Jika saat itu payung tidak rusak, mungkinkah kita tidak akan pernah bertemu? Walau berulang kali dipikirkan, adakah kemungkinan yang demikian?
Saat hanya guyuran hujan membasahi bumi, saat kaki telah kebas untuk melangkah, hanya satu hal yang dipikirkan, membuka payung di tengah derasnya hujan yang tiba-tiba turun.
Namun, tubuh terlanjur basah, payung pun patah, hati terlanjur pasrah dengan banyaknya tekanan kenyataan. Sekedar bisa berehat bersama hujan mengundang perasaan lega yang terlukis di wajah. Entah bagaimana, ingatan kejam siang tadi ikut sirna saat tetesan air mengalir.
Saat sedang menikmati, sepasang kaki tiba-tiba melangkah, mendorong sebuah payung untuk melindungi tubuh. Secerca keterkejutan tiba-tiba hadir, melingkupi diri yang sedikit tidak percaya. Bukannya apa, hanya saat itu, orang-orang yang ada disekitar segera menepi, mencari singgahan sembari mengahangatkan diri. Tidak ada seorang pun yang peduli, seakan dunia telah berhenti untuk sekedar melirik.
Tidak perduli seberapa bingungnya, dia hanya tersenyum samar sambil mengeratkan jaket yang dia kenakan. Entah mengapa, tidak lama, sudut mata tiba-tiba terasa panas. Buliran air mata satu per satu perlahan terjun bebas mengenangi pipi.
Padahal hanya senyum yang tidak kuyakini nyata, tapi hatiku merasa lega.
Tanpa banyak kata, dia menarik tangan ini, menepi di salah satu warung kecil yang tidak ramai pengunjung. Tisu diulurkan tangan lebar itu bersamaan dengan segelas teh hangat yang sepertinya baru selesai diseduh. Dalam diam, hatiku merutuk, payung rusak ini membuat diriku terlihat buruk dihadapan orang yang tidak dikenal. Kupikir begitu, sampai ekor matanya menatapku dengan senyuman lembut tanpa ada sedikitpun maksud buruk.
Dia tidak banyak bicara sehingga aku mulai bertanya-tanya. Tidak kah dia menganggap aneh diri yang telah menangis tanpa sebab ini?
“Seseorang pasti punya alasan mengapa mereka mengeluarkan air mata,” katanya tiba-tiba. Jantungku mencetus.
Tangan segera meraih tiga lembar tisu, mengeringkan genangan yang entah mengapa semakin deras setelah mengedengar kata-katanya. Dia padahal tidak bertanya, entah mengapa bibirku hendak terbuka untuk bercerita. Belum sempat mengangkat kata, semuanya kembali tertelan saat mendengar deringan ponsel miliknya. “By, aku kejebak hujan, mungkin bakalan telat buat nyampe rumah kamu,” ucapnya terdengar penuh permohonan maaf yang kemudian tidak lama memutuskan panggilannya sepihak.
“Ada apa? Kelihatanya dari tadi kamu mau bicara,” tanyanya membuat ku bungkam. Wajahku berpaling kearah luar sambil memegang erat gelas yang terasa hangat ini. Siapapun tidak tahan melihat seorang tersenyum indah padanya ketika hatinya sedang patah. “ … terima kasih, aku harus pergi sekarang,” kataku tanpa pikir panjang. Biarlah pertemuan singkat ini berakhir, pipiku entah bagaimana terasa hangat hanya saat melihat wajahnya yang rasanya sangat asing itu. “Biar kuantar,” tawarnya yang hanya kutolak dengan gelengan kecil. “Senang bertemu denganmu, sampai jumpa.”
Aku mengakhirinya dengan lambaian tangan, tetapi pertanyaan yang dia lontarkan membuat kakiku terhenti dimuka pintu.
“Bisakah kau memberitau namamu? Mungkin di waktu yang akan datang kita akan bertemu lagi,” tanyanya ramah, tanpa maksud. Aku menoleh, menghilangkan ketegangan dalam diri sembari tersenyum kecil. “Jika kita bertemu lagi, saat itu kau akan tau namaku,” aku berkata. ‘Dan mungkin itu tidak akan terjadi,’ lanjutku dalam hati. Saat ekor mata ini melirik, dia hanya tersenyum kecil sembari mengangguk, melambaikan tanganya menghantar kepergian si penyendiri dengan rona yang terlihat jelas di seluruh wajah.
Siapa yang tidak berdebar, ketika orang yang ditemui dapat tersenyum semenenangkan seperti itu. Untuk sesaat aku membiarkan diriku berkhayal, melupakan jejak kesedihan yang sebelumnya ada sebelum kembali lagi dalam kenyataan.
