Pagi masih digelayuti gerimis tipis di seputaran Denpasar. Matahari masih belum tampak di balik awan pagi meskipun waktu sudah menunjukan jam Sembilan teng.
Bergegas aku memanaskan mobil dan memeriksa semua perlengkapan yang akan dibawa hari ini. Kamera kompak dengan baterai penuh, hape dan power bank dan buku catatan kecil berisi pengolahan data data yang akan diperlukan dalam kegiatan survey kali ini. Hari ini Minggu 23 Juli 2017, sepertinya suasana seputaran kota Denpasar tak sepadat dihari hari yang lain, karena menerobos kota metropolis ini pagi pagi pas jam kantor memerlukan energi dan kesabaran ekstra. Syukurnya semua akan baik baik saya, harusnya.
Suasana lengang aku dapati ketika memulai perjalanan di seputaran lapangan renon, terlihat monumen bajra sandi berdiri megah di antara selipan pohon pohon perindang di sepanjang jalan. Aku membelokan arah perjalanan mobil kearah Jalan pemuda Renon karena wilayah lapangan renon masih dalam kegiatan car free day.
Diantara derai gerimis tipis sisa hujan, lagu lagu manis tersaji oleh pemandu lagu di radio. Hmmm lagu mandarin berjudul hao xiang hao xiang nya milik Vicky Zhao, lagu favoritku ketika SMA dulu. Sebuah kebetulan manis.
Perjalanan semakin jauh meninggalkan Denpasar dan dan mulai memasuki wilayah Tabanan Kota. Kota tabanan, kota penuh kenangan, banyak tempat aku jelajahi di kota ini mengejar cinta pertamaku tahun 1990 silam, dan tak terasa sudah 27 tahun berlalu. Entah dimana kini sang wanita yang pernah membuatku menangis tersedu sedu di pojokan kamar kost, meratapi betapa sedihnya mencintai seseorang dengan perasaan tulus sementara disana dia adalah milik orang lain. Damned 27 tahun? Begitu cepat waktu berlalu. Alunan lagu hao xiang hao xiang masih mengalun lembut mengiringi perjalanan avanza butut milik kantor tempatku bekerja.
Ya, aku bekerja di sebuah perusahaan biro travel di Denpasar menduduki posisi manager operasional setelah 15 tahun mengabdi. Bukan perusahaan besar namun memiliki akses tamu domestik yang cukup lumayan di kalangan sekolah sekolah Internasional dan korporasi dari berbagai kota besar di tanah air, yang sering bepergian ke bali dan dan menggunakan jasa layanan dari Balisa tour, kantor dimana kini menugaskan aku untuk melakukan survey ke kecamatan pupuan di sebuah daerah sejuk di punggung pulau bali. Ada perencanaan besar tahun depan kami akan membidik seribu wisatawan domestik yang akan melaksanakan retreat ke pupuan dalam beberapa gelombang pemberangkatan. Bagi kami itu jumlah yang sangat fantastis dan membutuhkan perencanaan matang.
Waktu berjalan, Pupuan semakin dekat. Suasana sangat cerah dengan kesejukan pegunungan yang mulai terasa. Kubuka jendela mobil membiarkan angin sejuk menerpa wajah dengan hentakan dingin lembutnya. Terasa begitu segar dan membuat hati seperti melayang ke masa masa dimana aku sering bepergian dengan motor bebekku ke kampong kampong menemui entah teman SMA atau kolega yang memiliki banyak durian dan rambutan. Ketika musim panen tiba, sebuah ritual dari teman teman SMA ku berkumpul dan membahas kemana arah perjalanan jauh yang kan kita tempuh demi memetik durian, rambutan, manggis atau apa saja yang berbuah di musim itu. Itu satu dari banyak kisah yang masih sering kuingat kini. Mungkin perjalanan perjalanan asyik seperti itu juga salah satu alasan kenapa aku memilih bekerja di travel agent menjadi pemandu wisata dan tour leader sebelum akhirnya pimpinanku menarikku bekerja di kantor sebagai tenaga operasional. Kali ini perjalanan aku lakukan sendiri hanya ditemani berkas berkas yang sudah aku siapkan dari rumah, kamera kecil dan hape untuk menangkap beberapa gambar yang bisa aku posting di instagramku.
