“Hey, kamu ga pulang?” katanya. “Iya ayahku sedang di jalan” jawabku singkat.
Dia Elena teman sekelasku yang sejak tadi mengamatiku. Sudah seminggu lebih kami kenal dan entah mengapa aku teramat susah membiasakan diri dengan orang-orang sekelasku. Ah aku tak peduli apapun yang di pikirkan mereka tentangku.
Seseorang di kelasku yang selalu menjadi pusat perhatian yah mungkin karena dia aktif dan pintar. Dia lelaki sawo matang dengan semua pengetahuan di otaknya membuatnya biasa disapa dengan sebutan kakak. Aku tak pernah bicara langsung bahkan akrab dengannya, hingga suatu keadaan memaksaku harus bicara padanya. Iya ini adalah suatu hal tentang kegiatan yang akan dilaksanakan di kampus beberapa hari lagi dan mengharuskan bibir ini untuk menyapanya.
“Kak, masih ada sisa tiket untukku?” Tanyaku. “Iya ini hanya tersisa dua saja” katanya dengan wajah datar tanpa tatapan.
Setelah kejadian itu aku yakin sekali betapa terkutuknya lelaki sombong itu karena keunggulannya dari teman-teman yang lain. Dan semoga itu yang terakhir bagiku berdialog dengannya.
Dua minggu, tiga minggu berlalu aku mulai membiasakan diri dengan teman-teman di kelas beserta keanehannya masing-masing. Yah mungkin mereka juga menilaiku sebaliknya.
“Besok dan dua hari ke depan kampus diliburkan karena akan ada MOU dengan perusahaan luar negeri” lelaki terkutuk yang hari ini berubah menjadi menyenangkan karena informasinya. Belum selesai hati ini menikmati kabar bahagia itu tepat di belakangku Elena menyambut ucapannya, “Piknik dong sekelas, hari keakraban gitu” sontak dengan jelas teman sekelas mendukung tetapi sebenarnya tidak hatiku.
Oh Tuhan, rasanya aku ingin memenjarakan diri di kamar saja menghapus penat seharian bekerja. Seandainya ujaran itu tidak kau keluarkan Elena mungkin kau menjadi daftar teman baik dalam hidupku. Rasanya ingin kuskip perkataanmu saat itu Elena. Dan keributan kelas saat itu membuahkan satu tempat piknik yang akan dituju iya Kalibiru namanya yang lumayan terkenal sekarang ini. Dan perjalanan itu akan dimulai besok jam 7.00 pagi dengan bus pariwisata yang akan menunggu di area kampus.
Kami sampai, melakukan kegiatan dan games, hingga akhirnya kelelahan dan kembali ke area kampus. Tak ada yang menarik disana hanya orang-orang yang sama dengan tempat dan suasana yang berbeda. Hanya ada satu kejadian yang membuatku sulit melupakannya dan tentang hati yang bergemuruh di dada ini. Ketika itu aku akan mendapat giliran bermain flying fox jelas saja aku yang takut ketinggian mencemaskan keadaanku di atas sana. Dan aku tak pernah berpikir sebelumnya lelaki menyebalkan itu menggapai bahuku “Tak apa hanya permainan, semua safety juga tak perlu dicemaskan” katanya di telingaku. Menghela napas dalam dan ini saatnya aku menyembunyikan ketakutanku di hadapan mereka.
Semua tak seburuk yang ada di otakku, atau mungkin sentuhan tangan itu di bahuku yang merubah semua ketakutanku, ah semua itu membuatku bingung. Bergegas pulang lalu merebahkan tubuh bersama boneka kesayangan di kasurku itu lebih membuatku tenang dibanding ucapannya itu. Kupikir sejak obat penenang itu keluar dari ucapannya aku merasa pikiranku tentang kesombongannya salah.
