Di tengah heningnya pagi yang berembun, ketika kicauan burung yang bersahut-sahutan terdengar dari balik jendela, dan suara ribut aktivitas pagi terdengar dari balik pintu. Bising ketikan dari sebuah ponsel mengisi keheningan di ruang kamar itu. Terselip sesekali kekehan lirih dan beberapa tawa berbisik. Sebelum akhirnya dering jam weker yang memekakkan telinga mengejutkan sosok di sudut kamar.
Seorang gadis lantas berdecak pelan sebelum memutuskan bangkit dari ranjangnya. Melangkah gontai ke arah meja belajar yang berseberangan dengan ranjang, tak lupa ponsel di dalam genggamannya. Ia segera menghentikan dering jam yang mengganggu kesibukan, sebelum lekas kembali pada zona nyamannya. Hendak ia kembali mendaratkan tubuhnya pada atas ranjang, terdengar decit gagang pintu diikuti dengan pintu kamar yang terbuka.
“Serena… Ayo bangun– Eh sudah bangun, mandi dulu nak. Sudah jam segini, loh.” Gadis itu —Serena— kembali berdecak malas. Jam bahkan masih menunjukkan pukul lima pagi. Ibunya terlalu rajin. Ia rasa ia akan pergi sebentar lagi. Tidak akan jadi masalah, bukan? “5 menit, bu…” Ujarnya memelas, berharap sang ibu akan mengasihani. Di ambang pintu, ibunya menghembuskan napas mendengar penuturan Serena. “Baiklah, 5 menit lagi harus sudah pergi mandi, ya?” Tanpa menunggu balasan dari anak gadisnya, ibu segera menutup pintu kamar dan terdengar suara langkah kaki semakin samar menjauhi kamar. Seakan mengabaikan yang baru saja terjadi, Serena melompat ke arah ranjang dan kembali berkutat dengan ponselnya. Masa bodoh dengan 5 menit yang ia janjikan, toh siapa juga yang akan menghitung waktu.
—
Seorang siswi tengah sibuk dengan buku tulis di atas meja, menulis catatan untuk mata pelajaran yang akan datang. Suasana kelas saat itu tampak sibuk dengan sahut-sahutan suara para penghuninya. Bel masuk baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu.
Siswi tadi terperanjat menyebabkan sebuah goresan pensil yang panjang menimpa deretan huruf-huruf yang telah tersusun rapih. Seorang siswi lain baru saja dengan gaduh menarik kursi dan mendudukkan diri di sampingnya, bahkan meja kayu di sana pun ikut bergeser dengan ribut karenanya. Yang dikejutkan lantas mendesis kesal. Dengan segera menghapus coretan yang mengganggu sembari melirik sinis pelaku yang telah mengejutkannya.
“HP melulu, tugas Bu Ani sudah belum?” Siswi dengan nametag bertuliskan ‘Lalin’ itu menanyakan pertanyaan yang sudah ia tahu jawabannya. Balasan yang berupa cengengesan tak merasa bersalah membuat Lalin semakin yakin dengan tebakannya. “Hehe… Aku boleh menyalin milikmu saja tidak? Ayolah…” Serena si pelaku memohon dengan kedua tangan menangkup di depan wajah. Lalin hanya merespon dengan sebuah dengusan kasar, sebelum salah satu lengannya merogoh tas di sandaran kursi. Ia keluarkan sebuah buku tulis kemudian diletakkan di atas meja kawannya, sedikit dilempar karena perasaan kesal.
“Kau ini sebenarnya kenapa? Akhir-akhir ini aku perhatikan sering sekali terlambat datang, bahkan tidur di tengah-tengah pelajaran. Nilaimu juga kini lebih banyak yang di bawah KKM, ‘kan? Kau sedang ada masalah atau bagaimana? Kau bisa cerita padaku jika memang perlu, Ser.” Lalin menyerbu kawannya dengan pertanyaan sembari tetap sibuk dengan catatannya, sesekali ia melirik penasaran.
Yang ditanyai tak memberikan jawaban apapun hingga beberapa detik berlalu. Sebelum akhirnya Lalin dapat mendengar sebuah gumaman lirih dari arah samping. Penanya dengan segera ia letakkan di atas meja, kemudian memutar badannya ke arah Serena yang terlihat tengah asyik menyalin tugas kawannya.
“Tak ada apa-apa. Memangnya apa? Mungkin karena aku kurang tidur akhir-akhir ini. Kau jangan berlebihan.” Dua buah jari dengan lancang menolak dahi Lalin sayang, menyebabkan rengekan kesal dari sang empu. Total membuat Serena di sampingnya melontarkan gelak tertawa puas.
—
Langit sudah berubah oranye. Panas terik yang tadinya menemani kini tergantikan oleh langit teduh disertai hembusan angin sepoi-sepoi yang menenangkan. Waktu dimana semua beristirahat setelah menjalani hari penuh peluh yang melelahkan.
Terlihat sesosok berseragam sekolah tengah menyeret langkahnya melintasi trotoar. Sebuah dasi biru gelap tersampirkan pada salah bahunya, tali hitam sepasang sepatu di bawah sana tak saling mengikat, rambut yang terlihat basah oleh keringat dan wajah kusam yang tersembunyi di baliknya membuat siapa saja yang melihat akan merasa iba.
Seketika, si pejalan kaki menghentikan langkahnya ketika merasakan perasaan asing di dalam benak. Ia mengedarkan pandangannya, ingin meyakinkan diri sendiri bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Suasana di sekitar trotoar tampak begitu sunyi, hanya terdengar suara hembusan angin yang membuat dedaunan melambai-lambai, dan bisik-bisik jangkrik tak tahu dari mana asalnya.
