Malam ini masih dalam jam dan suasana yang sama. Aku duduk dan lagi lagi kembali duduk di balkon rumahku, dengan ditemani secangkir kopi hangat berkaramel, seperangkat alat tulis, semangkuk kerupuk, dan.. Hujan.
Sebenarnya, aku sendiri bingung, mau darimana menulisnya. Aku buntu bagaimana merangkainya, agar apa yang aku tulis ini bisa dimengerti. Bahkan diterima tanpa menyuruh orang lain bertanya apa maksudnya.
Ini mungkin bukan kali pertamanya buatku. Tapi hatiku bilang, ini akan beda. Aku yakin apa yang aku lakukan ini adalah benar. Aku percaya, apa yang kutulis ini pantas. Dan layak kulanjutkan.
Iya! Aku pasti bisa! Aku harus BISA! Tinggal kuselesaikan ini, lalu akan kudapatkan ia di sini Denganku. Dan, nggak akan kubiarkan lari.
Jakarta, 28 September 2017
—
Ya, siapa lagi kalau bukan dia? Gadis mungil yang sudah beberapa tahun ini menyita waktuku hingga tak bersisa. Merampas habis otakku, sampai kadang tak bisa memikirkan hal yang lain lagi selain tentangnya.
Namanya: Rea. Panjangnya, Reeeaaaaa….. dan titik-titiknya aku nggak tahu.
Sampai detik ini aku belum bisa memastikan, apakah aku ini gila atau memang tidak waras karena terlalu sering memikirkannya. Bisa saja aku hanya kesal karena dia sudah membuatku putus asa. Atau mungkin, bisa saja aku ini saking bencinya dengan dia, sampai-sampai bayangan dia selalu ada dan terus menerus ada.
Semua itu bisa saja. Nggak melulu tentang suka, kan? Kenapa begitu? Karena menurutku dia itu jahat. Kejam. Pembohong. Nggak punya hati. Dan aku… Ah, sudahlah. Aku benci dia.
Kamu tahu? kemarin malam adalah tepat dua tahun lamanya aku menyimpannya. dan kemarin malam juga adalah kali pertamaku kembali bertemu dengannya, di sebuah kedai kopi di Jakarta. Namanya Kedai Filosofi Kopi Jakarta.
Aku hampir tak percaya kalau itu benar-benar dia. Aku sama sekali nggak pernah meminta pada Tuhan untuk aku kembali dipertemukan dengannya. Aku hanya bisa melongo nggak jelas menatapnya. Berulang kali aku mencubit-cubit lenganku sendiri, untuk memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Menyadari hal itu, akupun segera bangun dari tampang bengong nggak jelasku itu.
Dia masih sama. Masih semanis dulu. Nggak berubah. Justru… Ah, kenapa aku ini?
“Yan?” Rea melambai-lambaikan tangan kanannya di depanku. Menghancurkan gelembung-gelembung di otakku. “Hey?” Sapanya melempar senyum maut yang per-detik ini belum bisa kulupa. Apa dia masih mengingatku?
“Boleh ikutan duduk?” Rea kembali mengajakku berbicara. Entah mengapa seketika itu aku menjadi mendadak bisu di depannya. Aku heran, kenapa dia terlihat sangat bahagia, ya? “Oh, masih suka makan kerupuk sama churros, ya?” Ucap Rea melirik snack yang ada di hadapanku. Sesaat aku hanya bisa nyengir kuda saja di depannya. Tanpa kusadari, ternyata dia masih mengingat kebiasaanku saat dulu.
Apa dia juga… Hem… Riyan, cukup! Anggap saja kemarin malam itu hanya khayalanmu. Hanya mimpimu.
Tahu kenapa ini kubilang kemarin malam? Iya, kemarin. Karena malam ini aku sudah kembali duduk di balkon rumahku, dengan ditemani secangkir kopi hangat berkaramel, seperangkat alat tulis, dan semangkuk kerupuk udang favoritku. Malam ini sedikit beda. Malam ini ada dia. Ada tawa dan suara renyahnya saat aku pejamkan mata.. Dan malam ini… Aku masih tetap menyimpannya. Menulisnya. Tanpa hujan..
Cerita tentangnya tetap kugoreskan di sini. Di mana-pun aku mau melampiaskannya.
Jakarta, 30 September 2017
—
Sejak pertemuan itu, aku jadi sering nongkrong di kedai itu kalau malam. Sengaja kulakukan itu, berharap Rea juga akan ke sana dan kembali duduk berbincang denganku. Malam itu aku datang satu jam lebih awal dari sebelumnya. Harapannya: Nanti, kalau Rea datang, aku paling tidak sudah sedikit lebih siap berbincang dengannya.
