Juno sangat antusias sekali mengikuti pendaftaran sebagai WAKER di KPH Randublatung, syaratnya sangat mudah, lulus minimal SLTP dan pernah mengikuti bela diri. Ia sangat yakin diterimanya, karena kedua syarat tersebut melekat pada dirinya. Badannya cukup kekar, pernah berguru ilmu kanuragan pada salah satu padepokan pencak silat di daerahnya. Berbagai jurus bela diri tangan kosong dan senjata telah khatam dipelajari dan dipraktekkannya. Kalau perkara kelahi baik tangan kosong maupun memakai senjata sudah biasa baginya. Bekas luka sabetan atau tusukan senjata tajam menghiasi tubuhnya. Beberapa kali ia berurusan dengan polisi karena masalah ini. Namun ia belum pernah ditahan, paling-paling wajib lapor. Bahkan oleh polisi ia dijadikan sumber informasi jika terjadi suatu kejahatan, apakah pembunuhan, perampokan atau kejahatan lainnya.
Saat ini, ia bekerja sebagai penjaga keamanan kompleks pertokoan di pasar Randublatung. Pendapatannya selain dari pengelolaan pasar yang tidak seberapa juga dari orang-orang yang memberikan uang parkir. Pendapatan yang tidak menentu, hanya sekedar untuk makan hari itu juga.
Ia diterima bersama sembilan temannya. Mungkin pengalaman sebagai preman juga menjadi salah satu pertimbangan Kepala KPH Randublatung. Olehnya, pekerjaan sebagai preman ditinggalkannya. Waker memberikan masa depan yang lebih jelas. Dengan pendidikan yang hanya lulusan SMP, jabatan Waker sudah lebih dari cukup. Jabatan yang tidak perlu mengandalkan otak, tapi lebih pada fisik.
Kepala KPH Randublatung memberikan tiga set pakaian seragam lengkap, bukan hanya baju dan celana, tetapi juga sepatu, topi rimba, ikat pinggang dan juga pisau belati. Stelan pakain seragam mirip seragam tentara. Pada baju sebelah kanan di atas saku tertulis JUNO di sebelah kirinya tertulis WAKER. Ia bangga bila bertugas memakai pakai seragam lengkap ditambah membawa pedang, tepatnya samurai peninggalan eyang buyut. Pada dinding rumah, ia memasang fotonya dengan seragam lengkap sebagai waker. Gagah memang. Ia bangga dengan dirinya sendiri.
Bapak Sinder sebagai atasannya selalu mengingatkan bahwa tugas utamanya adalah menjaga keamanan pohon jati dari pencurian. “Ingat Juno, tugas kamu adalah menjaga hutan petak 12 dan 13. Paham?” “Paham Pak!”
Ia diharuskan tinggal di Magersaren, tempat tinggal para pesanggem ditepi di hutan. Di Magersaren tinggal lima belas pesanggem, petani yang menggarap lahan hutan milik Perhutani. Mereka menaman dan memelihara pohon jati dan sebagai kompensasinya mereka diperbolehkan menanam jagung secara tumpangsari selama jangka waktu tiga tahun.
Magersaren letaknya tidak jauh dengan petak 12 tetapi lumayan jauh dengan petak 13. Petak 12 merupakan tanaman jati yang baru berumur 3 bulan, sementara petak 13 berisi tanaman jati yang telah berumur 17 tahun. Menurut Pak Sinder petak 13 memerlukan pengawasan yang lebih intensif, karena diameter pohon jati telah mencapai 30-45 cm. Rawan pencurian kata Pak Sinder.
Sekitar setengah kilometer dari magersaren terdapat dusun dengan penduduk yang tidak terlalu banyak. Untuk mencapainya harus melalui suatu pekuburun yang tidak terlalu luas. Konon makam tersebut merupakan makam para pekerja hutan yang mati karena tertabrak lori pengangkut kayu jati. Lebih seru lagi cerita yang berkembang, makam tersebut setiap waktu tertentu minta “warga” baru yang meninggal secara tidak wajar.
