13 Januari 2007 Hana, minggu ini aku akan pulang, seperti yang engkau harapkan. Aku akan menemuimu, mencurahkan kerinduan yang selama ini kupendam. Namun, janganlah kau terlalu berharap banyak padaku. Aku tak ingin kepulanganku ini membuatmu semakin kecewa. Meski nyatanya sekarang aku sudah sering membuatmu tersakiti. Pertemuan kita kali ini, aku harap menjadi pertemuan yang paling berkesan. Aku ingatkan lagi, jangan terlalu banyak berharap padaku. Kau mungkin bingung dengan surat yang kutulis ini. Tapi aku tak ingin menyampaikannya sekarang. Kau harus menemukan seseorang yang membuatmu lebih bahagia dibandingkan denganku.
Tertanda Robi Nugraha
Hana tertegun membaca surat yang ia terima dari kekasihnya, Robi. Isi dari surat itu membuat keningnya berkerut. Setelah banyak surat yang ia kirim pada Robi, baru kali ini Robi membalasnya. Dan memberitahu bahwa dia akan pulang menemuinya minggu ini.
Hal itu membuat Hana senang bukan main. Pekerjaan Robi yang mengharuskan dia berpisah pulau dengan Hana membuat kerinduan semakin mendalam.
Apalagi surat yang Hana kirim tak pernah Robi balas satu pun. Sempat tersirat di pikiran Hana jika Robi tak lagi mengingatnya dan melupakannya. Tapi, kecintaannya pada Robi mengalahkan semua pikiran buruk Hana. Sampai saat ini Robi mengirimkan sebuah surat yang membuat Hana berjingkrak senang di kamarnya.
“Enam hari mulai dari sekarang, waktu-waktu yang sangat berharga saat aku menunggu kepulanganmu.”
Hana mendekap surat yang ia dapat dari Robi. Memejamkan matanya, berharap Robi menemuinya dalam mimpi sebelum bertemu dengannya langsung.
19 Januari 2007 Hana memacu mobilnya menuju pelabuhan di daerah Jakarta. Bibirnya menyunggingkan senyuman manis, membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona.
Mobilnya memasuki kawasan parkir pelabuhan tersebut. Hana memarkirkan mobilnya disana. Wanita itu keluar dari dalam mobil dan melangkahkan kakinya memasuki pelabuhan. Kaki jenjangnya berjalan menapaki jalan yang membawanya kembali mengingat kenangan dimana Hana mengantarkan Robi untuk menunaikan tugasnya. Mata bulatnya menjelajahi seluruh area pelabuhan. Sore ini angin berhembus sedikit kencang. Membuat beberapa helai rambut Hana terbang menerpa wajah cantiknya.
Hana duduk di kursi yang langsung menghadap ke laut. Dilihatnya jam pada pergelangan tangannya. Pukul setengah lima sore, Robi masih belum menampakkan batang hidungnya.
Hari ini, tepat seminggu setelah Robi mengirimkan surat padanya dan mengatakan bahwa ia akan pulang menemui Hana. Waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Hana.
Dialihkan pandangannya ke arah selatan. Dari sana tampak seorang pria memakai kaos berwarna merah marun, celana jeans dan sebuah tas yang tersampir di pundaknya berjalan perlahan menghampiri tempat dimana Hana duduk. Hana beranjak dari duduknya. Matanya berkaca-kaca saat melihat pria yang dirindukannya datang dan menghampirinya. Robi berlari kecil menghampiri Hana. Kedua tangannya ia rentangkan, membawa Hana ke dalam pelukannya. Isak tangis terdengar dari mulut Hana.
“Kenapa baru sekarang?” “Maafkan aku Hana,” jawab Robi lirih.
Hana melepaskan pelukannya, menatap sendu pria di hadapannya. Robi menatapnya balik wanita yang kini dipeluknya. Menyalurkan kerinduan yang selama ini ia pendam. Seakan-akan dia tak akan melihatnya kembali.
“Aku merindukanmu, kenapa kau tak pernah membalas semua suratku?” “Maaf, selama ini aku selalu membuatmu menunggu dan harus berakhir kecewa. Namun, ada suatu hal yang membuatku melakukan ini semua.” Hana menatap Robi penuh tanda tanya. Dahinya berkerut, tidak mengerti dengan apa yang Robi ucapkan.
Robi yang mengerti itu membawa Hana duduk di bangku dan menggenggam erat tangan Hana. Rasa bersalah terpancar jelas di matanya.