Affogato Orgasm dan Churros pesananku sudah datang. Tinggal Rea saja yang belum datang. Sambil menunggu, sesekali aku menyapukan pandanganku ke sekeliling ruangan. Sepi. Dan karena itu, aku bisa memanfaatkannya untuk latihan ngobrol dengan Rea terlebih dahulu. Iya. Aku mengibaratkan kopi affogato-ku ini sebagai Rea. Kuajak dia ngobrol layaknya manusia. Bahkan sesekali kuajak ia (kopi) tertawa. Aku sadar, mbak-mbak waiters itu pasti sedang menertawakanku. Aku juga sadar, mas-mas barista itu geleng-geleng kepala pasti karena melihat tingkahku. Dan akupun sadar, kalau wanit…
Eh? Lhoh? Aku mengerjap-ngerjapkan mataku berkali-kali. Itu, kan, Re….a?!
Sumpah! Aku malu banget. AKu bingung mau menaruh mukaku ini di mana lagi. Aku yakin, pasti dia juga sedang menertawakanku. Ya, Tuhan. Aku cuma bisa nyinyir pasrah sembari menggigit bibirku rapat-rapat. Lagian, kamu, kapan datangnya, coba? HIH!
“Ha ha ha ha…” Rea masih terus tertawa sambil duduk di depanku. Semeja denganku. Bahkan tanpa kuminta atau meminta izin padaku dulu. 🙂 “Mbak,” Rea mengangkat tangan kanannya ke udara, ke arah pelayan kedai itu. “Macchiato Latte sama Pancake, ya” pintanya kemudian, lalu menoleh, memalingkan wajahnya ke depan. Ke arahku. “Ha ha ha..” tawanya lagi saat melihatku yang masih nyinyir kunti nggak jelas.
Entahlah, tiba-tiba rasanya aku pingin sekali ke kamar mandi saat itu. Meski nggak tahu mau ngapain, tapi paling tidak, wajah begoku ini nggak nampak di depan Rea.
“Re/Yan..?” Ucap kami bersamaan. Membuatku malu, kaku, dan garuk-garuk kepala yang nggak gatal sebenarnya. “Kamu duluan..” kami kembali bersamaan. Dan sekarang lihatlah.. wajahku sudah semakin merona. “Ya udah…” ucap kami lagi lagi masih bersamaan. Tapi kali ini kami berdua tertawa dan terlihat salah tingkah sendiri. Terutama: Ya, AKU!
Tapi dia memang seperti itu. Pandai memecah suasana. Pandai membuatku nyaman ketika ngobrol dengannya. Apapun topiknya, tapi kalau sudah sama dia, rasanya memang beda. Biasa jadi nggak biasa. Dia itu… Sederhana. Dia adalah wanita yang identik sekali dengan tawa.
Rea Syifaira.
—
Sepulangku dari kedai itu, ada yang berubah. Aku jadi suka nyanyi-nyanyi nggak jelas. Jingkrak-jingkrak ala kuda sembrani. Ketawa-ketiwi di mana-mana. Wah, pokoknya beda. Ringaaaaaaaan bener rasanya. Seperti sama sekali nggak ada beban. Begitu juga saat aku rebahan di kamar. Pandanganku rasanya nggak bisa lepas dari langit-langit kamar sambil senyum-senyum sendiri. Sebenarnya nggak ada apa-apanya di atas sana. Tapi entahlah, agaknya aku memang sedang belajar gila.
Ponselku berdering. Dan saat itulah aku berdecak kesal sekali. Orang lagi asyik juga, malah bunyi. “Halo,” angkatku malas. “Riyan, ya?” jawab seseorang dari sebrang yang memang sangat kukenali suaranya. Ini Rea. Sumpah! aku langsung bangkit dari tempat tidurku, lalu jalan mondar mandi di tepi kasur, dan sesekali kembali duduk, lalu berdiri lagi. “Kok, belum tidur?” tanya Rea lagi. “E, belum, Re. Bentar lagi.” “Yaudah, cuma mau mastiin aja, kok, Yan. Nomor kamu yang ini masih kamu pake atau enggak. Don’t forget to eat your crackers, ya, Yan? ha ha ha…” Rea tertawa, Tawanya, itu, khas. Enak. Adem mendengarnya.
Sebenarnya, aku pengen banget nanya, Kenapa Rea belum tidur? Rea lagi apa? Pengen juga jawab kalau aku pasti tetap makan kerupuk, kalau aku asti nggak akan ganti nomor. Takut kalau suatu saat kamu menghubungiku, dan aku malah udah ganti nomor. Tapi yang keluar dari mulutku adalah: “He he he he, iya” Leherku berasa ada yang mencekik. Sampai-sampai keinginanku cuma bisa tergantikan dengan itu. Sedih banget waktu dia ingin menyudahi percakapan via telepon denganku. Tapi gimanapun juga, aku harus bisa bilang nggak pa-pa, kan?
