok Giyem yang tergeletak di meja serta sebuah piagam juara pertama lomba panjat tebing.
“Mbok pernah ikut lomba panjat tebing tingkat amatir waktu itu?” “Iya, Yayuk. Itu kenanganku ketika ikut lomba panjat tebing tingkat amatir. Aku hanya sekali saja menjuarai lomba tersebut, karena kelab panjat tebingku tutup ketika krisis ekonomi 1997 menerpa. Semenjak itu, aku memilih menjadi pedagang pecel lele untuk menyambung hidup. Sekarang ini, aku mau siap-siap pulang kampung ke Bojonegoro. Kemungkinan tidak akan di Jakarta lagi nanti.” “Yaahh…” ucap Yayuk tidak rela bercampur sedih. “Padahal Mbok Giyem’ kan pembuat pecel lele paling enak sedunia, masa’ mau pulang kampung. Saya bisa sedih kalau Mbok pulang kampung. Mbok tahu sendiri ‘kan, kadang-kadang tengah malam saya mampir ke warung Mbok untuk beli makan jika saya gabut.” “Yaa, mau bagaimana lagi. Keadaannya seperti ini. Mau memanjat lagi sekarang? Sudah tidak mungkin. Aku sudah tidak setangguh atlet-atlet zaman sekarang. Setiap jualan pecel lele, yang selalu rutin bayar untuk makan ‘kan kamu. Pelanggan lain boro-boro bayar, ditagih hutang makan saja malah marah-marah.”
Mendengar kata “memanjat”, Yayuk terkejut seakan-akan mengetahui jawaban kasus celengan Pak Imron yang dicuri itu. Kemudian, dia mengambil tali pengaman panjat tebing dan menjelaskan bukti-bukti yang dia kumpulkan.
“Pada pukul 04.30, atau setidaknya menjelang azan Subuh, Mbok sedang apa?” “Sudah kubilang, aku sedang rapi-rapi untuk pulang kampung karena dikabarin sepupuku bahwa adikku sakit keras.” “Benarkah? Saya ingin membuktikan kalau Mbok adalah pelaku pencurian uang Pak Imron dengan melakukan penukaran celengan secara misterius.” “Hah? Tidak mungkin. Jangan asal menuduh, ya.” “Tidak. Saya paham kebiasaan Mbok Giyem sedari awal saya tinggal di rusun ini. Mbok selalu jualan pecel lele dari sore hingga tengah malam menuju waktu fajar.”
“Mbok bisa saja berkilah mengenai sudah tidak bisa mengikuti lomba panjat tebing. Tetapi, setidaknya Mbok masih ingat bermain panjat tebing. Bahkan, Mbok juga bisa jadi menggunakan tali panjat tebing ini.”
Yayuk memberikan tali tersebut kepada Mbok Giyem dan memintanya untuk menggunakannya. Ternyata benar dugaan Yayuk, Mbok Giyem sangat mengerti bagaimana cara menggunakan tali dan pengaman panjat tebing tersebut.
“Kemudian, Mbok memanfaatkan situasi tengah malam yang sepi untuk memanjat tembok rusun ini. Dengan melemparkan ujung tali, Mbok memanjat selagi bisa. Lalu, Mbok menukarkan celengan Pak Imron dengan celengan serupa namun kondisinya lebih baru dengan harapan semoga Pak Imron, yang sedang berangkat salat Subuh tidak curiga beserta memanfaatkan kecerobohannya, yaitu lupa menutup jendela kamar. Saya juga melihat ada “sesuatu” yang tersembunyi di balik dandang nasi ketika Mbok tersungkur, ternyata di balik dandang itu adalah celengan asli milik Pak Imron. Karena itu, tadi saya melaporkan hal ini kepada Mas Karyo.”
“Ditambah lagi…” Yayuk menambahkan, “Dengan alibi bersiap-siap pulang kampung ke Bojonegoro ini, Mbok seakan-akan tidak melakukan apapun. Sebelumnya, saya curiga dengan adanya telapak kaki yang bercampur dengan tanah di tembok luar kamar Pak Imron. Ternyata, setelah saya selidiki, ukuran jejak kaki itu cocok dengan kaki Mbok. Bekas telapak kaki itu membuktikan bahwa tadi pagi Mbok memanjat dalam keadaan kaki telanjang.”
Mbok Giyem terkejut dan memeriksa kakinya yang masih terdapat bekas tanah dari kebun di samping rusun. Analisis Yayuk tepat, akhirnya Mbok Giyem tertunduk lemas dan duduk bersimpuh bahwa aksi kejahatannya telah terbongkar. Dia mulai menangis dengan suara keras, sehingga Pak Imron dan Mas Karyo bergegas menuju kamar Mbok Giyem.
“Ada apa, Mbok Giyem?” tanya Pak Imron keheranan. “Maafkan saya, Pak Imron.” Kata Mbok Giyem penuh iba. “Saya telah mencuri celengan bapak.” “Kenapa kamu melakukan itu?” “Dua minggu yang lalu, saya didatangi peternak lele untuk menagih hutang pembelian 4 kg ekor ikan lele yang seharusnya sudah jatuh tempo. Namun, uang yang saya miliki tidak cukup untuk kebutuhan lainnya, yaitu membayar listrik sebesar Rp 1.500.000,00. Sedangkan saya hanya memiliki Rp 800.000,00. Saya mohon maaf, Pak. Akan saya ganti uangnya.”
“Mbok Giyem.” Kata Pak Imron menenangkan, “Kalau kamu ada kesulitan, tinggal bilang saja ke saya. Misalnya kekurangan dana, saya bisa kasih uang ke kamu, kok. Seandainya kamu berpikir jernih dalam menghadapi kekurangan uang, pastinya saya tidak kerepotan mencari uang saya yang hilang bak dimakan tuyul, dong.”
“Yayuk…” Mbok Giyem menoleh ke wajah Yayuk. “Aku minta maaf. Seharusnya aku harus lebih kuat lagi untuk memanjat. Memanjat diri dari jeratan krisis yang memaksaku melakukan hal yang berlawanan dengan hukum. Jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran untuk kamu juga.”
Kasus pencurian, yang katanya Pak Imron “kecurian tuyul”, kini berakhir dengan pulangnya perempuan mantan atlet panjat tebing amatiran yang berprofesi sebagai pedagang pecel lele ke kampung halamannya, Bojonegoro untuk mengistirahatkan diri dari kejamnya ibukota.
Sejak saat itu, Yayuk merasa kehilangan keberadaan “sang penyelamat di saat laparnya” dan sesekali mampir ke kamar dan bekas lapak pecel lele Mbok Giyem setiap berangkat dan pulang kuliah.
Cerpen Karangan: Murti Laksana Facebook: Harimurti Kridalaksana