Sebagai Waker, ia harus bisa bersosialisasi dengan warga dusun. Namun, sepertinya warga dusun kurang bersahabat dengannya apalagi yang namanya Paimin dan Paidi. Keduanya kakak beradik, jawara dusun. Orang dusun tidak ada yang berani dengannya. Dari info yang ia peroleh, Paimin dan Paidi merupakan pemimpin pencuri kayu jati. Sayang, ia tidak bisa membuktikan.
Saat itu, sudah lebih lima bulan hujan tidak turun, kemarau panjang sangat dirasakan. Sawah-sawah dibiarkan tanpa tanaman. Pohon jati sudah mati suri, daunnya berguguran, tinggal batang dan ranting saja. Bagi orang awam pohon jati sudah dianggap mati. Tapi bagi rimbawan yang sudah sangat mengenal tabiat pohon jati, menggugurkan daunnya adalah cara bertahan hidup dengan mengurangi evapotranparansi. Tanpa adanya daun dan batang pohon yang kering, maka pohon jauh lebih ringan. Itulah sebabnya mengapa banyak pencurian kayu jati pada musim kemarau.
Hampir setiap malam ia dengan Pleki, nama anjingnya, keliling di petak 13. Patroli di malam hari jauh lebih sering dilakukan ketimbang siang hari.
Malam Jum’at Kliwon, sekitar jam 1 malam ia ditemani Pleki patroli menuju petak 13 dengan melewati pekuburun. Hal yang sudah biasa ia lakukan. Namun kali ini, ia merasakan suasananya jauh berbeda. Terasa aneh, sunyi …, sepi… Awan gelap menutupi langit, bulan dan bintang bersembunyi dibalik awan, hujan rintik-rintik tanpa membasahi bumi, jangkerik, kodok, burung hantu dan binatang malam lainnya yang biasanya meramaikan suasana malam, enggan bernyanyi. Mereka lebih memilih bersembunyi digelapan malam. Rimbunnya papringan dengan gesekan bambu dan dedaunannya juga tidak terdengar. Sampai-sampai gemericik air kalen yang membatasi pekuburan dengan hutan terdengar dengan jelas.
Ia memperhatikan Pleki yang melihat ke arah pekuburan, ekornya ditekuk ke bawah yang menandakan bahwa Pleki ketakutan dan tidak lama terdengar lolongannya. “ Aung….., aung…., aung….” “ Aung….., aung…., aung….”
Hawa dingin menerpa mukanya. Bulu kuduknya dan bulu-bulu ditangan berdiri. Ia melihat lori dorong dengan muatan kayu jati di dorong oleh banyak orang menuju ke arah pekuburan. Mereka bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek dari bahan karung goni serta caping di kepalanya. Satu orang yang berdiri, dipinggangnya terselip pistol, memakai topi rimba dan membawa cemeti mengawasi orang-orang yang mendorong lori.
Ia ingin berjalan cepat, bahkan berlari, tapi kakinya tidak bisa digerakkan, seperti ada yang memegangnya. Mau berdoa, mulutnya terasa terkunci. Ia hanya bisa melihat suatu pertunjukkan di depan matanya dengan rasa ketakutan. “Taaar …” bunyi cemati di susul dengan suara: “Holobis kuntul baris…, holobis kuntul baris…, holobis kuntul baris…, satu…, dua…, tiga…, dorong…, dorong…dorong….” . Tiba tiba… “Draaak…, gedebuk…” lori terguling, kayu-kayu gelondongan jati berhamburan menimpa para pendorong lori dan mandornya. “Aduh…, aduh…, aduh…, tolong…, tolong…, tolong…”
Ia berdiri mematung sampai lori dorong dan orang-orangnya hilang di pekuburan. Bergegas ia barjalan cepat menuju petak 13. Pengalaman yang sungguh menakutkan. Baru kali ini ia melihat peristiwa hantu lori dorong. Jadi benar apa kata orang dusun bahwa pekuburan ini angker. Dulunya untuk menguburkan mayat para pendorong kayu jati.