Ah, Rea. Aku mau kamu.
—
Semakin hari, hubunganku dengan Rea jadi semakin dekat. Kami sering ketemuan di Kedai FK (Filosofi Kopi). Sering juga janjian untuk makan siang bareng. Kalau malam sering nelepon sampai dia atau aku benar-benar ngantuk dan memag harus mengucapkan selamat tidur untuk masing-masing. Bahkan pernah aku sampai ketiduran waktu malam teleponan sama dia. Dan dari cara dia meresponku, aku yakin, dia juga memiliki perasaan yang sama dengan apa yang kurasa.
Rasanya benar-benar nggak bisa disangka, kalau hal seperti ini akan terulang lagi. Aku pikir, Rea nggak akan balik ke Jakarta lagi. Aku pikir, Rea akan tetap terus tinggal di Jogja. Melupakanku. Menghapus semua tentang aku dan dia di sini dulu.
Dulu, aku sama Rea memang sudah dekat. Waktu itu, Rea masih kuliah di Jakarta. Aku kenal dia waktu dia kecopetan di jalan, dan kebetulan aku berhasil menolongnya. Akhirnya, kami jadi saling tukar nomor telepon. Saat itu, lama-lama aku makin akrab dengannya. Aku juga pernah mengantarnya pulang ke kontrakan dia.
Dulu, orangtuanya tinggal di sini. Tapi karena tugas ayahnya dipindah ke Jogja, mengharuskan Rea juga harus ikutan pindah.
Keluarga Rea baik. Hangat. Dan gaul. Waktu aku ke rumahnya, aku pasti selalu dibuatkan minum dengan dihidangkan setoples cemilan kerupuk udang. Dan itu selalu, setiap aku datang ke rumahnya. Sampai akhirnya, lama-lama aku menyukai makanan ringan bernama kerupuk itu tanpa syarat. Nggak melulu kerupuk udang. Pokoknya semua jenis kerupuk aku suka.
Menurutku, kerupuk itu.. sama dengan Rea. Renyah, dan mengenyangkan. Dengan memakannya, aku merasa Rea selalu denganku ke mana-mana. Aku selalu merasa tenang kalau dia (kerupuk) menemaniku.
Sebelum Rea pindah, kami memang sempat bertemu. Rea mendo’akan agar Bandku sukses. Dan bisa dikenal khalayak banyak. Rea juga bilang: Aku pasti bisa menjadi penulis yang hebat, nanti, katanya akan ada sutradara hebat yang akan menyukai karya-karyaku. Itulah mengapa, sampai detik ini aku masih sesemangat ini melanjutkan tulisan-tulisanku.
Tapi.. Aku kecewa dengannya. Dia ingkar dengan janjinya. Dia bilang dia nggak akan berubah meskipun dia sudah di Jogja nanti. Dia akan tetap menghubungiku sepadat apapun agendanya tiap hari. Dia akan meneleponku saat dia benar-benar luang. Aku percaya. Dan aku menunggunya. Terus menunggu sampai hari berubah menjadi minggu. Minggu berubah menjadi bulan. Bahkan kini berganti tahun kemudian. Hampir aku putus asa. Selain nomor telepon Rea, aku sama sekali tak punya kontaknya. Sebelumnya, aku juga tak meminta apa nama akun facebooknya atau akun sosial media lain yang ia punya. Pernah aku mencari-cari di facebook, kumasukan nama dia di sana. Tapi hasilnya selalu nihil. Yang ada hanya nama-nama orang yang memang agak mirip dengannya. Nggak mungkin, kan, kalau dia nggak punya akun media sosial?
Ujungnya, aku cuma bisa pasrah, dan berharap dia akan kembali ke Jakarta. Ternyata Tuhan memang mendengar do’aku. DIA mengabulkannya saat aku bahkan hampir lupa dengan harapan itu. DIA memang hebat. Sungguh luar biasa. Dan sejak pertemuan itu, aku berjanji dengan diriku sendiri. Kali ini, aku nggak akan membiarkannya pergi.
Zrruupcchts… Kembali kuseduh secangkir kopi hangat berkaramelku dengan nikmat. Seperti yang biasa kulakukan. Aku duduk di balkon rumahku dengan ditemani secangkir kopi hangat berkaramel, seperangkat alat tulis, semangkuk kerupuk, dan setetes dua tetes sisa air hujan tadi sore.
Rea… Aku rindu kau tertawa..