Dari kejadian itu aku mulai membuka diri untuk memulai hubungan baik dengannya. Kalau saja boleh aku mengutarakan kebenarannya dia adalah sosok lelaki manis dengan pertanyaan-pertanyaan kritis jika di kelas dan sudah menjadi ciri khas. Benarkah kami sekelas? Bahkan nomor handphonenya saja aku tak punya. Hal yang bodoh sementara dialah komisaris kelasku. Tetap saja hatiku tak menghiraukan hal itu tetapi ada getaran hati yang menimbulkan pertanyaan saat tangan dan ucapan itu menenangkanku. Oh Tuhan apa ini, apakah aku jatuh hati atau hanya perasaan suka yang sekejap akan sirna? Aku tak tahu siapa yang akan menjawab kebingunganku ini. Pojok kiri kursi paling akhir adalah tempatnya sedangkan aku yang berada dua kursi di depannya membuatku sulit mengamatinya. Sungguh tak adil bahkan sedikitpun aku tak tahu tentangnya, dan hal yang seperti ini tidak memungkinkanku untuk memulai pembicaraan dengannya.
Sampai akhirnya dia menawarkan sesuatu padaku dan hal itu membuatku mulai berbicara padanya melalui sms. Aku juga sedang membutuhkan laptop itu karena laptopku yang sekarang sudah kutemurunkan pada adikku. Hingga suatu waktu aku harus ikut bersamanya mengambil laptop itu ke rumah temannya. Cepat saja aku menurutinya, mungkin hal ini yang menjadi jembatan keakraban kami sekarang. Seiring waktu kami makin terbiasa dengan kebersamaan entah bagaimana teman sekelasku menanggapi hal itu aku tak peduli. Seakan aku menemukan sesuatu yang berharga dengan adanya lelaki ini di kelas. Terlebih lagi tentang pernyataanku yang salah padanya, dia benar pintar dia juga layak disapa kakak dengan caranya mengayomi semua teman-teman di kelas.
Mungkin hanya beberapa kali aku pulang ke rumah dijemput ayah atau adikku, sisanya aku diantar pulang olehnya. Tak jarang kami singgahi warung yang menjajakan makanan karena itu salah satu hobiku. Sekalipun nama makanan tersebut aneh di telingaku. Dan aku tak pernah menanyakan apa dia juga sama sepertiku setidaknya kehadiran dirinya pun sudah cukup membuatku lahap. Ada satu hal yang kutahu dia tak pernah berteman baik dengan rasa pedas atau mungkin mereka tak pernah saling sapa. Entah kebencian apa yang ada di kepalanya hingga membuatnya seperti itu.
Sampai akhirnya dia pernah mencoba mengutarakan perasaannya padaku. Entah apa yang terjadi malam itu hingga hal ini bisa terjadi. Rasanya pelangi terindah hari ini akan menghampiri hatiku. Di pojok warung bakso dengan dua kursi dan sebuah meja dia menyatakannya. “Apa mungkin jika aku mengatakan hal ini kau akan percaya?” Katanya pelan. “Hmm… apa? Maksudnya?” Aku kebingungan dengan wajah memerah yang menandakan sebenarnya aku tahu apa yang akan terjadi. “Iya, bila kamu belum merasakannya aku tak masalah setidaknya aku lega dengan pernyataanku ini. Apa boleh aku menjadi kekasihmu?” dengan tatapan penasaran itu dia menatap wajahku. Aku tak pernah mendapat pertanyaan sesulit ini sebelumnya entah apa yang harus kujawab aku pun masih bimbang dengan satu alasan kami adalah teman sekelas di kampus. Apa mungkin aku kuat menahan gemetar berkali-kali setiap aku bertemu dengannya nanti, tentu saja tidak ya tuhan.
Segala cara kulakukan agar pembicaraan itu beranjak pergi, entah harus apalagi yang aku jawab nanti ketika dia bertanya lagi. Satu hal yang sangat aku takutkan jika aku menerimanya adalah ketika semua tak berjalan mulus dan harus berakhir. Bagaimana mungkin semua akan berjalan normal seperti sebelum kedekatan kami dimulai. Tak akan terjadi semua itu pikirku, kubiarkan saja hubungan tanpa ikatan ini berjalan dan berakhir sesuai takdirnya. Semoga saja tak ada hal buruk terjadi.
Aku beranjak menuju motor di parkiran warung itu berharap dia mengerti aku tak ingin menjawab pertanyaan itu. Dengan sedikit murung dia menyusulku, jujur ini getar yang tak pernah kurasa sebelumnya aku merasa bersalah karena tak menjawab ataupun memberikan isyarat apapun padanya. Sudahlah aku tak peduli, hanya saja dia harus tahu semua diam ini adalah jawaban terbaik untuk kami.