Sudah beberapa hari, ia judeg memikirkan pohon jati yang berada di petak 13. Ada tujuh pohon yang hilang, entah siapa pencurinya. Ia hanya bisa menduga Paimin dan Paidi. Mereka berdua bak belut, sangat licin untuk ditangkap, selalu tidak ada bukti kayu jati di rumahnya. “Suatu saat Pak Sinder pasti tahu,” gumannya.
Benar saja, suatu hari Pak Sinder mengajak pemeriksaan lapangan di petak 13. Pak Sinder keliling petak sambil menghitung pohon jati, sementara ia hanya mengikuti dari belakang. “Juno, saya hitung pohon jatinya hilang tujuh. Coba jelaskan.” “Betul Pak Sinder, memang beberapa bulan ini ada pencurian kayu jati. Tapi setiap saya datangi, pencuri dan batang jatinya sudah tidak ada. Saya duga orang di dusun sebelah yang mencurinya.” “Nanti saya ke sini lagi, jika masih ada jati yang hilang, kamu saya usulkan ke Pak Adm untuk dipecat.”
Sepanjang hari ia memikirkan jalan keluarnya, namun belum menemukan cara yang manjur. Sepertinya pencuri kayu tahu jadwal patrolinya. Dalam dua minggu ini ada lagi dua pohon jati hilang. Pikirannya cutel.
Ia merasa ada yang aneh, setiap ada pencurian pohon jati, selalu pada malam Kliwon, dengan didahului bau kemenyan. Para pesanggem ba’da Isya’ sudah tidur terlelap. Suara televisi yang biasanya kedengaran ikut membisu. Angin sepertinya ikut tertidur menikmati sunyinya malam. Bintang-bintang yang biasanya menerangi gelapnya malam enggan untuk keluar. Tanaman jagung diam mematung enggan bernafas. Hujan rintik rintik menambah suasana yang mencekam. Semua binatang sepertinya sepakat untuk ikut tidur pula. Malam sunyi mencekam.
Demikian pula dengan malam Kliwon hari ini. Rasa kantuknya luar biasa meski ia sudah mencoba minum kopi beberapa gelas. Sekitar jam satu malam. Antara sadar dan tidak sadar Juno mendengar suara orang menebang pohon dengan kapak. “tok…, tok…, …” “tok…, tok…, tok… kraaaak, gedebuk…” bunyi suara pohon rebah. Meski jarak petak 13 sekitar 1 km dari Margersaren, namun karena kesunyian malam, suara tersebut cukup jelas terdengar. Esoknya ia memeriksa, satu batang jati hilang lagi. Ia pasrah dimarahi Pak Sinder, bahkan pasrah pula kalau dipecat.
Pak Sinder datang lagi seperti yang dijanjikan dan langsung menuju ke petak 13. Menghitung lagi jumlah pohon jati. “Juno, saya temukan jumlah tunggul ada sepuluh ada tiga tunggul baru, jadi selama tiga minggu ada tiga jati yang dicuri. Apakah Juno masih tetap mau bekerja?” “Masih Pak Sinder.”
Pak Sinder membisikan sesuatu kepadanya. “Bagaimana? Berani?” “Berani Pak.” “Minggu depan saya ke sini lagi, jika masih ada jati yang hilang, kamu akan saya usulkan untuk diganti dengan yang lain.”
Malam Kliwon, kembali ia mencium bau kemenyan. Segera ia pergi bersama Pleki dan mengajak Paijo salah satu pesanggem menuju petak 13. Rangsel berisi pakaian telah disiapkan seperti apa perintah Pak Sinder. Tidak ketinggalan samurai dan belati yang menyertainya setiap kali bertugas.