Hendak ia menghembuskan napas lega. Sebelum semak di jauh sana bergoyang dengan ribut untuk sepersekian detik dan berhenti dengan mencurigakan. Seperti ada sosok di baliknya yang tak ingin diciduk. Seketika napasnya tercekat, jantungnya berdebar tak terkendali memompa darah. Dengan keringat dingin ia mengambil langkah besar berlari dari sana. Tanpa sadar rasa letihnya lenyap, digantikan oleh rasa takut dan panik.
—
Serena meringkuk di sudut kamar yang menjadi tempat favoritnya. Baju seragam sekolah yang kusut masih ia kenakan di balik selimut yang melingkupi tubuhnya. Lampu kamar tak dihidupkan sejak ia memasuki kamar, menjadikan lampu meja belajar yang temaram sebagai satu-satunya penerang.
Di suasana kamar yang gelap, tampak cahaya ponsel terang yang kontras dengan kondisi kamar. Pandangan Serena hanya terfokus pada layar ponsel yang menyilaukan. Dengan kilat dua ibu jarinya menekan huruf-huruf keyboard pada layar, diiringi dengan raut wajah yang menyesuaikan.
Serena: Kau tahu? Ketika di perjalanan pulang tadi aku merasa ada yang memperhatikanku. Sungguh seram sekali. Kadal Pink: Keren sekali, kau memiliki seorang penguntit! Biarkan saja dia. Hanya penggemarmu saja. Dia takkan membahayakanmu, percaya padaku. Serena lantas berkerut alis. Pandangannya kosong beberapa detik untuk berpikir, sebelum kembali sadar dengan keyakinan yang belum menentu. Serena: Hahaha… Benar juga, ya. Baiklah…
—
Hari telah berganti, suasana lembab yang menyegarkan khas pagi hari kembali datang menyapa. Sebuah langkah teratur kembali menapak di atas trotoar yang masih sama. Ia berjalan perlahan dengan sebuah ransel hitam yang menggantung pada kedua bahunya. Wajahnya tampak lesu tak bersemangat dengan kantong mata gelap yang begitu kontras dengan warna kulit. Kedua maniknya mengerjap tergesa-gesa beberapa kali disertai gelengan kepala ribut, seakan sang empu ingin mengusir rasa kantuk yang mengusik.
Srekk…! Sebuah suara ribut semak-semak terdengar, mengalihkan perhatian yang mulanya melayang, dengan sekejap menghapuskan rasa kantuk yang tadinya melanda. Langkah teratur itu spontan terhenti dengan canggung. Ia dengan gugup mengintip ke arah datangnya suara. Saliva ia telan ragu walau tenggorokan terasa tercekat.
Seakan teringat sesuatu, ia lekas merogoh saku seragamnya. Sebuah ponsel layar sentuh ia keluarkan dari sana. Jari-jari yang gemetar segera membuka kunci layar dan menekan ikon salah media sosial. Serena: Orang itu kembali menguntitku! Serena: Astaga! Napasku rasanya akan terhenti sekarang juga. Pesan yang penuh kepanikan ia kirimkan pada sosok jauh di sana. Keringat dingin mulai bercucuran. Ia tak dapat menepis bahwa ini terasa begitu mengerikan. Persetan dengan pernyataannya di hari yang lalu, sungguh itu takkan terlintas dalam pikiran apabila ada di waktu kejadian.
Hanya beberapa detik sebelum sebuah notifikasi muncul di layar ponsel. Serena membuka pesan itu dengan panik. Kadal Pink: Kau ini berlebihan sekali. Biarkan saja, lah. Kadal Pink: Sudahlah kau lanjutkan saja pergi ke sekolah. Kau tak ingin dapat hukuman dari guru-gurumu yang menyebalkan lagi, ‘kan? Hahahaha! Napas Serena seketika tercekat. Netranya bergerak ribut membaca berulang kali pesan yang baru saja teman online-nya kirimkan.
Tunggu– Apakah ia pernah memberi tahu bahwa kini tengah dalam perjalanan ke sekolah? Bagaimana bisa?
Seakan menyadari sesuatu, Serena menengok kembali ke arah semak yang tak lagi bergerak. Walau begitu, kali ini ia dapat melihat sebuah siluet di balik sana. Entah mengapa seketika degup jantung kembali tak terkendali, kepalanya mulai terasa pusing, mual perlahan menjalar dalam perutnya. Ia tak bisa untuk tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi apabila ia tak segera pergi.
Dengan seluruh tubuh yang gemetaran, ia memaksakan untuk berlari sekencang mungkin. Berdoa kepada yang Maha Kuasa agar sosok di sana tak ikut berlari mengejarnya.
Dalam hati ia terus menyumpah serapahi dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia tidak menyadari hal ini? Bagaimana bisa ia membuat keputusan buruk dengan berteman dengan orang yang tak baik? Hal itu hanya merugikan dirinya. Entah sudah berapa banyak menit dan jam yang telah ia buang untuk sesuatu yang merugikan itu. Berapa banyak nilainya yang berkurang sebagai dampak perbuatan bodohnya. Dan berapa banyak waktu penting di kelas yang ia lewatkan untuk tidur karena tak ada waktu untuk tidur di rumah.
Sungguh, Serena seakan ingin menampar dirinya sendiri. Dengan kedua kaki yang masih berlari kencang, ponsel kembali ia angkat. Buru-buru ia memblokir orang yang selama ini secara tak ia sadari telah membodohinya, menariknya dalam jurang keburukan.
Entahlah hal apa yang akan terjadi setelah ini. Ia hanya dapat memohon pada Tuhan, atau mungkin bercerita pada orangtuanya? Intinya, ia sangat menyesali hal ini.
Cerpen Karangan: Nafa Aurea Avrilee Dwiyani Siswa Kelas 9 SMP Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo