Sinar matahari pagi mulai memancarkan cahayanya di sebelah timur persimpangan Pasar Rebo.
Kumpulan manusia dan kendaraan dari berbagai penjuru arah berlalu-lalang ke sana ke mari. Dan tentu saja, beragam tujuan yang mereka miliki saat bepergian, termasuk laki-laki berambut gondrong 22 tahun yang bernama Samsul Sudiro, atau juga dipanggil Samsul saja.
Dengan memasang wajah yang begitu lesu, Samsul menghampiri konter agen tiket bus sambil melangkah dengan perasaan lelah. Dia menunjuk papan nama loket agen tiket yang bertuliskan “PO. Lancar Utama” lalu memesan tiket untuk rute Jakarta-Banyuwangi kepada seorang pegawai lelaki paruh baya.
“Pak, saya pesan tiket bus ke Banyuwangi. Kelas ekonomi.” pinta Samsul “Baik, masih ada sisa 3 tiket. Satu lembar harganya Rp 70.000,00.” jawab pegawai agen tiket bus dengan nada ramah. Sembari menyiapkan tiket bus untuk Samsul, bapak itu mendadak melontarkan pertanyaan sederhana. “Hanya bawa tas saja, Mas?” “Iya. Pokoknya saya ingin pergi ke Banyuwangi.”
“Ini tiketnya. Semoga selamat sampai tujuan.” “Terima kasih banyak, Pak.” Samsul mengambil tiket bus pesanannya. Lalu, dia beranjak dari agen tiket bus PO. Lancar Utama menuju bus berjenis Hino RK 260 berbalut bodi Laksana Discovery milik perusahaan tersebut yang akan ia tumpangi ke Banyuwangi. Suara lantang para kondektur bus yang memanggil para calon penumpang untuk naik busnya mulai bersahutan, ditambah raungan klakson mobil, motor, truk, dan bus lainnya yang seakan-akan menyuruhnya untuk menyingkir dari tempat ngetem-nya.
Setelah masuk ke dalam bus, Samsul mengambil posisi tempat duduk dekat dengan pintu masuk belakang bus. Sambil menghela napas, Samsul melihat interior bus. Atas-bawah, kiri-kanan, dia perhatikan semua, kemudian ia memejamkan matanya sebentar. Sepertinya, Samsul memikirkan suatu hal yang mungkin saja menyakitkan atau membuatnya terpuruk namun ia tak bisa meluapkan kegundahannya.
Ketika Samsul sedang melamun, sesosok penumpang yang lain muncul dan duduk tepat di dekatnya sambil membawa tas berukuran menengah. Ia seorang perempuan berusia kira-kira 20-30 tahunan. Wajahnya sangat cantik. Perempuan itu mengenakan kacamata, berbaju merah, rambut hitam terurai, dan bercelana coklat muda. Lamunan Samsul terbuyarkan dengan kehadiran perempuan jelmaan bidadari tersebut tepat berada di sampingnya. Lalu, perempuan itu mulai melontarkan sepatah kalimat pertanyaan kepada Samsul.
“Kamu mau pergi ke mana?” tanya perempuan itu. Dengan nada gugup, Samsul membalas pertanyaan sang perempuan. Terjadilah dialog ringan antara Samsul dengan perempuan itu.
“Aku pergi ke Banyuwangi. Mbak sendiri mau pergi ke mana?” “Aku mau ke Semarang. Kebetulan, bus ini juga akan singgah di kota itu. Oh iya, perkenalkan namaku Aini Nurudin.” “Salam kenal. Namaku Samsul Sudiro.”
Ternyata, perempuan itu bernama Aini. Bagaikan dulang dengan tudung saji, percakapan singkat itu membuat Samsul dan Aini menjadi akrab. Selama perjalanan yang membosankan di dalam bus yang melintasi Tol Trans Jawa ini, mereka membicarakan berbagai banyak hal.