Ketika minggu depannya, Pak Sinder datang ke petak 13, menghitung lagi jumlah pohon jati yang di curi, hasilnya hanya ditemukan sepuluh tunggul. Ini berarti tidak ada pencurian jati. Pak Sinder sangat puas dengan ide briliantnya.
“Juno, selamat ya…, sampayen mamang kendel tenan.” “Terima kasih Pak Sinder.”
Sementara itu, di dusun sebelah geger dengan berita adanya hantu pocong di petak 13. Berita bermula dari Paimin dan Paidi, kemudian dengan cepat menjalar dari mulut ke mulut hingga ke seluruh penduduk dusun.
Sudah lima bulan lebih Pak Sinder dan Juno merasa tenang. Tidak ada lagi pencurian jati. Pak Sinder telah dipromosikan menjadi Kepala BKPH, atas ide yang briliant dalam mengatasi pencurian kayu jati di petak 13 dan Juno mendapat kenaikan pangkat karena keberaniannya dan dipindahkan ke petak 33. Pak Bony ditunjuk sebagai Sinder baru menggantikan Pak Jati, dan Pak Sobo ditunjuk sebagai Waker baru, menggantikan Juno.
Lima bulan kemudian, dusun sebelah geger lagi, atas berita ditemukan hantu pocong yang tergeletak di petak 13. Pada bagian lehernya terkena bacokan kampak, hingga lehernya nyaris putus. Ternyata …, yang menjadi hantu pocong adalah Paijo.
Di petak 33, Juno duduk termenung, air matanya menggenang di pelupuk matanya. Sedih mendengar berita kematian Paijo. Memang, ia pernah minta tolong Paijo untuk bersama-sama jadi hantu pocong untuk menakut nakuti Paiman dan Paidi. Kini Paijo malahan jadi korban.
Namun, tiga bulan kemudian, dusun sebelah kembali geger, di petak 13 ditemukan Paimin dan Paidi yang sudah jadi mayat. Paimin ditemukan mati, di tangannya masih tergemgam kampak, di bagian lehernya nyaris putus terkena sabetan pedang. Sementara Paidi mati dengan mata melotot, matanya menyorotkan ketakutan, di tangannya juga tergemgam kampak.
Esok harinya, ketika mentari sudah mendekati puncak Juno baru bangun tidur. Sepertinya, nyenyak sekali tidurnya, setelah semalaman tidak tidur. Ia duduk di amben sambil menikmati minuman kopi panas dan jagung rebus dari pesanggem. Kain putih dan samurai kesayangannya tergeletak di tepi sumur dipenuhi bercak darah yang masih segar. Anjingnya melihat tuannya dengan iri, menanti makanan pagi hari.
“Paijo, tenanglah di alam baka. Tugasku telah selesai, membalas dendam pembunuhmu. Namun siapa ya… hantu pocong yang melawan Paidi. Hantu pocong beneran atau hantu pocong jadian,” pikirnya.
Catatan: WAKER = penjaga hutan; KPH = Kesatuan Pengelolaan Hutan; BKPH = Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan Adm = Administratur (Kepala KPH); Sinder = Mantri Hutan, Pengawas Keamanan Hutan tingkat rayon
Kebun Raya Residence – Bogor 25 Juni 2022
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog / Facebook: Bambang Winarto BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen-cerpen yang dikirim di CERPENMU masuk nominasi terbaik : Perempuan Berkaos Kuning Dua, Sahabat (Part1,2) Firasat (Part 1,2), Doa Penggali Kubur (Part 1,2) (bulan September, 2022) Dulkamdi (Part 1,2) (bulan Agustus 2022) Sepasang Album Kembar (Part 1, 2), Malam Yang Tidak Diharapkan (Part 1,2) (Bulan Juni, 2022) Malaikat Keempat, Sepenggal Catatan (Part 1,2), Konspirasi, Menjemput Rindu. (Bulan Mei 2022). Pencuri Raga Perawan, Pita Putih Di Pohon Pinus.(Bulan April 2022). Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;