Siang mulai menyingsing aku tiba di hotel Kamboja resort and villa dimana pemiliknya sudah menanti kedatanganku. Suasana villa yang berada di ketinggian dimana wilayah timurnya membentang persawahan berteras nan indah, sejuk menawan hati. Sungguh tak bisa dipungkiri betapa indah tempat ini, sementara wilayah seberang jalan dipenuhi pohon cengkeh, manggis dan durian di samping kelapa yang berjejer sepanjang jalan yang aku lewati tadi.
Tak banyak yang kita bicarakan hal hal teknis di restaurant yang terletak di timur lobby yang menghadap langsung ke arah persawahan nan luas. Hanya mencocokan beberapa data dan foto foto terbaik milik hotel sudah di tanganku dalam bentuk CD. Kopi pupuan sengaja dihidangkan dengan kudapan pisang goreng. Sederhana, namun penuh keakraban. Kopi pahit tanpa gula yang menjadi kebiasaan minumku, ternyata memang lebih pahit kopi pupuan dibanding kopi Bali lainnya. Mungkin karena pengolahannya sedikit dibuat lama sehingga aroma pahit dan nyelekitnya begitu terasa di lidah. Tapi itu yang aku suka! Pak Made sang pemilik villa mengajakku makan siang di tempat yang sama, dengan masakan khas bali ayam betutu kampong nan pedas. Uwihhhh klop sudah! Suasana dingin seperti ini ditemani secangkir kopi pahit dan dilanjutkan dengan menikmati betutu pedas, sungguh membuat kehangatan luar dalam.
Suasana akrab dengan Pak Made, keindahan pupuan dan hangatnya jamuan ini sungguh membuatku merasakan keakraban dan kelembutan khas masyarakat Bali di desa ketika menjamu tamunya. Beberapa postingan Instagram dan facebook aku lalukan ditempat ini, sebagai kebiasaan kekinian dalam masyarakat melek sosial media seperti diriku. Ketika hendak bergegas pamitan dengan Pak Made menuju villa berikutnya sebuah isi pesan di WA berdenting. Cukup singkat: “ Pak Desto di Pupuan ya? Sekalian mampir di rumah ajik tyang pak…”
O iya, Di kantor, nama panggilanku adalah Desto. Pemilik isi pesan itu bernama Desak Putu Sri, guide freelance di kantor tempatku bekerja. Dia seorang guide yang sering dipakai oleh kantorku karena kecakapannya menangani tamu tamu domestik langganan kantor. Sempat kubalas tiga kali isi WA lanjutan sebelum akhirnya aku pamit ke pak Made melanjutkan ke beberapa villa dan hotel berikutnya yang menjadi tujuan survey lokasi kali ini.
Hampir selama 3 jam aku menelusuri pupuan memasuki hotel dan villa yang sudah aku hubungi via telepon untuk aku survey beberapa hari sebelumnya. Sudah banyak data dan foto foto aku rekam dan simpan untuk laporan di kantor besok. Tiba di pura Siwa pupuan, sejenak aku memutuskan untuk istirahat dan mencakupkan tangan di salah satu pura suci disini. Suasana begitu tenang, tidak ada pemedek yang tangkil saat ini dan dengan selendang dan celana panjang, aku memasuki pura, bersembahyang diantara gigitan dingin sejuk udara pupuan.