“Pekerjaan kamu apa, Samsul?” “Ng… Aku hanya mahasiswa sosiologi semester 6.” “Kamu pergi ke Banyuwangi dalam rangka pulang kampung atau acara apa?” Setelah Aini menanyakan tujuannya ke Banyuwangi, Samsul mendadak terdiam. Namun, ia segera mengalihkan pertanyaan itu dengan topik yang lain.
“Jadi, kamu datang dari Semarang, Aini?” “Iya. Aku bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan di kawasan Sudirman. Sekarang ini, aku sedang mengambil cuti.” “Hobi kamu apa?” “Bernyanyi dan membaca. Sepertinya kamu suka bernyanyi juga?” “Tidak, ah. Suaraku jelek. Nanti penumpang lain terganggu mendengar nyanyianku. Ahaha…” Mendengar jawaban konyol dari Samsul, Aini tertawa terbahak-bahak dan Samsul sendiri juga ikut-ikutan tertawa, seolah-olah dia tidak tahu bahwa aka nada sesuatu yang tragis terhadap teman satu perjalanannya ini.
“Kalau soal hobi, sebenarnya aku suka bermain permainan video di komputer.” “Oh begitu… Mirip keponakanku di Semarang. Dia sangat suka bermain permainan Free Fire. Sampai-sampai, setiap aku mampir ke rumahnya dalam rangka liburan, dia selalu minta dibelikan voucher untuk bermain permainan itu.” “Oalah… Tetapi aku tidak begitu senang bermain permainan itu. Aku lebih suka bermain permainan video yang sudah lama.”
“Samsul. Kamu sudah punya pacar belum?” “Belum… Kamu sendiri?” Belum sempat Aini menjawab pertanyaan Samsul, tiba-tiba… NGIIIIIIIK……. Bus yang ditumpangi Samsul dan Aini mengerem mendadak. Seisi bus mendadak panik dan bertanya-tanya kepada awak bus.
“Ada apa ini?” tanya salah seorang penumpang. “Sepertinya ada yang menyeberang jalan secara tiba-tiba.” sahut sopir dan kondektur bus. “Tapi saya tidak melihat apa-apa, kok. Mungkin Anda mengantuk.”
Ternyata benar. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang yang menyeberang jalan tol. Untungnya tidak ada yang terluka dan sopir kembali menginjakkan pedalnya. Namun, dalam batin Samsul muncul perasaan yang tidak mengenakkan. Tubuh Samsul yang semula sehat berubah menjadi dingin, kaku, dan wajahnya mendadak pucat pasi dan berkeringat dingin. Aini menjadi penasaran dengan apa yang terjadi pada Samsul.
“Kamu kenapa? Kok jadi pucat begitu.” “Ah… Tidak apa-apa, Aini.” “Jangan mengelak begitu. Aku tahu kamu itu pasti memiliki masalah atau melihat hal yang menakutkan karena bus mengerem dadakan itu.”
Aini berusaha membujuk Samsul agar dia terbuka dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Awalnya, Samsul menolak bercerita. Akan tetapi, Aini terus membujuknya agar dia menceritakan sesuatu yang disembunyikan Samsul. Berulang kali bujukan Aini terus disangkal, disangkal, dan disangkal Samsul. Alasan Aini terus memaksa Samsul untuk bercerita tidak lain dan tidak bukan adalah respons Samsul mengenai tujuannya pergi ke Banyuwangi ditutup-tutupi sehingga hal itu membuat Aini curiga.
Sementara itu, tubuh Samsul makin berkeringat dan dia meminta tolong Aini untuk mengambilkan air minum untuk menyejukkan dirinya. Akhirnya, Samsul bersedia untuk menceritakan semuanya kepada Aini.
“Begini, Aini.” Samsul mulai bercerita. “Aku memiliki permasalahan yang terjadi dalam hidupku. Aku diancam akan dikeluarkan dari kampus tempat aku kuliah apabila aku tidak membayar SPP.” “Hah?” Aini terkejut. “Kalau kamu tidak punya uang cukup untuk bayar SPP, kenapa kamu bisa bepergian dengan bus?” “Itu uang terakhir yang aku punya saat ini.”
