Tak ada yang lebih pasrah di dunia ini Kecuali engkau dedalion. Meski kau dibawa terbang jauh oleh angin namun kau tetap pasrah Mengikutinya. Walau engkau harus terbuang ke tanah dan tak bisa melayang lagi karena angin telah pergi jauh sejauh mungkin tan Tidak pa harus meninggalkan kata.
Sama halnya Dengan kisah cintaku. Yang tak tahu arahnya hanya bisa pasrah dan berdoa agar nasibku tidak seperti bunga dedalion yang diterbangkan oleh angin setinggi-tingginya namun dijatuhkan tanpa ada belas kasihnya.
Namaku Amelia. Orang-orang memanggilku dengan sebutan lia. Aku adalah orang yang polos tidak mengenal apa itu cinta tapi semenjak aku duduk di bangku SMA. Aku dapat mengenalnya bahkan mencicipinya. cinta yang membuatku tak bisa melupakan betapa sakitnya diberi harapan palsu oleh lelaki yang tak punya rasa bertanggung jawab. Menjanjikan sebuah harapan palsu. Sungguh, aku bodoh waktu itu. Ku menyebutnya sebagai orang yang benar-benar tulus mencintaiku, kata-katanya selalu membuat aku tersipu. Namun dugaanku ternyata salah. Semuanya salah, ah aku benci sangat Benci padanya.
“Hey, Liaaa ngapain disini!” Tiba-tiba suara itu membuatku tersadar dari lamunanku, suara itu tidak asing bagi gendang telingaku. Dia teman sejawatku. Suka dan duka aku selalu bersamanya layaknya bulan dan bintang tidak lengkap rasanya malam tanpa hadirnya. Sama halnya dengan aku tak lengkap rasanya bila tidak bersama temanku. Dia biasa dipanggil, tukang kepo sama teman-temanku yang lain. Namun aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Nia. Karena nama Nia adalah nama yang sama seperti adikku yang telah duluan pergi meninggalkanku dan keluargaku. Dia lebih memilih untuk pergi sejauh-jauhnya di dunia bahkan tidak bisa dicari dimana pun karena dia telah menemukan dunianya sendiri, dunia yang dekat dengan Tuhannya. Melihat Nia sama saja dengan melihat adikku: tingkah lakunya, sikapnya bahkan cara berbicaranya hampir mirip dengan adikku. Mungkin ini adalah garis tuhan, mempertemukan aku dengannya agar aku dapat merasakan hadirnya adikku di dalam diri teman sejawatku
“Lia, kalo ada sesuatu ngomong, jangan malah ngelamun. Kalo kamu punya masalah jangan dipendam sendiri. aku siap kok untuk mendengarkan semua deritamu”. Sungguh aku tidak menyangka, kata-kata yang diucapkan nia membuat aku tersipu. Tak Terasa deras air mata turun tanpa berkata-kata. Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan nia.
“Lia, kamu kenapa kok tiba-tiba menangis, please, cerita!!”. Aku mengerti, Nia bengitu khawatir. Namun, aku lebih memilih memendam rasa ini, rasa sakit yang tidak bisa kulupakan. Biarlah aku yang merasakannya tanpa melibatkan siapa saja termasuk temanku yang kuanggap dia sebagai adik kandungku sendiri.
“Eks, eks, enggaaak Nia, aku ga papa kok!!” “Jangan bohong, buktinya kamu nangis? Please cerita, jangan buat aku marah!!!” “Benaran aku gak papa, Cuma aku teringat sama seseorang!” “Siapa, pacar?” “Enggak,… Aku teringat orang tuaku di kampung.” “O, sudah ga usah nangis Lia. Orang tua kamu pasti baik-baik aja. Percaya sama aku mereka tidak akan kenapa-napa. “Iya, Nia makasih”. Aku sangat beruntung dapat mengenalmu. “Aku juga sama, beruntung dapat mengenalmu” Maaf Nia aku terpaksa membohongimu. Sebenarnya, dugaanmu benar aku menangis bukan karena aku teringat orangtua. Orang tua aku pasti baik-baik saja di kampung. Karna aku telah menanyakan kabarnya via telepon, kemarin. Aku tidak mau engkau tahu bahwa yang membuat aku menangis adalah seseorang lelaki yang memberi janji palsu padaku. Bisikku dalam hati. “Sudah, hapus air mata kamu Lia, masak gitu aja nangis. Ayok siap siap kita bentar lagi kan mau ke perpustakaan”.
