Ada yang berubah aku lihat dalam kesehariannya. Tak pernah memberi like di facebook dan IG ku, sering whatsappku berkomunikasi lewat satu jalur, di jalurku saja. Tanpa pernah dia balas, seperti enggan untuk berkomunikasi. Pernah dia menyebut bahwa kegiatan survey yang dia lakukan di suatu hari yang harusnya bersamaku, namun dia katakan diantar oleh seorang supir yang tidak aku kenal. Sekali lagi entahlah, ada apa ini. Mungkin karena rasa sayang dan cinta ini, selalu aku percaya apapun yang dia katakan. Hingga satu ketika semua aku ternyata dia telah bersama kekasihnya lagi.
Masih kuingat ketika pulang dari tugas ke luar negeri sebagai Tour Leader, banyak baju dan pernak Pernik aku titip di rumah temannya, untuk dia ambil disana. Karena setiap aku hubungi selalu saja tak dapat aku bersua. Info temannya justru membuat aku syok bahwa mantannya yang mengambilkan untuknya. Aku mencoba mengerti dan belajar dewasa bersikap. Bagaimanapun mereka pernah bersama, membina rumah tangga dan menumbuhkan anak anak lucu yangkini sudah beranjak remaja. Mungkin itu alasannya kenapa dia semakin dekat dan lengket dengan mantan suaminya. Namun disisi lain, rasa pedih kehilangan semakin membayangi.
Yah, cinta tidak bisa didusta, rasa tak bisa dipungkiri. Aku mencintainya dengan sangat dalam segala kekurangan dan kelebihannya. Dia wanita istimewa yang aku temui setelah dua puluh tujuh tahun lamanya mencintai seseorang yang entah kini berada dimana, yang rutin setiap malam aku doakan dan berharap semua baik baik saja. Doaku selalu tulus untuk seorang Desak Putu Sri. Setulus aku pernah mencintai perempuan lama yang di tahun 1990 dulu.
Kini semua sudah jelas, Desak Putu Sri sudah kembali ke pelukan lelaki yang pernah mengkhianatinya. Dan aku semakin tidak memiliki ruang untuk menjelaskan kepadanya betapa aku selalu merindukan sosok baiknya, senyum manisnya, tertawa lepasnya ketika kita bersenda gurau. Dia terlepas dari genggamanku dan membawa separuh sisa hatiku yang masih sempat kupertahankan masa lalu. Perih, sungguh perih merasakan kegagalan yang sama setelah sekian puluh tahun bertahan dalam kesendirian. Kini ketika harapan itu kembali ada dan menyala, hanya dihitungan setahun, kembali terhempaskan dan sakitnyapun semakin mengoyak dada.
Pernah dulu ketika musim duren tiba kami sama sama berburu hingga pelosok desa, memetik duren di pohonnya, mengikatnya di suspensi mobil diantara roda belakang, karena kami tidak kuat mencium aroma duren memenuhi udara dalam mobil berpendingin AC, dan ketika tiba di rumah kontrakan, hanya satu dari lima durian yang kami gantung yang masih tersisa. Empatnya terlepas dan mungkin terguling dijalan raya dan menjadi milik orang di luar sana. Justru kami tertawa lepas terpingkal pingkal mengusir rasa kesal dan kekonyolan kami.
Ah… ternyata musim duren sudah tiba, dan aku merindukan kebersamaan ini. Di desa bernama Munduk Temu di kecamatan Pupuan ini kami pernah berguling guling berlarian diantara naik turun kontur tanah perkebunan milik ajik Desak Putu Sri. Memanjat dan memetik langsung sambil memandangi hamparan Gilimanuk nun jauh di barat sana hingga pulau jawa terlihat dengan jelas. Sesekali membuat puisi konyol tentang durian dan apa saja yang singgah di pikiran kami saat itu.
