Burung-burung berkicau bersamaan cahaya matahari yang hangat. Pagi ini, desa kecil ini dipenuhi berbagai aktivitas penduduknya. Desa terpencil yang jumlah penduduknya dapat dihitung jari. Tidak banyak orang mengetahui desa ini, namun semua penduduk saling membantu dengan kemampuan dan perannya masing-masing.
Menjelang siang, jalanan sudah disibukkan berbagai aktivitas. Mulai dari si Penyair yang sudah sibuk membacakan syair yang dia karang sendiri. Suaranya yang merdu membaca lantunan syair dengan lembut. Sehingga banyak orang yang singgah untuk mendengarkan suara merdunya.
Jangan lupakan Florist yang sedang menyiram beberapa bunga yang ia jual. Terdapat berbagai jenis dan warna, semua bunga tersebut sangat indah dipandang. Tak heran jika banyak orang datang untuk membelinya. Meski begitu, si Florist memiliki seorang pelanggan setia, yaitu seorang Gadis muda yang selalu datang setiap hari.
Kemudian ada si Penari yang sudah bergerak di panggungnya. Kaki dan tangannya bergerak sesuai irama, tubuhnya juga meliuk-liuk. Jangan lupa jari-jemarinya yang bergerak dengan lentur. Dia menari-nari dengan sangat indah. Ditambah parasnya yang cantik membuat siapapun yang melihatnya langsung jatuh hati terhadap tarian yang ia bawakan.
Tidak hanya jalanan, masih banyak orang yang menyibukkan diri di dalam rumah juga. Seperti si Pelukis ini, bisa dibilang bahwa dia adalah seseorang yang antisosial dan apatis. Oleh karena itu, ia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah. Tangannya yang memegang kuas sibuk bergerak kesana-kemari, menggores kanvas dengan cat demi menghasilkan sebuah karya seni yang indah. Memang butuh waktu lama untuk membuatnya, tapi ketika lukisan ini selesai, pasti akan memiliki nilai jual yang tinggi.
Di area pasar, terdapat seorang Ksatria yang sedang melawan beberapa pencuri. Si Ksatria memang terkenal sebagai orang yang pemberani dan suka membantu penduduk sekitar. Bakatnya dalam bertarung juga tak bisa diremehkan, buktinya ia bahkan bisa mengatasi para pencuri itu dengan mudah dan singkat.
Di daerah kuburan, tentunya ada si Penjaga Makam yang menjaga kuburan. Tugasnya memang tidak terlalu sibuk, tapi ia selalu mendedikasikan dirinya untuk menjaga kuburan tanpa alasan yang jelas. Dan terakhir, ada si Pendeta. Kedua tangannya ia angkat dalam posisi duduk. Matanya tertutup dan bibirnya membacakan doa-doa dengan khusyuk di gereja bersama jemaat lainnya.
Pada saat malam menyelimuti langit. Seorang Gadis muda, pelanggan setia si Florist yang sedang dalam perjalanan pulang menemukan hal yang mengejutkan. Terdapat tiga mayat tergeletak mengenaskan di pinggir jalan dengan genangan darah. Salah satu mayat memiliki tangan dan kaki yang terpisah dari tubuhnya. Ada yang mendapat puluhan sayatan sehingga tampak daging dan organ dalamnya. Masing-masing dari mereka memiliki kondisi tubuh yang memprihatinkan. Bahkan ada yang kepalanya terputus.
Melihat kondisi itu, si Gadis yang ketakutan langsung melapor kepada penduduk lain. Para penduduk tentunya menjadi sangat waspada. Mulai dari si Ksatria yang bertekad untuk melindungi para penduduk, dan si Pendeta yang lebih sering berdoa memohon perlindungan. Mereka bertanya-tanya “Oh, siapa yang berani melakukan perbuatan keji ini?”
Namun sayang, usaha si Ksatria tidak membuahkan hasil, Dewa pun sepertinya tidak menggubris doa si Pendeta. Karena nyatanya, peristiwa pembunuhan itu terus berlanjut, merenggut nyawa para penduduk desa. Masing-masing dari mereka mati dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Dan orang-orang mulai menuduh satu sama lain sebagai pelakunya.
Pada suatu fajar, seorang penduduk desa menemukan korban selanjutnya. Ia adalah si Gadis yang beberapa hari lalu menemukan tiga mayat. Gadis itu juga mati dalam keadaan yang mengenaskan, namun disampingnya terdapat coretan darah yang membentuk tulisan. Tampaknya tulusan ini ditulis oleh si Gadis kala ia sekarat, terbukti dari tulisannya yang berantakan.