Terasa sangat nikmat bersembahyang dalam kesendirian, nun jauh dari rumah, diketinggian sejuk wilayah orang dan sesekali merenungi tentang makna hidup. Whatsapp ku beberapa kali kembali berdenting. Selain dari beberapa partner bisnis, WA dari desak putu sri kembali mengusik konsentrasiku. Undangannya untuk berkunjung ke rumah orangtuanya di munduk temu pupuan, karena ajiknya lagi di kampung sedang memanen durian. Aku pastinya memberi atensi lebih pada undangan ini dan akan memenuhinya, toh jarak ke rumahnya di kampung hanya kisaran 9 kilometer saja dari pura Siwa ini.
Waktu sudah menunjukan jam 3 sore, kabut tipis disana sini mulai turun memenuhi lembah kanan kiri tempatku memacu mobil. Tiba di pertigaan utama pupuan yang membagi jalan menuju singaraja ke arah kanan dan lurus menuju Jembrana, aku memperlambat laju mobil. Karena kanan kiri jalan dipenuhi lapak lapak kaki lima yang mempersiapkan dagangannya sedari sore hingga tengah malam nanti. Kembali aku tertegun…
Tempat ini aku pernah kunjungi setahun silam ketika kami ramai ramai menuju rumah desak putu sri. Tahun itu di bulan yang sama lagi panen durian juga, kami berlima, aku, desak putu dan tiga tenaga operasional kantor beramai ramai menuju munduk temu memanen durian di pohonnya, merampok manggis dari keranjang biyang desak putu, dengan tetap membayar sesuai harga di kampong. Seperti juga ketika musim durian tiba di wilayah tembuku Bangli atau perean dan undisan Bangli, tempat dari guide guide kantor kami berasal, memetik durian dan “merampok’ hasilnya menjadi kegemaran kami mengisi hari minggu dan sekaligus penyegaran pikiran dari rutinitas kerja. Namun di munduk temu memanen duriannya bersama desak putu sri, aku merasakan banyak hal yang berbeda dibandingkan dengan di tempat tempat lain dari kunjunganku sebelumnya. Kembali teringat di masa itu dua tahun berlalu…
KETIKA RASA KEMBALI TERTATA Seyogyanya seperti itulah Bunga bunga bermekaran Kuncup baru, merekah Mengganti layu rasa yang sudah terhempas Memberi warna pada masa masa sulit kehidupan Bagai hempasan badai laut selatan menjadikan sang pelaut semakin tangguh bertualang. Tiada pelaut ulung tanpa gelombang yang menerjang! Karena hidup bukanlah danau tenang namun gemuruh samudra menghempas bersama badai angin di bulan desember Kini bunga bunga rasa kembali dapat ditata Tinggal sisa sisa gundah yang mungkin segera terkelupas, pada hitungan waktu yang dilalui satu satu Dalam diampun gundah itu mencoba datang.. Merayu kisi kisi hati agar kembali berbuih merintih dan tertatih tatih. Tapi bukan pelaut ulung bila dia kembali berduka Untuk takut dan nanar memandang masalah Harusnya, masa masa resah hanyalah angka angka kecil dihitungan jutaan rasa Adalah setiap kita akan merasakan proses proses pendewasaan diri Lewat rangkuman suka duka dan tantangan Melaluinya kita tau apa itu pasrah iklas dan berserah Karena di hitungan masa pulalah kita bisa menjadi pribadi yang lebih sempurna. Bahwa gugur bunga layu setaman bukanlah akhir dari segala cerita. Hanyalah jeda untuk menunggu kuncup kuncup kecil yang segera bertumbuh menjadi pewarna hari ceria, dilangkah langkah esok yang masih tersisa! Selamat datang bunga bunga asmara….
Dua tahun silam kali pertama mengenal sosok jelita desak putu sri perempuan cantik berlesung pipi dengan rambut hitamnya, pesonanya begitu menawan. Senyum yang selalu muncul ketika berhenti berbicara dengan bahasa tertata. Tiada cela yang bisa didapat dari caranya bercengrama. Sosok manis yang awalnya hanyalah teman kerja di lapangan, menjadi sosok perempuan yang mengisi banyak cerita dalam perjalanan keseharianku.