Dan kini aku berada di tempat ini lagi persis dimana durian sudah berbuah dan panen segera berlimpah. Namun sepertinya rasa ini akan jauh berbeda. Karena sudah setahun lamanya aku telah mengendapkan rasa untuk mencoba menata hati satu satu dalam hitungan waktu, untuk bisa kembali berpikir jernih tentang hidup pendekku dan perjalanan hariku. Dihitungan waktu aku mencoba meyakinkan diri bahwa hidupku selalu harus kugulir setiap hari, mencoba melupakan banyak hal dibelakang sana. Walau terkadang perasaan ini begitu menyiksa mengingat kebersamaan kita dahulu tanpa cela sedikitpun. Namun kita semua tahu kemana rasa sudah memilih dan aku sudah mulai dapat dia hilangkan dihatinya. Aku tahu itu. Dari bahasa IG nya, facebooknya dan isi isi dari percakapan jarang kita di whatsapp. Aku tahu aku sudah terhapus disana. Namun justru di dirikulah rasa cinta ini semakin subur, lebih subur dari sebelum sebelumnya. Tak ada malam yang terlewati tanpa kembali berdoa untuk dua orang yang sudah mampu membuatku menangis. Wanita pertama yang aku cintai dulu dan Desak Putu Sri, yang telah membawa lari sisa hatiku. Hanya doa dan doa serta pengharapan baik yang aku panjatkan setiap malam. Hanya itu yang tersisa.
SAYAP PATAH SANG KELANA Dibilangan kata rindu, rasaku mendayu dayu Namun apalah daya bila dia bukan milikku Hanya mampu mendoakannya dalam bangun pagi dan sebelum larut menjelang Bahwa bayangku sudah terhapus disana, itu pasti Mungkin karena lelah dia berharap terbaik yang tak kunjung didapat disini Tiada malam terlewati tanpa memikirkannya Tiada detik terhempas tanpa menyebut namanya Dan tiada tarikan nafas tanpa mengukir hangat kebersamaan lama Tuhan, mengapa engkau mencipta cinta Hingga rindu terlahir dari rahimnya Mengapa pula harus ada kecewa Larut dalam nestapa yang tak berkesudahan Ingin ku terbang mengepak sayap Tinggi diangkasa bergegas meninggalkan semua Apa daya sayap rapuh ini tinggal satu dihempas badai asmara yang tak berkesudahan Dan olehnya juga tertancap satu di dirinya, Hendak kugapai, kuraih kembali tuk bersama kita melewati banyak cerita
Sebuah rumah tua beratapkan seng berdiri kokoh di ketinggian sekitar dua meter diatas jalan aspal desa. Dulu sempat kutanya mengapa memakai seng yang justru kelihatan murah, sementara rumah ini bisa dikatakan mewah untuk ukuran di desa. Dan jawabnya waktu itu, seng putih ini akan menyerap banyak cahaya dan panas untuk bisa membuat suasana dalam rumah semakin hangat, karena kondisi disini memang selalu dingin apalagi bila malam telah turun. Aku mangut mangut tanda mengerti dan memuji cara berfikir para orang tua di kampung. Aku pepetkan mobilku di sisa lahan kosong dekat rumah tua ini dan bergegas menuju kehalaman yang banyak ditumbuhi bunga bunga segar. Ada bunga pecah seribu berwarna jingga berjejer rapi mengelilingi merajan sebagai penganti tembok. Kebun gemitir yang tampaknya sudah akan segera berbunga, kuncup kuncupnya sudah mulai terlihat. Tak kutemui siapa siapa disini. Hanya gonggongan seekor anjing kecil bernama chiko sambil mengibas ibaskan ekornya tanda dia mengenalku.
Setahun lalu anjing kecil ini aku berikan ke Desak Putu Sri agar menjadi peneman keseharian ajik dan biyangnya disini, karena semua anak anak bekerja di kota dan sepertinya chiko masih mengingatku. Sempat kuelus elus dia sejenak sebagai tanda kangen sebelum aku putuskan menuju ke kebun karena aku yakin ajik dan biyang ada disana. Hamparan seluas sekitar dua hektar bukanlah lahan sempit untuk dijelajahi. Namun aku tahu dimana menemukan mereka, karena pohon duren hanya berjejer di bagian timur tanah ini. Kesana aku melangkah sebelum akhirnya lapat lapat aku mendengar teriakan dari biyang yang memanggil namaku. Rupanya aku sudah ditunggu dan prediksiku, Desak Putu Sri sudah mengabarkan kedatanganku di Pupuan.