“baWAlaH hARapaN! BAlaslah PErbUAtaN bERdoSa iNI.”
Bersamaan dengan ditemukannya mayat si Gadis, lonceng gereja berbunyi menandakan turunnya wahyu baru. Tampak si Pendeta keluar dari gereja dengan ekspresi yang tak dapat dijelaskan. Bingung, sedih, takut, tak ada kata yang dapat mendeskripsikannya. Ia pun membaca isi wahyu dengan lantang “Iblis kuno telah bangkit di desa kecil ini. Salah satu dari kita telah dirasuki iblis dan akan membantai seluruh penduduk hingga habis.”
Wahyu yang diucapkan si Pendeta membuat gempar. Sementara itu, si Penjaga Makam hanya sibuk menguburkan mayat si Gadis tanpa memedulikan wahyu tersebut. Si Ksatria dengan gagah berani berseru “Tampaknya si Iblis ingin bermain-main dengan kita. Tenanglah semuanya! Ini hanyalah awalan, permainan sebenarnya baru saja dimulai!”
Si Florist yang menyaksikan pemakaman si Gadis hanya menatap sendu. Ia tidak menyangka bahwa pelanggan setianya juga menjadi korban. “Kita tak punya pilihan lain, mau tidak mau kita harus membunuh Iblis itu untuk menghentikan penderitaan ini!” Seru si Florist pada penduduk lainnya.
Dengan wajah ketakutan si Penyair yang gemetaran berkata “Pembunuhan ini sudah terjadi sejak kemarin. Itu artinya salah satu dari kita pasti sudah dirasuki iblis!” Si Penari berjalan perlahan dengan menatap satu persatu kuburan penduduk yang telah menjadi korban sang Iblis “Sungguh kasihan…” Ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Tidak disangka-sangka, disana juga terdapat si Pelukis yang keluar dari rumahnya untuk mendengarkan wahyu. Dengan wajah tanpa dosa dan tatapan malas, ia bergumam “Entah itu Iblis, permainan, pembunuhan, atau apapun itu. Aku tak peduli. Ini hanya membuang-buang waktuku.” Tentunya gumaman si Pelukis yang terdengar oleh beberapa warga langsung mendapat amukan.
“Apa kau tidak memiliki rasa kemanusiaan? Seseorang baru saja mati dan berani-beraninya kau berkata seperti itu?!” Ucap si Ksatria yang kesal akan ucapan si Pelukis. “Cih, kan sudah kubilang. Aku tak peduli mau itu iblis atau pembunuhan. Sekarang enyahlah dan jangan ganggu aku.” Jawab si Pelukis dengan ekspresi wajah tak peduli. Sungguh manusia yang sangat apatis.
Sementara itu, si Florist yang masih tidak terima akan kematian si Gadis berteriak keras dengan amarah yang memuncak. “Siapa?! Siapa iblis yang berani membunuhnya?! Tunjukkan dirimu, dasar pengecut!!” Si Penjaga Makam yang lelah menghadapi amarah para penduduk hanya bisa menghela napas. “Oh hentikanlah. Orang-orang mati karena takdir, bukan Iblis. Lagipula tidak ada yang namanya Iblis, ini tak masuk akal.” Ucapnya yang membuat beberapa penduduk ragu akan wahyu si Pendeta.
“Jangan khawatir! Aku tidak tahu perbuatan ini disebabkan Iblis atau bukan, tapi sebagai Ksatria sejati, aku pasti akan melindungi kalian semua!” Tanpa memedulikan ucapan si Penjaga Makam, si Ksatria berniat untuk melindungi desa kecil ini. Tentunya ucapannya membuat para penduduk menjadi agak tenang. Tapi sekarang ada yang lebih penting. “Suka tidak suka, kita harus mengambil langkah berikutnya. Lebih baik kita berdiskusi mengenai apa yang harus dilakukan.” Seru si Pendeta kepada para penduduk.
“Maksudmu kita harus berdiskusi untuk mencari Iblis yang bersembunyi diantara kita? Ini konyol!” Ucap salah salah seorang penduduk. “Diskusi ini hanya mengakibatkan kita yang saling menuduh dan menipu satu sama lain. Kita harus segera mengungkap siapa Iblisnya secepat mungkin!” Jawab penduduk lainnya. Diskusi mereka tentunya tidak berjalan begitu baik. Beberapa diantaranya saling menuduh dan menyalahkan satu sama lain. Hingga pada akhirnya mereka semua sampai pada suatu kesepakatan.