—
Satu harian ini aku nggak ada komunikasi dengan Rea. Padahal semalam kami masih berbincang-bincang di kedai ini. Apa dia sakit? Atau mungkin aku ada salah sama dia kemarin? Tapi, kok, dia nggak ngomong? Telepon nggak, ya? Tapi, nggak aja, deh. Siapa tahu, dia memang sedang menyelesaikan urusannya di Jakarta ini. Eh, urusan? Urusan apa, ya? Tuh, kan. Bahkan aku sampai lupa menanyakan hal itu. Kenapa aku nggak nanya apa tujuan dia datang ke Jakarta sebelumnya, coba? Bodoh! Ah, sudahlah.
“Mbak, Cappuccino Coffe Latte sama Churrosnya, ya,” pesanku sama pelayan kedai. Aku duduk di meja favoritku. Ruangan itu benar-benar dingin. Bukan karena AC yang memang dipasang di mana-mana. Tapi karena di dalam kedai itu bernuansa taman. Hijau, sejuk, dan suara gemericik air kolam kecil di tengah taman itu membuatku semakin nyaman di tempat ini. Hanya saja, malam ini aku nggak berharap lebih agar Rea cepat datang. Di luar, hujan turun begitu lebat. Boro-boro perjalanan ke sini, mungkin Rea sendiri malah sudah tidur.
Pesananku-pun datang, bersamaan dengan datangnya sepasang kekasih yang nampaknya datang ke situ hanya untuk mampir, menunggu hujannya reda. Gadis itu mengusap-usap baju dan celananya yang memang sedikit basah. Dan si cowok menelungkupkan jaket kulitnya ke tubuh mungil si gadis.
Kagetnya aku, ketika kusadari kalau gadis itu adalah Rea. Lalu siapa laki-laki yang kini merangkulnya mesra itu? Pacarnya? Teman? Atau Abangnya? Kenapa aku baru menyadarinya? Apa karena ini, Rea kembali ke Jakarta? Ini alasan dia datang? Tapi kenapa? Kenapa harus dipertemukan denganku dulu? Kenapa aku harus melihat ini? Tuhan.. Sumpah, sakit banget sekarang rasanya. Aku udah mirip seperti ikan yang keluar dari habitat awalnya. Nggak bisa bergerak sama sekali. Semua bagian tubuhku serasa mati. Lemas menyaksikan ini. Aku hanya bengong, bengong, dan tak berkedip membiarkan Rea dan cowok itu bergandengan manja melintasi meja tempat dudukku. Sebentar kudapati Rea menatap ke arahku saat aku juga menatapnya. Kali ini aku tak melihat senyumnya. Dan, PLIS! Jangan pernah lagi pertemukan aku dengan senyumnya.
Cukup! Sudah cukup semua ini! Sebaiknya memang aku segera harus angkat kaki dari kedai ini. Toh, nggak ada lagi yang harus kutunggu di sini. Dasar nggak punya hati. AAAAARRRRGGGHHH!
Entahlah. Rasanya aku benar-benar marah kali ini. Aku nggak terima diperlakukan seperti ini. Meski ini bukan hakku, tapi setidaknya aku ini bukan boneka yang gunanya hanya untuk dimainkan. Bukan bola, yang harus digiring baik-baik, lalu ditendang selenting yang ia suka. Aku behak tertawa. Aku pantas tertawa. Bukan dilempar seperti sampah yang tak berguna.
HAH! Tapi begiitulah harinya. Hari di mana sebenarnya aku memang seharusnya tidak menjadi seorang yang gegabah. Tidak terlalu berambisi untuk memiliki apapun. Aku harusnya berpikir luas tentang kenapa Tuhan kembali mempertemukan aku dengan segala harapan-harapanku dulu.
Aku tahu, aku bukan seorang yang sempurna. Tapi setidaknya, aku sekarang bersyukur diberi hati sesempurna ini. Ha ha.. Kadang lucu memang. Tapi, ya, sudahlah. Toh, aku nggak perlu lagi memikirkannya terlalu dalam. Untuk apa? Bunuh diri ke lubang yang sama? Maaf! Aku bukan lagi orang yang bodoh macam itu.
Sekarang, aku hanya bisa percaya. Aku yakin, suatu saat Rea pasti akan membutuhkanku lagi. Aku yakin, suatu saat Rea pasti akan menghubungiku lagi. Ya, sekalipun aku ini konotasinya hanya dicari saat dibutuhkan, tapi aku senang. Artinya aku ini hebat. Jangan salah, Super Hero itu selalu diharapkan datang saat orang-orang sedang butuh pertolongan, kan? Iyalah. Dan aku, ya, menurutku seperti itu.
Biar saja dia melakukannya. Yang pasti, kalau ini terulang, aku sudah tahu bagaimana cara menyikapinya.
Sekali lagi terimakasih, ya, Rea. Kerupuk dan lukaku nggak akan kulupa.
Dariku: Riyan Abbasyi Aathif
Cerpen Karangan: Anna Safitri Blog: kumpulankaryapena.blogspot.co.id Facebook : Anna Shafitriy IG: @anna_safhitriy