Wanita tua dengan sisa kecantikannya yang masih dapat aku lihat, diantara kerut kerut dan legam kulit perempuan desa, senyum yang sangat mirip yang dimiliki oleh anak sulungnya. Ajik juga tengah mengumpulkan duren yang dipetik sedari pagi tadi. Katanya akan ada pengepul datang esok, membawa hasil duren ini ke kota untuk dijual lagi. Hasil panen kali ini begitu melimpah. Menurut ajik, ada sekitar seratus lima puluhan duren berhasil dipetik meskipun beberapa diantaranya busuk dan beberapa puluh masih bergelantungan dipohon karena masih terlalu muda untuk dipanen. Bergegas ajik menghampiriku dan memelukku, seolah olah aku adalah anaknya yang sudah lama tidak bertemu. Begitu hangatnya dan aku rasa sedikit berlebihan. Aku dipeluknya sembari berkata “Nak desto yang sabar ya… Sabar!”
Dari ucapan itu aku sudah dapat menebak apa maksud dan isi dari pelukan tadi. Yah, tanpa basa basi menanyakan kabar dan langsung mengucapkan kata itu, aku sangat tahu akan perasaan mereka berdua tentang hubungan aku dengan anaknya yang telah kandas dijalan. Mencoba tersenyum, memeluk lelaki tua yang aku hormati ini sambil berujar “Inggih ajik… ten kenapi, ten kenapi” “iya pak… nggak apa apa, nggak apa apa” Aku mencoba tersenyum menyikapi keadaan yang sudah mulai kikuk tercipta diantara kami bertiga.
Berdua mereka mengantarku ke dalam rumah untuk bercengrama. Masih seperti dulu, tiap sudut rumah ini seperti menatapku seakan mengajakku berbicara tentang banyak hal.
Ajik mengambil sebungkus kretek dari saku celananya dan menyulutnya pelan sambil menawarkan satu untukku. Aku tersenyum, mengambil dan membuka tas tempat aku menaruh rok*k mentholku, menyulutnya pelan dengan meminjam korek yang dimiliki ajik. Berdua kami mengepulkan asap putih tanpa ada kata yang sempat kita mulai. Sepertinya hembusan asap ini cukup mewakilkan kata kata dalam hati kami masing masing dan bercengrama lewat hembusannya. Pembicaraan manusia dewasa yang sudah tahu kemana arahnya dan apa harapannya. Sementara biyang aku dengar sepintas menghidupkan kompor gas di dapur dan aku tahu beliau memasak air untuk membuat kopi. Tak berselang lama beliau muncul dari balik dapur membawa dua cangkir kopi di atas baki.
Tanpa perlu menolak ngopi lagi meskipun siang tadi sudah kudapat di villa tempatku pertama kali survey, kami menikmati kopi pupuan dengan nikmatnya. Biyang masih ingat kalau aku ngopinya pahit dan beliau tersenyum menyuguhkan kopi sembari berkata “Nak Desto maaf kopinya tanpa ditemani kudapan. Karena kami tidak ada persiapan kedatangan tamu. Ini kopinya, masih ngopi pahit khan?”
Lesung pipi perempuan tua ini begitu persis sama seperti lesung pipi perempuan yang setahun lalu mulai hilang dijangkauanku. Lesung pipi yang sering kucium sebelum mencium bibir indahnya. Dan semua berasal dari biyangnya. Oh… rasa itu kembali menyeruak… pedih sangat, bila mengingatnya walau hanya sepintas.
Aku tersenyum menerima kopi dari biyang dan menyeruputnya dengan penuh kehati hatian, karena panasnya masih cukup menyengat bibir. Hitam, berampas dan pahit. Kopi yang sama setahun lalu aku nikmati disini, namun waktu itu kami berdua dalam satu cangkir bersama Desak Putu Sri.