Aini makin tidak mengerti dengan cerita Samsul. Sambil menjernihkan pikirannya untuk mencerna semuanya, dia kembali bertanya. “Sebenarnya aku masih belum paham dengan ceritamu. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan tujuanmu yang hanya ingin pergi ke Banyuwangi tanpa alasan yang jelas?” “Aku ingin menjauh dari biadabnya kehidupan kampus. Kamu tahu, Aini. Sebenarnya aku merupakan orang yang paling sering dirundung dan dihina oleh seluruh mahasiswa di kampusku.” “Astaga… Jahat sekali mereka. Apa saja yang mereka lakukan padamu?” “Ketika acara pengenalan kehidupan kampus berlangsung, aku dijadikan bahan ejekan oleh kakak-kakak senior. Mereka mengenakan pakaian konyol kepadaku dan menyuruhku bernyanyi sebanyak 5 kali tanpa berhenti di depan teman-temanku. Padahal aku tidak suka bernyanyi. Alasannya karena aku terlambat masuk kampus.”
“Apa kamu tidak berani melawan kepada seniormu itu?” “Tentu saja aku lawan. Akan tetapi, mereka selalu berlindung di balik jargon sampah yang masih menjadi dogma kuat mahasiswa senior; ‘Itu belum seberapa. Dulu kami lebih parah daripada kamu. Jangan cengeng, dong.’” “Ya ampun. Benar-benar keterlaluan, sih, senior kampusmu.”
“Iya, begitulah. Ketika perkuliahan perdana dimulai, aku langsung menjadi objek perundungan oleh teman sekelasku. Mereka memperlakukanku bukan seperti teman atau sahabat yang baik hati, melainkan hanya seperti budak. Mereka sering mengejekku dengan sebutan ‘kampungan’, ‘norak’, ‘idiot’, dan semacamnya. Namun, mereka juga memanfaatkan aku sebagai joki contekan setiap menjelang ujian di kampus, bahkan dalam belajar kelompok, aku selalu bekerja sendirian di sat mereka tidak membantuku dengan alasan acara keluarga maupun sakit, padahal mereka hanya bermalas-malasan. Kalau aku menolak, mereka mengancamku akan memanggil senior yang menggangguku saat ospek atau mereka akan melaporkanku dengan tudingan yang mengada-ada. Selama lima semester ini, aku hadapi semuanya.”
Wajah Aini yang semula ceria mendadak berubah menjadi sedih dan bersimpati terhadap pengalaman Samsul. Namun, Samsul tetap melanjutkan kisah kelamnya.
“Selain itu, uang Rp 70.000,00 yang aku punya untuk membeli tiket bus merupakan uang terakhir yang aku miliki selama tinggal di Jakarta, sebab sisa uang yang kumiliki telah dirampok pada kemarin siang. Dan di hari itu pun, sebelum aku dirampok, aku diberi peringatan terakhir karena tidak kunjung membayar SPP.”
“Di mana kejadiannya?” “Di dalam perjalanan pulang kuliah.”
“Memangnya kamu tidak bekerja paruh waktu atau meminta dikirimkan uang oleh orangtuamu?” “Aku bekerja sebagai pelayan warung makan kecil, tetapi gajiku tidak cukup untuk membayar SPP. Kedua orangtuaku sudah meninggal. Ayahku meninggal saat aku masih berusia 6 tahun. Sedangkan ibuku meninggal ketika aku lulus SD. Bahkan kerabatku tidak ingin menampungku hanya karena aku yatim piatu. Sedari masuk kuliah, aku memberanikan ke Jakarta hanya seorang diri.”
Mendengar semua pengalaman buruk Samsul, Aini menjadi miris namun dia merasa kagum terhadap ketabahan Samsul dalam menghadapi brutalnya hidup.
Cerpen Karangan: Murti Laksana Blog / Facebook: Harimurti Kridalaksana (Facebook)