Semula aku menduga, pertemuan kemarin hanyalah sekedar sapa temu yang akan berlalu dan tak akan bertemu. Namun, ternyata salah, bibirnya menarik garis senyuman hingga lesung pipi yang baru pertama aku lihat hadir menemani kedatangannya. Tangan lebarnya melambai sambil memeluk buket bungat ditangan yang lain.
“Hai,” sapanya ramah. “Senang bertemu kembali denganmu, tapi sayang aku harus segera pergi sekarang, pacar pasti menungguku dengan kesal.” Dia berbicara demikian dengan senyumannya itu lagi. Entah mengapa, aku merasa sakit tanpa alasan. Anggukan kuberikan, dan tanpa kata lanjut, dia berlalu pergi tanpa meninggalkan nama.
Aku pun memilih untuk pergi, melanjutkan perjalanan menuju taman. Namun apa yang kudapatkan ketika sampai, tidak hanya kemarin, hari ini pun …
Sakit teramat sangat kurasa saat mata melihat sepasang manusia bergenggaman tangan dengan amat erat. Senyum tawa mereka sangat bahagia, hingga membuat hati semakin dan semakin terluka. Hanya bisa membatu tanpa kata, memandang kisah kasih penuh cinta dari pacar sendiri.
Dia tertawa hahaha saat hati terluka. Dia bahagia saat kaki tidak dapat mendekat, menghampiri, mengingatkan bahwa ada hati yang tengah dipermainkan. Betapa bodohnya selama ini, percaya pada ungkapan cinta, padahal dia tengah mendua. Dan ini, kali kedua aku menikmati sayatan luka di hati yang berusaha tenang ini.
Hingga, kedua bibir itu bertemu, segera kupalingkan wajah ini, mengambil seribu langkah untuk pergi. Namun, tanpa sengaja aku menabrak seorang saat akan berbalik, tubuh kaku menegang dengan sebuket mawar ditangan. Matanya memandang kosong kearah belakang. Aku terdiam, memandang wajah yang beberapa waktu lalu tersenyum indah kini matanya memerah.
Ujung bibirnya tertarik menunjukan senyum pedih yang tak pernah kubayangkan. Dia tiba-tiba menurunkan pandangannya, memandang diri ini dengan raut yang menyedihkan, untuk sekedar berkata pun tak sanggup, dia hanya membuka mulut dan membisu bersama air mata yang tak lama jatuh.
“Ah … tidak menyangka, pertemuan ketiga akan seperti ini,” dia berkata dengan nada yang seolah tegar. Awalnya aku tak mengerti, tetapi setelah melirik lagi kebelakang, kini aku paham. Perempuan itu, yang tengah memadu kasih bersama ‘pacar’ ku adalah pacarnya. Betapa sempitnya dunia ini.
Buket bunga entah kemana perginya, dia menarikku untuk sekedar menjauh dari pemandangan yang telah menciptakan luka untuk kami berdua.
“Aku tidak tau hari ini akan menjadi duka untuk kita berdua, sayangnya hanya kamu yang terlihat baik-baik saja.” Dia memandang awan dengan pedih. “Tidak, bukan seperti itu, hari kemarin, dibawah guyuran hujan, aku telah menumpahkan segala air mata kesedihan hingga hari ini sudah tidak lagi bersisa untuk dikeluarkan. Dan mungkin, kali ini aku yang akan menjadi payungmu, dan membawamu menepi untuk sekedar berehat dan menenangkan diri,” kataku sedikit simpatik dan mengulas senyum cerah untuknya. “Seseorang memiliki alasan sendiri untuk menangis,” lagi kataku mengingat ucapannya kemarin.
Dia tersenyum kecil dan meraih beberapa tisu yang kusodorkan. Mungkin ini yang menjadi alasan pertemuan kami, kami dipertemukan dengan situasi yang mirip, dengan air mata yang sama dan luka yang serupa. Mungkin kemarin aku menangis, dan dia yang menjadi payung untukku, dan kini aku yang akan menjadi payung untuknya, sekedar sandaran dan membawanya menepi sejenak untuk berehat.
“Terima kasih,” ucapnya. “You too.”
Lantas dia berdiri saat merasa tenang, menarik tanganku tanpa peringatan dan membawa kembali pada hal yang membuat hati kami tersakiti.
Tampaknya, dia akan mengakhiri hal ini, dengan hati yang belum siap, aku menggenggam erat telapak tangan lebar itu. Biarlah kali ini kami saling bersandar, agar rasa sakit ini bisa berakhir.
Kali ini, bersama seorang yang baru saja tiga kali kutemui, aku menaruh harapan dan kepercayaan penuh padanya, lelaki yang entah siapa namanya. Yang membuatku pergi bersama untuk mengakhiri luka.
Cerpen Karangan: awankotak
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com