Tidak ada yang sempurna dan abadi di dunia ini, baginya kata kata ‘Cinta Abadi’ hanya sebuah kata kata yang tak punya makna. Cinta yang dulu dibangun selama dua tahun runtuh layaknya bangunan sebuah gedung tinggi hancur karena gempa bumi dan tsunami yang begitu dasyat menguncangkan satu dunia.
Hubungan itu putus karena sebuah gunting tidak punya harga diri telah memutuskan hubungan antara lampu dengan saklar-nya dengan seenaknya. Di antara tangisan hujan yang cukup deras, si cantik itu berteduh di depan sebuah toko yang tutup bersama seorang laki laki yang tidak asing dihidupnya.
Tidak asing, sangat pekat, kental di dalam kepalanya.
Lanang terteguk melihat wanita yang merupakan cinta pertamanya setelah Mamanya. Rambut panjang dengan mata indah. Berdiri dengan jarak, tanpa dialog, tanpa tatapan hangat, dan tanpa senyum manis mendiskripsikan mereka.
Mereka yang mempunyai masa lalu indah sebelum meja hijau menjadi tempat akhir kisah dua tahun lalu dan tempat perpisahan. Perpisahan sebuah perjalanan asmara yang masih muda.
Seusai dua minggu keduanya berpisahan, anak dari Lanang dan Ayu meninggal dunia karena penyakit bawaan.
Lanang melihat ke arah Ayu, memastikan Ayu baik baik saja. Penyesalan masih terus menghantui Lanang beberapa bulan terakhir dengan masa lalu itu. Lanang merasa dia adalah manusia paling bodoh di dunia karena telah menyia-yiakan wanita sebaik Ayu.
Ingin sekali bibirnya mengucapkan kalimat cinta pada Ayu namun, Ayu tidak peduli padanya saat ini.
Melihat wajahnya saja enggan atau bahkan dia tidak mengganggap dirinya ada. Lanang bergerak melipat jarak antara dirinya dengan Ayu. Perlahan-lahan, Lanang mulai kembali menggenggam tangan wanita disampingnya.
Hatinya berdegup tidak karuan, Ayu sontok mengangkat kepalanya menatap Lanang yang tersenyum manis untuknya. Ah! Bukan! Mungkin untuk yang lain.
“Saya merindukan kamu, Ayu.” Dengan suara berat, Ayu berkata, “Tidak ada lagi kata rindu.”
Hati Lanang jelas teriris seperti wortel yang diiris untuk membuat sup namun, dia masih menggenggam tangan Ayu, tidak ingin melepaskan. Kedua tangan saling bertaut tidak bisa dipisahkan. Memang, mereka berdua berdiri sangat dekat, tapi rasanya sangat jauh. “Tapi, kamu bisa memaafkan saya?” “Sejak saya tahu kamu selingkuh, saya sudah memaafkan kamu. Tapi kesalahan kamu seperti air di laut, mau diberi gula berton-ton tidak akan bisa manis dan walaupun sudah lama kita berpisah, kesalahan kamu masih menempel di kepala saya.” jelas Ayu dengan suara lirih.
Lanang bisa merasakan Ayu yang melepaskan genggaman dan bergeser menjauhinya. Bodoh! Itulah kata yang terlintas di kepala Lanang tentang dirinya sendiri.
Memang, Lanang tidak punya hati. Ingin sekali waktu diputar agar Lanang tidak melakukan hal bodoh itu yang jelas jelas sangat merugikan. Kini dia tahu, maksud orangtuanya memberi nama ‘Lanang’. Agar Lanang bisa menjadi laki laki yang kuat, tanggungjawab, serta sejati untuk mencintai seorang perempuan. Melindunginya dibawah pelukan, membuangkan dan tidak mempedulikannya seperti sampah.
“Ayu,” “Saya minta maaf tapi cinta di hati saya masih ada untuk kamu.” “Saya tidak peduli,” ucap Ayu dingin. Air mata Ayu juga ikut-ikut seperti hujan tanpa diminta, tanpa diperintahkan seperti seorang Raja yang meminta kepada pelayan agar membawakannya makanan. Teringat lagi, lagi, dan lagi tentang Lanang.
Ayu ingat dengan makanan kesukaan Lanang, acara TV, atau bahkan sifat Lanang yang kadang ceroboh atau pelupa. Pelukan yang diberikan setiap pagi, kecupan di kening, senyum manis, dan perhatian kecil tidak bisa dihapus secara permanen dipikirannya. Daripada harus merasakan sakit hanya karena kembalinya makhluk masa lalu, Ayu memilih menerobos hujan, berlari meninggalkan Lanang.
Lanang kaget dengan Ayu yang berlari pergi menghilang dari pandangan. Kedua kaki Lanang bergerak mengejarnya. Sampai tidak jauh dari sana, Ayu jatuh tersengkur di trotoar. Membantunya berdiri dan membawanya dalam pelukan. Di bawah hujan, Lanang berteriak sekencang-kencangnya.
“Saya mencintai kamu, Ayu!” “Tidak ada lagi kata cinta.” kata Ayu dengan suara lemas.
Baik Lanang atau Ayu sama sama melepeskan pelukan namun kedua mata mereka tidak saling terlepas seperti elang yang mengincar mangsa. “Saya berjanji padamu Ayu, tak akan lagi saya mengulang kesalahan yang sama.” “Saya percaya sama kamu, Lanang. Tidak akan lagi kamu mengulangi kesalahan yang sama, tapi kalau kamu melakukan kesalahan yang berbeda bagaimana?”
Mulut Lanang membeku, tidak dapat dia ucap satu patah kata. Semua huruf, bahkan kata di kepala hilang dalam sekejam membawa bayangan. “Saya tahu, saya punya banyak kesalahan sama kamu, tapi di dalam hati saya masih ada cinta dan nama kamu,” “Seharusnya kita satu.” kata Lanang sedangkan Ayu masih kokoh dengan keputusannya untuk menutup hati kepada siapapun. Mau dia paling tampan atau paling kaya di bumi ini, Ayu tidak bisa membuka hatinya.
Perlahan hujan reda, langit yang semua mendung kembali cerah dan matahari juga siap untuk terbenam mengakhiri hari yang berat bagi kedua manusia ini. Langit senja menemani mereka. “Tidak ada lagi kata kita.” “Memang, kamu sudah bisa melupakan saya?” Ayu mengangguk, bohong! Ayu sama sekali tidak bisa melupakannya, mustahil.
“Menurutmu, cerita Ayu dan Lanang akan berakhir kapan?” tanya Lanang dengan suara berat. Ayu menarik nafas panjang, dengan suara lirih dan perasaan sedih serta air mata yang terus saja mengalir, wanita itu menjawab sambil jatuh ke pelukan Lanang. “Detik ini, cerita Ayu dan Lanang sudah SELESAI.”
Cerpen Karangan: Fibri Setiawati Blog: Fibrisetiawati.blogspot.com Fibri Setiawati, lahir 7 Februari 2008, tengah menjalankan pendidikan kelas 9 di SMP N 14 PURWOREJO, hobi menulis karangan fiksi dan membaca novel, memiliki cita-cita menjadi penulis.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com