Ucapan Nia membuat aku berhenti menangis. Tidak ada guna rasanya menangisi seseorang lelaki brengsek; pemberi harapan palsu. Bodoh, aku sangat bodoh. Bisa-bisanya aku termakan oleh rayuannya. Mulai detik ini dan seterusnya. Aku tidak akan pernah mengenal cinta dan lelaki brengsek itu.
Indah, sangat indah pemandangan yang aku lihat hari ini bengitu indah. Hati yang tadinya sangat kacau sekarang tidak lagi. Benar, buku-buku yang tertatah rapi ini memberi kebahagiaan tersendiri pada diriku. Sungguh, di tempat ini aku merasakan kebahagiaan layaknya orang yang suka panorama; tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Gimana, indah kan pemandangan di perpus ini” “Indah banget, sumpah. Kamu memang tahu tempat yang aku suka.”
Aku adalah sosok wanita yang gemar membaca; wajar jika perpus adalah tempat pelarian bagiku. Di tempat ini, aku tidak bisa melihat luka yang kulihat hanya buku-buku yang tertata rapi dan elok untuk dicicipi isinya. teringat Kata guru SMP dulu bahwa buku adalah jendela dunia. Maka dari itu untuk melihat dunia aku harus membaca buku.
“Lia… Lia… aku mencintaimu” Suara itu, suara yang tak asing aku dengar. Suara yang selalu membuat aku merasa diterbangkan lalu dijatuhkan tanpa ada rasa kasta. Bagaikan bunga dedalion yang dibawa terbang oleh angin lalu ditinggalkan bengitu saja. “Cukup jangan memanggilku. Aku muak dengan suaramu. Pergi! Aku tidak mengenalmu. Pergi! Pergi!, Jangan kau memanggilku lagi”
“Lia, kamu kenapa! Habis mimpi ketemu setan” Tiba-tiba suara Nia membuat aku tersadar dan peluhku mengalir tanpa henti layaknya orang yang sedang ketakutan. Astaga, ternyata itu Cuma mimpi. Mungkin, karena aku terlalu lelah hingga aku tertidur disaat sedang membaca buku di perpustakaan ini. Memalukan, Untung di perpus tinggal aku sama Nia kalau banyak orang pasti sudah jadi bahan tawa.
“Nia pulang yuk, aku capek!” “Tumben, kamu biasanya betah disini” “Aku capek, aku pengen istirahat” “Yaudah kita pulang”
Di jalan-jalan raya kulihat orang-orang sedang berlalu lalang untuk pulang ke rumah masing-masing ibarat burung yang telah kenyang mencari makan di pagi buta lalu pulang ketika petang telah bertahta di cakrawala. Namun, aku dan Nia masih mampir ke taman yang penuh bunga dedalion. Entahlah, rasa kantukku tiba-tiba Hilang bengitu saja mungkin ini sebab senja mulai menampakkan batang hidungnya. Dan benar, senja kali ini bengitu indah. Aku menikmati dengan mengingat luka. Sungguh, aku tidak bisa menahan lagi air mata ku jatuh ke bibir tanah yang dipenuhi bunga-bunga dedalion.
“terima kasih, luka yang kau tak akan kulupakan” bisikku Lalu kupetik satu bunga dedalion dan tidak harus menunggu lama, angin tiba-tiba menerbangkannya setinggi-tingginya lalu dijatuhkan entah ke mana.
Cerpen Karangan: Feri Aprillah Blog / Facebook: Rypratamakosonglima Feri aprillah, mahasiswa di salah satu kampus tertanama di Sumenep, alumnus nasya’atul mutaallimin