“Aku balik sekarang ya ada hal penting” ujarnya saat itu tepat di bawah pohon mangga yang ada di depan rumahku. Apa yang penting selain aku? Tanyaku berharap bukan seorang bidadari yang sedang berusaha merebutnya dariku. Apakah dia marah? Otakku berpikir keras menerka-nerka tentang sikapnya yang sedari tadi mendiamkanku di atas motor. “Baiklah, hati-hati” jawabku lesu. Semoga tak ada badai datang dalam jalinan ini. Apakah aku yang salah atau memang benar dia menjauhiku? Aku tak tahu, rasanya badai itu semakin dekat.
Entah mana awal pembicaraan yang salah hingga kedekatan ini berubah menjadi ikatan kakak adik, semenjak itu tak jarang dia menceritakan seorang wanita lain di hidupnya yang telah hadir sejak dia SMA rasanya ribuan paku datang menghujam seluruh hatiku. Mengapa kau sekejam ini sekarang, apakah pertanyaanmu yang tak mendapatkan jawaban dariku telah mengubahmu? Ingin saja kucampakan pertanyaan itu ke hadapannya. “Wah hebat, kalau begitu bagus dong kalian sama-sama berkarir” kalimatku padanya berusaha menutupi kesedihanku. “Dan rasanya kakak ingin saja melamar gadis itu secepatnya” jawabnya santai tanpa memikirkan luluh lantah dalam hatiku. Badai itu benar-benar datang oh tuhan bagaimana ini? Apa bisa? Apa aku sekuat itu untuk menghadapi ini semua? Mungkin bisa. Semua berlalu begitu cepat, senyuman penyemangat, nyanyian pengantar tidur, pelangi musim kemarauku semua sirna. Apa yang tertinggal Div? Hahaha hanya sejuta mimpi yang sengaja kukubur dalam lubang kehancuran. Apa kau tahu hal paling kupertayakan hari ini, apa mungkin jika aku mengiyakan pertanyaanya itu hal ini tidak akan terjadi.
Dia yang kupikir adalah satu cahaya di kelamnya malam atau bahkan tabung oksigen ketika diri jatuh terkapar. Ah ternyata semua hanya secerca harap dari sejuta luka yang kuterima hari ini. Kami semakin jauh sejak itu dan ketika kami telah menyelesaikan perkuliahan. Sesak di dalam dadaku rasanya belum hilang padahal hampir dua tahun aku sudah meninggalkan bangku perkuliahan. Diri ini seolah tahu apa penyebab hatiku tak dapat memulai lagi dengan yang baru tapi otakku tak dapat berpikir apa sebenarnya yang aku butuhkan. Mungkin aku hanya ingin bertemu, aku ingin bertemu sekali saja meluapkan perasaanku yang kala itu membalas cintanya walau tak kuungkap di hadapannya. Iya aku salah, aku salah karena hanya memendam. Tapi tak bisakah kau hadirkan udara temu penolong rindu ini, sungguh aku sangat rindu. Aku rindu suapan tatapan lembut itu, aku rindu dialog ringan penuh cinta dari bibir itu, aku rindu buaian harapan penuh emosi dari wajah itu.
Rindu ini melebur sesaat mataku akan terpejam. Kesunyian malam semakin membawaku jatuh di dalam gubuk rindu itu. Bukankah gampang permintaanku atas temu itu, iya hanya saja kau telah menutup pintu temu itu dan merajut kasih dengan benang kebahagiaan bersama wanitamu. Sungguh perasaan yang menyebalkan tak pernah berhenti merindu sedangkan diriku berniat menghapusnya pun tak mampu. Aku mengutukmu kali ini begitu tega kau tinggal ribuan rindu yang kau tanam bersama kepedihan. Sekiranya kau dapat merasakan betapa sangat kubutuhkan temu itu untuk menyenangkan rindu ini, walau hanya sedetik mungkin rinduku tak akan serewel ini.
Cerpen Karangan: Rizki Maulida Blog / Facebook: Rizki Maulidha Mahasiswi di Univ. Potensi Utama Medan Kelahiran Medan, 20 juli 1997