“…Bunuh.” “Bunuh…!” “Bunuh Iblisnya!” “Bakar dia hidup-hidup!” “Kita harus menghentikan permainan gila ini!”
Seru seluruh penduduk desa yang marah akan perbuatan keji si Iblis. Mereka berteriak dengan suara penuh amarah, menuntut perbuatan berdosa sang Iblis. Entah apa yang menyebabkan Iblis itu bangkit. Dan siapa yang telah dirasuki. Pada saat ini, desa kecil yang dulunya aman dan sejahtera tengah dilanda kesengsaraan. Tergantung dari perbuatan mereka, apakah mereka akan membawa cahaya harapan, atau malah menambah kehancuran. Tidak ada yang tahu.
Kini para penduduk desa sudah percaya diri dan tidak ketakutan. Mereka membuat kelompok yang dipimpin langsung si Ksatria, berbondong-bondong untuk menangkap sang Iblis keji. Sungguh tindakan yang salah, tidak lama lagi mereka akan menyadari perbuatan mereka. Entah apa yang membuat mereka percaya diri untuk melawan sang Iblis. Apakah itu kesombongan?
Tampaknya mereka sudah mendapat balasan yang setimpal. Di keesokan harinya, kelompok tersebut ditemukan terbunuh. Mayat mereka bergeletakan di jalanan. Siapapun yang melihat pemandangan mengerikan ini pasti langsung gemetaran. Ini adalah pembunuhan massal yang hanya terjadi dalam semalam, hanya menyisakan belasan penduduk yang masih hidup.
Diantara mereka yang mati mengenaskan, tampaknya si Ksatria mendapatkan kematian yang paling sengsara. Tubuhnya sudah digerogoti anjing liar, yang tersisa hanyalah kepalanya yang tertusuk pedang kesayangannya. Kemampuan bertarungnya tidak dapat menyelamatkannya dari tindakan sombongnya, sehingga Iblis yang langsung datang menghukumnya.
Tampaknya hari ini si Penjaga Makam harus bekerja keras untuk memakamkan jenazah-jenazah pembunuhan massal ini. Sekarang hanya tersisa beberapa penduduk, tak lama lagi, mereka akan menghadapi kematian. Ada yang marah, ketakutan, atau bahkan tak peduli sama sekali.
“Sayangnya sang Iblis sudah membunuh si Ksatria. Aku tahu kalian semua pasti ketakutan, tapi kita harus segera bertindak. Dia tidak akan berhenti sampai kita semua mati.” Ucap si Pendeta dengan lantang, mencoba meyakinkan para penduduk bahwa semua akan baik-baik saja.
Si Florist yang tidak rela akan kematian si Ksatria hanya bisa marah-marah dan mengutuk sang Iblis. Si Penari sudah tidak kuat dengan penderitaan ini berkata “Jika permainan ini terus berlanjut, kita semua bisa mati.” Ucapan si Penari memang benar. “Meski beresiko tinggi, akan kuusahakan untuk menangkap Iblisnya malam ini.” Jawab si Pendeta menenangkan penduduk lainnya.
“Sial, aku pasti akan membalas perbuatan Iblis itu.” Tambah si Penyair yang ketakutan, meski gemetaran, ia tetap bertekad untuk menangkap Iblisnya. Lagi-lagi si Pelukis yang tidak peduli dengan pembantaian ini malah memperburuk suasana. “Sudahlah, hentikan usaha sia-sia ini. Lupakan saja Iblis itu. Toh kita semua akan mati.” Ucapnya dengan santai.
Si Penyair yang terpancing emosi manjawab “Apa-apaan? Bagaimana kau bisa setenang itu setelah melihat orang-orang mati?! Apa jangan-jangan kau Iblisnya??!” Si Pelukis yang tidak terima dituduh menyangkal. “Jangan sembarangan menuduh, aku hanya menyarankan solusi terbaik.”
Namun itu tidak mempan, si Penyair malah semakin menuduhnya. “Aku tahu itu! Aku tahu sejak awal! Kau itu Iblisnya!!” Si Pelukis semakin marah-marah, melanjutkan perdebatan hingga ada suara yang melerai mereka. “Hentikan! Bukan saatnya untuk menyalahkan satu sama lain! Kita harus menangkap Iblisnya sekarang.” Ucap si penari menghentikan mereka.