TATKALA RINDU MENGHEMPAS PELAN..
Merah jingga tlah jatuh di peraduan malam Bisu tanpa kata Samar, terdengar suara burung kembali ke sarangnya Menempuh tiupan angin senja yang Berhembus pelan tanpa jeda Semilir menghanyutkan jiwa Pada kisi kisi kelam masa suram Benar, senja tiba dengan sekelebat bayang silam Tentang rasa, dusta dan ceria Semua tentangmu Seperti mengejar laju sang angin Atau berburu kehangatan bintang selatan Entahlah… Dalam tiga ratus enam puluh lima langkah kaki Berjalan menjauh menghindari semua kenangan sunyi Hendak kaki melangkah pergi mengejar mimpi mimpi hari ini Mengapa juga rasa itu kembali menjelma Sungguh, sungguh tiada siap diri ini tatkala kau datang, lagi…
Wajah desa munduk temu pupuan masih cerah, namun sejuk tetap memyelimuti dan sesekali angin menerpa wajahku yang mulai kusam. Ajik menghabiskan sisa hembusan kreteknya sambil tetap bersila di depanku. Banyak cerita yang kita bisa dapati dalam suasana pertemuan akrab ini. Ada penyesalan, kesedihan dan pengharapan pengharapan positif yang beliau berdua berikan dan tunjukan. Seperti juga alur kata kataku dalam bersikap dewasa menyikapi perjalanan kisahku dengan anaknya. Pembicaraan dewasa antar manusia dewasa yang sudah banyak melihat dan merasakan pengalaman hidup. Didepan mereka juga aku utarakan betapa hatiku masih mengharapkan kesempatan kedua dari anaknya untuk nemu gelang dan menyatu dalam ikatan suci perkawinan. Beliau berdua sepenuhnya mengerti dan memahami keadaan hatiku.
Senja akan segera menyambut, sebelum berbalik dan berpamitan pulang, ajik menitipkan sekilo salak gula pasir dan papaya di bagasi dan mengikat lima durian terbaik diantara roda belakang di suspensi mobil. Untuk nanti aku berikan ke Desak Putu Sri di rumah kontrakannya dimana dia dan kekasihnya kini tinggal bersama. Aku menyikapi dewasa permintaan ini dan berjanji akan menyerahkan langsung ke anaknya, walau jujur tanpa melihat diapun dada ini selalu bergemuruh memikirkannya. Dan kini aku diminta membawa ttipan ini langsung ke rumahnya. Tapi itulah pengharapan dewasa. Durian ini pernah kita nikmati bersama sama setahun yang lalu di desa sejuk ini, dan kini durian ini akan dia nikmati bersama kekasihnya di sana dan aku tahu dia pastilah tak membekaskan diriku di ingatannya.
Berkendara pulang selama dua jam perjalanan, ketika sinyal radio bisa kudapatkan lagi, lagu mandarin hao xiang hao xiang milik Vicky Zhao kembali terdengar. Entah kebetulan atau memang jalannya seperti itu, lagu ini memenami beberapa kilometer perjalananku kembali ke Denpasar. Dan aku berharap bisa segera bertemu Desak Putu Sri untuk kuserahkan salak gula pasir dan papaya titipan ajiknya di kampung dan juga berharap agar ikatan tali durian di belakang mobil tidak kendor dan terputus dan kelima durian hasil panen ini bisa tiba dengan selamat di tangan perempuan bernama Desak Putu Sri, perempuan hebat yang telah mengambil separuh sisa hatiku.
Denpasar telah diselimuti malam ketika aku memasukan mobil kepelataran parkir rumah kontrakanku. Aku tengok kebelakang mobil, lima buah durian kokoh masih bergelayutan disana. Seakan ada bisikan diantara semerbak harum baunya, masih ada harapan untuk berbahagia asal kita mau berusaha dan menanti sebuah keajaiban kecil. Desak putu Sri, cintaku masih terikat kepadamu.
Denpasar 23 Agustus 2017 D E S T O
Cerpen Karangan: Desto Blog / Facebook: Suana beto