“Aku harap, setelah ini kau tidak terus menangisiku. Kau harus menemukan seseorang yang lebih baik dariku. Seseorang yang pantas bersanding denganmu, dan membuatmu bahagia.”
Mendengar itu, air mata Hana kembali mengalir. Kalimat yang diucapkan oleh Robi terasa menyayat hatinya. Dia tidak mengerti maksud dari kalimat yang Robi lontarkan. Tapi, firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Robi melepaskan genggaman tangannya. Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Sebuah undangan pernikahan, diserahkannya undangan itu pada Hana. Bagai tersambar petir di siang bolong, seluruh tubuh Hana melemas seketika. Matanya memanas, bulir-bulir air siap turun kapanpun. Hana menutup mulutnya, isakan tangis lolos begitu saja beserta kucuran air mata.
“A-apa m-ma-maksudmu Rob?!” tanya Hana sedikit membentak. “Hana, ini sungguh diluar pikiranku. Ibuku yang menginginkan ini semua. Dia menjodohkanku dengan wanita pilihannya. Kau tahu, sejak awal hubungan kita memang tidak direstui.”
Robi mencoba menenangkan Hana dengan mendekapnya. Hana meronta, tapi tenaganya tak sebanding dengan Robi. Saat ini Hana terlalu lemah, kenyataan yang ia terima membuatnya merasakan sakit yang begitu dalam.
Direngkuhnya Hana ke dalam pelukan Robi. Mata pria itu pun memerah, bulir-bulir air mata terlihat menggenang disana. Robi mendongakkan wajahnya, menghalau tangis yang sewaktu waktu bisa pecah.
“Apa kau ti-tidak bisa berjuang untuk kita, se-sedikit lagi?” tanya Hana terbata. “Aku sudah katakan ini pada ibu, tapi dia kekeh dengan keputusannya. Sampai-sampai, urusan pernikahan pun dia yang menyiapkan semuanya. “Aku tak bisa membantahnya, Hana. Dia ibuku, aku tahu kau akan terluka dengan semua ini. Maka dari itu, aku tak pernah membalas satu pun surat darimu. Aku tak mau kau berharap terlalu jauh padaku, aku ingin kau membenciku. Tapi saat aku melihatmu sekarang, rasa itu sepertinya tak pernah habis barang sedikit pun.” “Bukannya aku tak cinta, Hana. Sungguh, aku mencintaimu. Tapi karena orangtuaku, aku melakukan ini semua.” “Hiks.. Hiks.. Jadi, selama ini penantian ku sia-sia saja?” Hana menatap mata Robi. “Kau bisa mendapatkan yang lebih dariku Hana. Aku yakin, suatu saat nanti kau akan menemukan seseorang itu. Jangan terus menangisi ini semua.” Robi mengusap air mata di pipi Hana.
Hana mendekap tubuh Robi. Robi membalasnya tak kalah erat. Tangannya mengusap lembut puncak kepala Hana. Ditangkupnya wajah wanita yang begitu disayanginya itu, Robi mendekatkan wajahnya pada Hana. Perlahan, Robi mengecup lembut kening Hana. Air mata Hana masih terus saja keluar tanpa henti. Robi kembali membawa Hana ke dalam pelukannya.
Senja di sore ini menjadi saksi, perpisahan dua insan yang saling mencintai. Angin laut membelai lembut mereka berdua. Pelukan ini menjadi pelukan terakhir bagi Robi dan Hana.
19 Januari 2009 Di bangku ini, dua tahun sudah aku mengenang itu. Pertemuan yang kau maksudkan akan sangat berkesan. Ya, itu sangat berkesan. Bahkan menorehkan bekas luka di hatiku yang masih terpahat sampai saat ini.
Kau bilang, akan ada seseorang yang akan menemuiku. Seseorang yang lebih baik darimu, yang akan membuatku bahagia. Namun, sampai saat ini aku tak menemukannya. Nyatanya, hanya namamu yang masih tersimpan rapi di hatiku.
Aku harap itu benar-benar terjadi, dimana aku menemukan penggantimu. Melupakanmu, dan menemukan kembali jalan hidupku yang baru.
Senja yang sama, tempat yang sama, pada tanggal yang sama, dan masih dengan perasaan yang sama.
Hana’s Diary
Cerpen Karangan: Siti Nuraeni Blog / Facebook: Siti Nuraeni Penulis amatir. Biasa menulis di wattpad.