Ditengah perdebatan mereka, si Penjaga Makam mengucapkan sesuatu. “Saat memakamkan si Ksatria, aku menemukan sesuatu yang aneh.” Ucapannya membuat semua orang menatapnya dengan penasaran. “Aku menemukan kalung si Florist di tangan Ksatria… Bukannya menuduh, tapi bukankah ini aneh?” Lanjutnya.
Orang-orang yang mengerti maksud si Penjaga Makam langsung menoleh dan menatap ke arah Florist dengan curiga. Dengan mata yang bergetar ketakutan, Si Florist pun berusaha menjelaskan dengan terbata-bata. “Tu-tunggu, aku bukan iblisnya! S-sebenarnya si Ksatria adalah kekasihku, dan aku memberikan kalungku sebagai jimat pelindung. Sungguh, percayala–”
Dengan nada tinggi, si Penyair memotong ucapannya “Omong kosong! Kau pasti pelakunya! Dasar Iblis!” Si Penari menutup mulutnya dengan tatapan tidak percaya. “Ya ampun, tak kusangka…” Kini semua orang sudah menganggap si Florist sebagai Iblisnya. Tak peduli berapa kali pun ia menyangkal, tak ada yang percaya.
Si Pendeta yang ikut terpengaruh suasana pun langsung membuat keputusan dengan lantang. “Tangkap dia! Dan bakar Iblis itu hidup-hidup!” Dengan tatapan kaget, dan tubuhnya yang gemetaran, si Florist berteriak “Tidak, tunggu! Itu bukan aku! Sungguh! Aku dijebak! Si Penjaga Makam adalah Iblisnya, bukan aku!” Tak ada seorang pun yang mempercayainya. Tubuhnya yang ditahan orang-orang membuatnya tak berdaya sedikitpun.
“Untuk merayakan kemenangan dan meminta perlindungan kepada Dewa, akan lebih baik jika kita melakukan ritual pembersihan bersamaan dengan dibakarnya Iblis keji itu.” Usul si Pendeta, hal ini dilakukan untuk menyucikan jiwa para penduduk dan menghindari kemungkinan si Iblis untuk merasuki tubuh lain.
Dengan tubuh yang diikat pada sebuah batang pohon, si Florist dibakar hidup-hidup oleh para penduduk tanpa belas kasihan. Tak peduli berapa kali ia memohon, berapa banyak air mata dikeluarkan, tak ada yang mempercayainya. Karena terungkap sebagai Iblisnya, ia mati dengan menanggung dosa-dosanya.
Teriakan dan isak tangis si Florist sudah seperti alunan musik yang melatarbelakangi ritual pembersihan. Semua penduduk warga berlutut dihadapan ia yang disiksa. Kepala mereka disiram perlahan menggunakan air suci. Mata menutup perlahan sambil mengikuti arahan sang Pendeta untuk berdoa.
“Pada akhirnya kita berhasil menangkap Iblisnya. Dan sebagai penebusan dosa, kita melaksanakan ritual ini. Tapi setidaknya kita dapat membawa harapan dan membalas dosa sang Iblis kejam. Iblis yang pantas dihukum atas dosa-dosanya. Iblis malang yang dibakar hidup-hidup. Tapi kita tak punya pilihan lain, kita harus menghentikan permainan gila ini.” Ucap si Pendeta yang memulai ceramah suci ditengah-tengah ritual.
Para penduduk yang telah menyucikan jiwa mereka dengan air suci menutup mata perlahan. Masih dalam keadaan berlutut, mereka mengangkat kedua tangan. Tanpa memedulikan teriakan minta tolong si Florist yang memekakkan telinga, mereka seolah-olah menjadi tuli. Dengan tangan gemetaran, para penduduk berdoa meminta perlindungan Dewa.
Malam itu menjadi malam dengan pemandangan yang agak mengerikan. Para penduduk yang berlutut berdoa pada Dewa, sambil menyaksikan Iblis yang dibakar hidup-hidup. Tak ada seorang pun yang bisa melupakan kejadian saat itu. Seolah Dewa menjawab doa mereka, permainan ini akhirnya selesai dan desa kembali tenang.
Setelah ritual pembersihan dan penghukuman sang Iblis selesai, para penduduk dapat tidur dengan nyenyak tanpa dilanda rasa takut. Hanya ada bulan sabit terang di langit yang menjadi saksi bisu akan peristiwa malam ini. Malam ini, menjadi malam yang tenang dan sunyi. Sang Iblis terkutuk akhirnya mati dalam keadaan mengenaskan, membayar perbuatannya.
Cerpen Karangan: Faniel Vian