Perempuan desa namun anggun dalam berbicara, cerdas dalam mengolah kata dan santun dalam memberi sanggahan. Pendek kata dia sungguh berbeda. Sorot matanya tajam namun tetap bersahaja, tanpa poni rambut, hanya rambut hitam lurus hingga diatas pinggangnya, tipikel perempuan Bali dan belakangan aku tahu bahwa dia juga pintar menari Bali. Hal lain yang aku suka darinya dia tidak pernah berhias, hanya bedak dan sedikit gincu tipis yang makin membuatnya terlihat alami.
Pertemuan demi pertemuan kita lakukan, waktu berjalan dan kebersamaan kita semakin intens. Dia sungguh pintar merubah suasana menjadi ceria dengan guyonan guyonan yang terkadang aku sendiri tidak menyangka endingnya akan kemana. Dan akhirnya, rasa tak dapat disanggah bahwa merambat pelan namun pasti ketika sendirian di rumah kontrakanku, aku memikirkan dia, menghayalkan banyak hal hal indah bersamanya. Adakah aku jatuh cinta? Kutanya diri sendiri dan kutemukan memang rasa ini sedemikian kentara. Bahkan anak SD pun mungkin akan mengetahuinya.
Kepada wanita bersahaja yang aku kenal, dan kutambatkan sebuah rasa disana, karena hatiku sudah dimilikinya. Tak bertepuk sebelah tangan, cinta bersambut dan kita membina dua rasa dalam satu ikatan cinta, menjalani rasa dengan penuh kehati hatian karena bagaimanapun cinta dihitungan dewasa, bukanlah cinta seperti ketika masih remaja. Kita lebih banyak bertemu untuk sama sama bekerja, berbagi tawa dan kepanikan bersama ketika ada hal hal yang terjadi tidak terencana sesuai agenda kerja. Seru sekali dan sungguh berkesan.
Namun prahara juga tak dapat disangkakan akan menerjang. Wanita single parent berputri dua ini memiliki banyak masalah lama sama sepertiku. Mantan suaminya yang kembali memintanya berkumpul membina keluarga dan melanjutkan perkawinan mereka yang sempat terkoyak oleh dusta suaminya bersama wanita lain. Ya, dia wanita single parent dengan segudang hati baja melewati hari hari kelam sedemikian lama setelah perceraiannya. Seperti diriku yang juga yang masih betah melajang sendiri diumur berkepala empat.
Pelan dan pasti, dalam kurun setahun berjalan intens, kami menikmati masa masa penuh kebahagiaan. Rencana menikahinya pun sudah aku bicarakan ke dia dan berharap akan disikapi dengan dewasa. Memang kami merencanakan, namun siapa sangka, ketika dia mulai diusik oleh kembalinya sang mantan dengan segala penyesalan dan permintaannya untuk kembali membina masa depan bersama.
Setahun lalu, hubungannya dengan mantannya tak kusadari terjadi, dan kami masih baik baik saja, meskipun dia semakin jarang dapat kuhubungi. Mungkin sibuk pikirku, maklumlah bekerja di lapangan sebagai pemandu wisata itu membutuhkan stamina, karena bekerja hingga larut malam dan esoknya sudah harus terlihat ceria di depan tamu di pagi hari. Sebuah etos kerja yang kami alami berpuluh tahun. Apalagi setelah aku ditarik oleh perusahaan untuk bekerja di belakang meja menjadi tenaga operasional kantor, otomatis kami jarang bertemu di lapangan. Hari semakin berjalan, sering dia mulai membatasi komunikasi kami. Ada saja alasannya dan aku selalu berusaha mengerti. Terkadang rindu menyeruak tanpa bisa dicegah dan dengan memaksa menemuinya sepulang kerja, kita dapat bercengrama lewat makan malam yang mulai jarang kita lakukan.
Entahlah…
Cerpen Karangan: Desto Blog / Facebook: Suana beto